Indonesia, seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, mempunyai cara berfikir yang sangat konpleks. Bersifat keseluruhan dan emosional.
Seni adalah kemelut sekian keujudan dan keniskalaan, demikian tulis Iwan Simatupang dalam salah satu esainya, 'Dan Kuntum itu Mekar Berkutuk' (Majalah SENI, Nopember 1955).
Iwan ingin membebaskan seni, atau sastra khususnya, dari berbagai macam beban. Baginya, nulis ya nulis saja. Mau dikategorikan apapun terserah. Justru karena seni tak punya prasangka, cita-cita azas tertentu, tulis Iwan. Bukan karena lemah syahwat, menurutnya karena kehakikatannya.
Namun ergulatan itu acap terjadi karena ketidakpuasan atas situasi stagnan, bahkan justeru mundur. Mundur ke belakang, kata orang, meski mereka tak bisa menjelaskan 'gimana mundur ke depan?
Mundur ke depan kita rasakan kini, ketika pandangan-pandangan myopic, mikroskopis, semakin menggejala dalam keseharian kita. Dalam berpikir, berucap, bertindak, bahkan beragama. Bukan fokus, melainkan mengecil tapi dibesar-besarkan.
Agama yang sebenarnya kecil, salah satu bagian dari sekian banyak hal, dijadikan satu-satunya. Ngotot pula caranya. Apalagi ketika agama yang dimaksud ternyata hanyalah kemasan luar, tapi dengan dalil; Nggak beli = kafir. Beda = dungu.
Padahal, temuan Ki Hadjar Dewantara, juga peran Ki Sarmidi dalam mengembangan pendidikan nasional (lewat Taman Siswa), menunjukkan bukannya tak ada konsep mengenai bagaimana pendidikan mesti dijalankan di negeri ini. Tetapi kekuasaan politik, ekonomi, juga agama, membelokkan agenda pendidikan justru menjadikan manusia dependen. Bukan manusia bebas dan mandiri.
Menurut Van Peursen dalam buku klasik 'Strategi Kebudayaan' (1976), kebudayaan artinya suatu strategi atau rencana yang dibuat manusia dan diarahkan kepada hari depan. Proses alamiahnya, menurut Peursen, pola dasar yang tampak dalam segala tahap kebudayaan. Manusia selalu mencari hubungan yang tepat antara dia sendiri dengan daya-daya kekuatan sekitarnya.
Pada titik itu, di Indonesia, sebagai melting pot, dengan keanekaragaman hayatinya, persilangan budaya Nusantara, menjadi tidak tepat jika dimiskinkan sebagaimana kebudayaan gurun pasir Timur Tengah, yang homogen atau monokulture. Menjadi wagu dan kasihan.
Indonesia, seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, mempunyai cara berfikir yang sangat konpleks. Bersifat keseluruhan dan emosional. Amat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat dengan kebudayaan agama, kepercayaan terhadap ruh-ruh, dan tenaga ghaib yang meresapi seluruh kehidupannya (Sufisme Jawa, Dr, Simuh, 2014).
Kemudian menjadi konyol, ketika muncul teriakan kafir. Padahal, kamu yang kafir! Tidak akan pernah tahu, bagaimana Sukarno menggali Pancasila, dan ijtihad politik presiden pertama Indonesia itu, justeru jadi mentor negeri-negeri berlatar Islam tapi gagap ngadepi modernisasi dan demokratrisasi.
Di situ mangkanya, kacrut sering identik dengan kadrun di kubu sebelah. Nggak ngerti seni, nggak suka diskusi, maunya marah mulu. Dan suka menumpangi seni dengan air, jadinya air seni. Air seni onta pula.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews