Selain "Electoral Machine", Parpol Sudah Berubah Jadi "Money Machine"

Pasca 1999, kehidupan kepartaian kembali marak dan bergairah dalam spirit kontestasi untuk menguasai parlemen dan pemerintahan dalam sistem presidensil bercitarasa parlementer.

Kamis, 25 Juli 2019 | 07:27 WIB
0
299
Selain "Electoral Machine", Parpol Sudah Berubah Jadi "Money Machine"
Bendera parpol (Foto: Alenia.id)

Sudah lama Roscoe Pound mengingatkan, "law in books" tidak selalu sejalan dengan "law in actions ". Politik begitu juga. "Partai politik adalah.... blablabla..." kata teori; "Parlemen adalah....bliblibli...." kata teori. Praktiknya?"...blablibleblu....!!!

Jadi, jangan terlalu percaya text-book untuk menilai peran partai dan parlemen saat ini. Ada jarak yang lebar antara teori dan praktek!

Percaya saja pada debat kusir antara "pakar", "pengamat", dan presenter TV, sebab hanya merekalah yang masih semangat bicara peran partai dan parlemen, walaupun pagi bilang tempe sore bilang tahu!

Memang pernah ada suatu masa ketika peran partai dan parlemen begitu memukau. Masa itu --1950an-- adalah era yang dilukiskan secara pas pada judul buku lama dari mantan Perdana Menteri Wilopo, ZAMAN PEMERINTAHAN PARTAI-PARTAI.

Peran partai yang memukau pada era itu diakui oleh Herb Feith, seperti diulas dalam bukunya, THE WILOPO CABINET, 1952-1953. Atau dalam buku Feith lainnya, THE INDONESIAN ELECTIONS OF 1955.

Bahkan seperti diulas Feith dalam buku lainnya, keterpukauan sekaligus keterlibatan orang dalam politik melalui partai sudah terjadi masa-masa sebelumnya.

Selama kurun waktu itu banyak orang membahas masalah-masalah politik dengan semangat keterlibatan yang aktif, termasuk kaum cendekiawan, akademisi, dan profesional.

Ada keterkaitan yang erat antara dunia pemikiran politik dengan dunia kekuasaan politik era itu.

".....the connections between the world of political ideas and the world of political power were more than close", tulis Feith dalam buku yang disuntingnya bersama Lance Castles, INDONESIAN POLITICAL THINKING, 1945-1965.

Pasca 1965, semangat keterlibatan itu merosot ke titik nol. Parlemen dan partai politik yang telah diciutkan menjadi 3 partai, kehilangan daya tariknya karena memang hanya ornamen belaka. Partisipasi politik berubah menjadi mobilisasi.

Partai yang satu adalah kuda tunggangan, dua lainnya pelengkap penderita (atau supaya keren disebut "penggembira"). Kedua partai penggembira ini dalam bahasa matematika politik disebut "masuk tidak membuat genap, keluar tidak membuat ganjil."

Partai pertama sering disebut (dan keliru karena mengikuti text-book) "the rulling party", padahal dia hanyalah "the ruller's party", yang sepenuhnya dikendalikan sang boss.

Perannya? Ya sebagai "electoral machine" , tidak lebih dari itu; hanya sebagai instrumen pengumpul suara dalam pemilu untuk memberikan legitimasi seolah demokratis.

Pasca 1999, kehidupan kepartaian kembali marak dan bergairah dalam spirit kontestasi untuk menguasai parlemen dan pemerintahan (dalam sistem presidensil bercitarasa parlementer).

Indonesia pasca 1999 seolah kembali ke era 1950an, yang oleh pak Wilopo disebut "Zaman Pemerintahan Partai-Partai ".

Partai dan parlemen kembali menjadi panggung pertunjukkan yang selalu disorot kamera TV, dan ramai diberitakan media konvensional. Politisi kembali jadi bintang dalam show politics yang lebih mirip infotainment.

Akibatnya publik jadi sulit membedakan: mana politisi, mana artis, mana komedian?!

Memang di era ini peran partai politik semakin penting. Partai tak hanya sibuk pemilu 5 tahun sekali; sekarang dia sibuk setiap tahun mengurus pilkada mulai dari kota, kabupaten, hingga provinsi, dan puncaknya pilpres.

Dan urusan pilkada itu memang sangat menggairahkan. Sebab tidak hanya berurusan dengan usaha mencari kandidat terbaik, tapi juga kandidat dengan kesanggupan mahar tertinggi !

Partai menyediakan perahu, kandidat membayar harga sewanya. 

Ini sah-sah saja, sebab tidak ada yang gratis di muka bumi ini. Bahwa mahar itu mengakibatkan "high-cost politics", itu bukan urusan partai.

Yang jelas partai politik tidak lagi hanya berperan sebagai "electoral machine", kini perannya bertambah satu lagi: "money machine"! Apalagi pada musim panen pilkada serentak lalu di 171 tempat.

Betulkah begitu? Jangan tanya politisi. Tanyalah kepada Najwa Shihab dan Cak Lontong dan nontonlah video mereka di medsos: "5 Jurus Ngeles Politisi"!

***