Sesungguhnya para mahasiswa tidak buta. Yang buta adalah para penumpang gelap seperti HTI dan khilafah, plus politikus begundal penjual negara.
Demo mahasiswa. Makin terkuak. Yang menunggangi? Di belakangnya sama. Benang merahnya sama. Pemainnya ya itu-itu saja. Foto-foto demo di DPR 23-24 September 2019 membuka mata aparat. Jadi titik menguak lebih dalam.
Juga rancangan pertemuan para begundal politik. Makin ke sini muncul benang sangkut merah. Kerikil begundal demokrasi. Termasuk demo gelandangan pendukung khilafah, Sabtu (28/9/2019).
Muncul Permadi. Politisi Gerindra. Ada juga Khattath. Soenarko. Lalu 212 Mujahid yang gagal total. Poster mahasiswa dikerek-kerek.
Demo kemarin Sabtu (28/9/2019) mendatangkan kalangan pendukung gelandangan Khilafah. Artinya para begundal berbaju agama yang memimpikan negara khilafah.
Tidak mendapat sambutan. Berkedok membela NKRI, tapi mereka menenteng bendera HTI, bendera khilafah. Merah Putih tidak mereka bawa.
(Dua hari menjelang Sabtu, timbul perpecahan internal. Judul demo Tauhid atau 212. Bingung. Tauhid jika dibawa akan meruntuhkan gerakan khilafah. Titik kompromi diambil. 212 yang udah tak laku dikorbankan. Yang di bawah bingung. Haha.)
Kenapa? Karena dua bohir utama rezim lama tidak turunkan logistik. Beda dengan ketika 212 karena SBY saat itu menjadi provokator dan pendorong kasus Ahok. Sampai serak dia berteriak. Karena di belakangnya ada motif. AHY naik jadi Gubernur. Walau akhirnya disalip oleh JK – yang mendorong Anies.
Bohir lainnya? Cendana pun konsentrasi membiayai gerakan lain yang lebih panas. Luas. Dari politikus sampai organisasi dan yayasan. Dari orang per orang sampai ke masjid. Dan, media.
Mahasiswa tidak buta politik. Analisa profil laporan pertemuan di beberapa universitas swasta dan negeri di Jakarta dan Jabodetabek, serta Jogja dan Bandung, menyimpulkan beberapa hal.
Sebagian para anggota mahasiswa mengambil jalur sesuai dengan keyakinan politik. Keyakinan politik ini paralel dengan ideologi mereka. Jika mereka terpapar gerakan khilafah, radikal, pengaruh orang tua, maka gambarannya menjadi mirip. Meski mereka membungkus dengan rapi. Kasus briefing mahasiswa/BEM di KPK itu salah satu wujud ideologi politik mereka. Warna mereka.
Kalaulah mahasiswa itu steril dari dunia ideologi khilafah, radikal, maka mereka akan menolak tegas kebenaran disusupi kejahatan – atas nama agama atau pun kepentingan politik. Ini muncul dalam video ketika seorang mahasiswa menolak keras komporan politisi Gerindra yang meneriakkan demo-demo untuk menjungkalkan Jokowi.
Warna kepentingan ditunggangi kepentingan politik dari demo-demo mahasiswa menjadi semakin jelas. Salah satu ciri demokrasi dan gerakan mahasiswa adalah mementingkan dialog. Demo dilakukan ketika ruang dan kesempatan untuk berdiskusi hilang. Mampat.
Ketika Jokowi mengundang mahasiswa/BEM. Dengan pongahnya BEM menolak. Tidak tahu diri. Undangan kepala negara dianggap sebagai ajang PR. Mental buruk mahasiswa di sini muncul. Merasa di atas angin, para mahasiswa itu memberikan syarat-syarat untuk bertemu Presiden Jokowi. Aneh.
Terlepas dari kesalahan Istana ingin mengundang ke Istana para BEM/mahasiswa yang lagi naik daun pekan lalu – (sekarang gerakan BEM/mahasiswa ini sudah mati. Karena ditunggangi – meski gagal total yang menunggangi. Mahasiswa yang otaknya normal sudah ogah ikut demo lagi.)
Undangan Jokowi pada BEM menjadi pisau yang mencabik mahasiswa/BEM. Menolak undangan Jokowi adalah bentuk arogansi. Siapa elu? Begitu publik kini melihat gerakan mahasiswa.
Sombong. Songong. Tidak memiliki etika – karena memang dari PAUD sampai PT tidak ada pelajaran budi pekerti. Yang untung justru PR bagi Jokowi – dia orang sipil yang demokratis.
Fakta berikutnya. Bangkrutnya 212 pada acara Sabtu (28/9/2019) hanya diikuti oleh anak-anak kecil, gelandangan dari Bekasi, Depok, Tangerang, Sukabumi, Jakarta Utara. Plus ibu-ibu khilafah berbaju daster hitam bertutup kain celemek di muka mereka.
Walau dengan bangganya mereka memunculkan para mahasiswa di poster yang menjadi inisiasi lanjutan – dari skenario besar untuk membuat gerakan seperti 212. Mahasiswa dan pelajar akan diajak untuk membuat skenario besar. Demo. Kerusuhan. Jokowi turun. Persis seperti kata Permadi. Edan.
Maka, dengan munculnya gerakan mahasiswa 23-24 September 2019, begitu banyak yang tampak di permukaan. Para penjahat dan begundal kelihatan di depan mata. Tinggal setelah 20 Oktober 2019 akan terlihat Jokowi memilih para pembantunya.
Yang diharapkan akan membersihkan NKRI dari Khilafah – yang selalu menunggangi agama sebagai kedok kejahatan mereka. Dengan membuat peraturan yang jelas. Agar penyebar khilafah perorangan bisa diperlakukan sejajar dengan PKI.
Sesungguhnya para mahasiswa tidak buta. Yang buta adalah para penumpang gelap seperti HTI dan khilafah, plus politikus begundal penjual negara.
Ninoy N Karundeng, penulis.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews