Umat Islam tidak terima kalau diperlakukan diskriminatif di negara lain, tetapi di sisi lain terkadang umat Islam juga melakukan diskriminasi kepada non muslim dalam kebebasan menjalankan ibadah.
India membuat atau mengamandemen undang-undang yang mempermudah atau mempercepat untuk mendapatkan kewarganegaraan bagi enam agama yaitu Hindu, Budha, Kristen, Jain, Parsi dan Sikh yang berasal dari tiga negara yaitu Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan.
Mengapa agama Islam tidak termasuk "agama" yang mendapat kemudahan untuk menjadi warga negara India seperti enam agama (Hindu, Budha, Kristen, Parsi, Jain dan Sikh)?
Parlemen India yang dikuasi oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) dan koalisinya beralasan, bahwa keenam agama tersebut diberikan kemudahan untuk menjadi warga negara India karena agama minoritas di tiga negara tersebut.
Seperti kita ketahui, Partai Bharatiya Janata adalah Partai Nasionalis Hindu yang mengantarkan Narendra Modi menjadi Perdana Menteri India.
Tentu saja undang-undang kewarganegaraan yang tidak memasukkan atau mengecualikan agama Islam-dianggap diskriminasi dan mendapat protes dan demontrasi yang memakan korban jiwa.
Sebelum diamandemen, undang undang kewarganeraan India tahun 1955 melarang imigran ilegal menjadi warga negara India. Bahkan, bagi imigran yang melanggar atau ilegal bisa dideportasi atau dipenjara. Dan untuk bisa menjadi warga negara syaratnya minimal sudah tinggal atau bekerja di India selama 11 tahun.
Bagi umat Islam undang-undang kewarganegaraan India ini sangat diskriminatif karena tidak memberikan hak yang sama.
Setiap orang atau warga negara tentu tidak mau diperlakukan tidak sama atau diskriminasi dan ingin mendapatkan perlakuan atau hak yang sama.
Bahkan umat Islam yang ada di Indonesia juga melakukan protes terkait undang-undang kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif atau memperlakukan umat Islam tidak adil atau semena-mena. Dan ini termasuk penindasan kata mereka yang protes.
Kasus undang-undang kewarganegaraan India yang sangat diskriminatif kepada agama atau umat Islam bisa menjadi contoh atau cermin bagi umat Islam atau masyarakat Indonesia. Dimana, setiap orang pasti tidak ingin mendapat perbedaaan perlakuan atau diskriminasi.
Kalau di India mayoritas beragama Hindu dan di Indonesia mayoritas beragama Islam.
Kita atau umat Islam protes kepada undang-undang kewarganeraaan India yang syarat diskriminasi kepada agama atau umat Islam. Sedangkan di negara kita juga ada perlakuan yang sangat diskriminasi kepada agama non muslim. Seperti susahnya mendirikan rumah ibadah seperti gereja atau rumah ibadah agama Hindu. Bahkan, untuk merayakan ibadah Natal seperti yang terjadi di kabupaten Dharmasraya-yang melarang merayakan ibadah Natal di tempat terbuka. Dengan alasan itu sudah sesuai kesepakatan.
Kadang mereka juga mempermasalahkan IMB sebagai syarat tempat pendirian rumah ibadah atau gereja. Padahal kalau kita mau jujur,banyak bangunan-bangunan Masjid itu tidak disertai IMB dan asal bangun saja karena merasa mayoritas.
Harusnya setiap warga negara bebas dari tekanan atau larangan untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.
Umat Islam juga tidak terima atau protes kalau diperlakukan diskriminatif di negara lain, tetapi di satu sisi terkadang umat Islam juga melakukan diskriminasi kepada non muslim dalam kebebasan menjalankan ibadah.
Malah, kadang ada kata-kata atau kalimat seperti ini, "minoritas itu harus tahu diri dan jangan banyak menuntut." Tetapi ketika umat Islam yang minoritas di negara lain dan mendapat perlakuan yang tidak adil atau diskriminasi mereka protes dan ingin mendapat perlakuan yang sama atau setara.
Begitulah sudut pandang terkait "diskriminasi", menuntut pihak lain untuk tidak melakukan diskriminasi, tetapi malah melakukan diskriminasi di kampung atau negara sendiri karena merasa mayoritas.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews