Air Seni Adalah...

Indonesia, seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, mempunyai cara berfikir yang sangat konpleks. Bersifat keseluruhan dan emosional.

Selasa, 4 Februari 2020 | 06:45 WIB
0
130
Air Seni Adalah...
The Straits Times (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Seni adalah kemelut sekian keujudan dan keniskalaan, demikian tulis Iwan Simatupang dalam salah satu esainya, 'Dan Kuntum itu Mekar Berkutuk' (Majalah SENI, Nopember 1955).

Iwan ingin membebaskan seni, atau sastra khususnya, dari berbagai macam beban. Baginya, nulis ya nulis saja. Mau dikategorikan apapun terserah. Justru karena seni tak punya prasangka, cita-cita azas tertentu, tulis Iwan. Bukan karena lemah syahwat, menurutnya karena kehakikatannya.

Namun ergulatan itu acap terjadi karena ketidakpuasan atas situasi stagnan, bahkan justeru mundur. Mundur ke belakang, kata orang, meski mereka tak bisa menjelaskan 'gimana mundur ke depan?

Mundur ke depan kita rasakan kini, ketika pandangan-pandangan myopic, mikroskopis, semakin menggejala dalam keseharian kita. Dalam berpikir, berucap, bertindak, bahkan beragama. Bukan fokus, melainkan mengecil tapi dibesar-besarkan.

Agama yang sebenarnya kecil, salah satu bagian dari sekian banyak hal, dijadikan satu-satunya. Ngotot pula caranya. Apalagi ketika agama yang dimaksud ternyata hanyalah kemasan luar, tapi dengan dalil; Nggak beli = kafir. Beda = dungu.

Padahal, temuan Ki Hadjar Dewantara, juga peran Ki Sarmidi dalam mengembangan pendidikan nasional (lewat Taman Siswa), menunjukkan bukannya tak ada konsep mengenai bagaimana pendidikan mesti dijalankan di negeri ini. Tetapi kekuasaan politik, ekonomi, juga agama, membelokkan agenda pendidikan justru menjadikan manusia dependen. Bukan manusia bebas dan mandiri.

Menurut Van Peursen dalam buku klasik 'Strategi Kebudayaan' (1976), kebudayaan artinya suatu strategi atau rencana yang dibuat manusia dan diarahkan kepada hari depan. Proses alamiahnya, menurut Peursen, pola dasar yang tampak dalam segala tahap kebudayaan. Manusia selalu mencari hubungan yang tepat antara dia sendiri dengan daya-daya kekuatan sekitarnya.

Pada titik itu, di Indonesia, sebagai melting pot, dengan keanekaragaman hayatinya, persilangan budaya Nusantara, menjadi tidak tepat jika dimiskinkan sebagaimana kebudayaan gurun pasir Timur Tengah, yang homogen atau monokulture. Menjadi wagu dan kasihan.

Indonesia, seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, mempunyai cara berfikir yang sangat konpleks. Bersifat keseluruhan dan emosional. Amat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat dengan kebudayaan agama, kepercayaan terhadap ruh-ruh, dan tenaga ghaib yang meresapi seluruh kehidupannya (Sufisme Jawa, Dr, Simuh, 2014).

Kemudian menjadi konyol, ketika muncul teriakan kafir. Padahal, kamu yang kafir! Tidak akan pernah tahu, bagaimana Sukarno menggali Pancasila, dan ijtihad politik presiden pertama Indonesia itu, justeru jadi mentor negeri-negeri berlatar Islam tapi gagap ngadepi modernisasi dan demokratrisasi.

Di situ mangkanya, kacrut sering identik dengan kadrun di kubu sebelah. Nggak ngerti seni, nggak suka diskusi, maunya marah mulu. Dan suka menumpangi seni dengan air, jadinya air seni. Air seni onta pula. 

***