Jokowi, Prabowo, dan Kita

Kalau sampai terjadi deal politik antara kubu Prabowo dengan kelompok khilafah untuk Pilpres 2024, akan sulit bagi Pemerintah untuk mengalinasinya.

Kamis, 24 Oktober 2019 | 10:32 WIB
0
240
Jokowi, Prabowo, dan Kita
Jokowi dan Prabowo (Foto: Suarasiber.com)

Dalam konteks bermasyarakat, apalagi bernegara, tidak akan pernah ada situasi yang sesuai dengan harapan semua orang. Jika situasi yang tidak sesuai harapan itu dipahami sebagai resultante dari kebijakan pemimpin dan kita menolaknya, maka yakinlah, tidak akan ada pemimpin yang bisa kita terima.

Sama halnya jika kita tidak bisa menerima perbedaan, tidak akan pernah ada orang yang sama persis dengan kita. Setelah sepakat sama dalam urusan yang sifatnya makro, maka kita akan menuntut kesamaan dalam urusan-urusan yang lebih kecil, sampai urusan terkecil. Tidak akan ada.

Kemarin kita sepakat memenangkan Jokowi pada Pilpres. Sekarang sudah menang. Lalu, dengan mempertimbangankan berbagai aspek, Jokowi membentuk kabinet. Bisakah kita sepenuhnya sepakat dengan susunan menteri-menteri di kabinetnya (Indonesia Maju)? Tidak akan, karena situasi (sosial, politik, ekonomi, dll.) tidak pernah akan ideal seperti yang kita inginkan.

Bagi Jokowi sendiri, kalau boleh, ia pasti akan memilih semua menterinya dari kalangan profesional. Kalaupun ada orang parpol yang terpilih, bukan karena dia orang parpol, tapi karena kompetensinya, karena profesionalismenya. Tapi kan tidak bisa.

Apakah Jokowi ingin memasukkan Prabowo ke dalam kabinet? Saya yakin tidak. Tapi dengan berbagai pertimbangan, Jokowi menunjuk Prabowo sebagai Menhan. Pasti, sekali lagi: pasti, risiko yang mungkin terjadi di kemdian hari, jika Prabowo jadi Menhan, sudah diperhitungkan, termasuk langkah-langkah apa yang harus dilakukan guna mereduksi kemungkinan itu, juga jika terdeteksi adanya indikasi munculnya risiko (dari menunjuk Prabowo sebagai Menhan) muncul, apa yang harus dilakukan.

Apakah Jokowi, dengan informasi dan pengetahuan basic tentang catatan Prabowo di masa lalu seperti yang kita punya, tidak memiki kekhawatiran yang sama dengan kita?

Pasti punya. Tapi, informasi yang masuk ke Jokowi tidak hanya sebanyak yang kita punya. Pasti jauh lebih banyak. Ingat, Presiden punya banyak intelejen, instrumen (TNI – Polri), analis, dll., untuk menggali sebanyak-banyaknya informasi dan menganalisisnya.

Informasi dan pengetahuan yang kita punya tentang Prabowo, sebagian besar didapat dari media, dan beberapa dari kita dari pengalaman. Kita mendapatkannya secara pasif. Nah, Presiden yang memang berurusan dan berkepentingan langsung, bisa mendapatkannya secara aktif, langsung dari orang-orang yang terlibat langsung dalam setiap peristiwa yang terkait dengan Prabowo. Masihkah kita merasa lebih tahu tentang Prabowo dibanding Jokowi? Ini logika dasar. Bukan mendukung Jokowi dengan kacamata kuda atau membabi buta.

Karena Jokowi sebagai pemegang hak untuk memasukkan Prabowo ke kabinet atau tidak, sudah mengambil keputusan, maka kita dihadapkan pada dua pilihan dalam menyikapinya: menyalahkan Jokowi dengan segala argumen yang didasarkan pada informasi dan pengetahuan yang kita punya, atau menerima keputusan itu dan berdoa agar semuanya baik-baik saja. Dua-duanya boleh.

Prabowo mau datang ke Istana mengenakan kemeja putih untuk memenuhi panggilan Presiden, lalu ketika duduk bareng sama menteri-menteri lain, berdiri dan memberi hormat ketika namanya disebut, sampe di situ, dia mampu menyingkirkan gengsi sebagai rival Jokowi di dua kali Pilpres. Nilainya bagus, saya respek. Titik. Apakah kalau Prabowo jadi Capres di Pilpres 2024 saya akan pilih Prabowo? Tidak akan.

Apakah kita akan menyikapinya dengan percaya bahwa itu sisi baik dari Prabowo sebagai manusia, atau menganggapnya itu acting Prabowo sebagai bagian dari skenario (baru) menuju kekuasaan? Dua-duanya boleh.

Sekali lagi: apakah Jokowi ingin memasukkan Prabowo ke dalam kabinet? Saya yakin tidak. Lalu, mengapa Jokowi memasukkannya. Kita coba pahami mengapa Jokowi memasukkannya.

Persoalan besar di depan mata yang berpotensi mengganggu saat ini radikalisme dan kelompok paham khilafah. Kelompok ini cukup besar. Selama kampanye sampai pasca Pilpres 2019, kelompok ini menempel ke kubu Prabowo. Dalam lima tahun ke depan, mereka harus direduksi, kalau bisa dieliminasi. Salah satu organisasi kelompok ini adalah HTI yang sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang (sudah dibubarkan).

Untuk bisa bertahan dan aktif, kelompok khilafah ini perlu kapal atau wadah politik yang resmi, memiliki kekuatan (kursi di parlemen), serta figur pemimpin yang punya massa pendukung. Selama ini kelompok khilafah menempel ke kubu Prabowo. Kalau sampai terjadi deal politik antara kubu Prabowo dengan kelompok khilafah untuk Pilpres 2024, akan sulit bagi Pemerintah untuk mengalinasinya.

Untuk menghindari kemungkinan itu (terjadinya deal politik di antara dua kelompok ini) Jokowi menarik Prabowo ke dalam kabinet. Kebetulan Prabowo mau. Sehingga, kelompok khilafah ini sendirian, mudah untuk meredam dan mengurainya. Menurut saya begitu. Kita boleh beda pendapat, tapi saya tidak akan melayani argumen dengan awalan 'pokoknya'.

***