Prabowo Memang Harus “Dikalahkan” Dengan Kecurangan!

Terbukti jumlah pemilih non DPT membengkak ribuan hingga ratusan ribu di sejumlah kabupaten – kota, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bali, Maluku, Sulut dan NTT.

Sabtu, 25 Mei 2019 | 14:20 WIB
0
524
Prabowo Memang Harus “Dikalahkan” Dengan Kecurangan!
Paslon 02 Prabowo Subianto - Sandiada Salahuddin Uno akhirnya menempuh jalur hukum dengan menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. (Foto: Detik.com).

Mungkinkah paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno masih berpeluang bisa mengalahkan paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) nanti? Sangat mungkin, karena peluangnya besar sekali.

Apalagi jika Kuasa Hukum BPN Prabowo – Sandi berhasil menyakinkan majelis hakim MK bahwa telah terjadi pencurangan Pilpres 2019 yang berdampak pada rekapitulasi perolehan suara paslon 02 ini. Semoga drama Pilpres 2014 tidak terulang.

Meski ada bukti kecurangan, dalam putusannya, majelis hakim MK tetap “memenangkan” Capres Jokowi. Membahas pencurangan pemilu (Pilpres) 2019 tidak bisa tidak, kita harus melihat kembali ke belakang: Pilpres 2014 dan Pilpres 2009.

Pada Pilpres 2014 dan 2009 adalah bukti terjadinya pencurangan pada pemilu namun tidak diselesaikan secara tuntas karena tidak berfungsinya atau terkooptasinya lembaga-lembaga negara, seperti KPU dan MK.

Pencurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada pemilu era reformasi pertama kali terjadi pada Pemilu 2009. Sedikitnya ada 26 juta pemilih siluman pada DPT 2009 yang memungkinkan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono menang dalam satu putaran.

Bahkan, perolehan suara Partai Demokrat pun melonjak lebih 300%. Pada Pilpres 2009, KPU menetapkan DPT Pilpres 2009 sebanyak 176 juta pemilih dan sekitar 2 juta pemilih non DPT. Padahal penetapan DPT Pilpres 2004 sebesar 150 juta pemilih juga sudah diprotes berbagai kalangan karena dinilai “overstated”.

Pada Pilpres 2014 KPU telah menetapkan DPT Pilpres 2014 sebesar 190 juta pemilih dengan sekitar 2 juta pemilih non DPT. KPU tidak mampu menyusun DPT 2014 secara akurat karena program SIN via Proyek e-KTP yang diharapkan selesai pada 2012, kacau dan carut-marut.

Kala itu, Presiden SBY dituding sebagai pihak yang menyabotase program pemerintahannya sendiri, yakni e-KTP untuk menutupi kecurangannya pada Pilpres 2009 dan memudahkannya mencurangi Pilpres 2014.

Pada Pemilu dan Pilpres 2019 yang dilakukan serentak pada Rabu, 17 April 2019, ditemukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif yang meliputi penyelenggara pemilu dan pemerintahan.

Khusus mengenai kecurangan pemilu yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi, setidak-tidaknya, hal itu meliputi: UU Pemilu, Perppu KPK, Perppu Ormas, Mobilisasi ASN-BUMN, Pencairan Dana Desa, Kenaikan Tunjangan Babinsa 771%, Pemberian Gaji ASN Ke 13-14;

Penambahan 13 ribu desa baru, Penempatan Militer Aktif pada jabatan sipil, pembentukan opini publik melalui mobilisasi media mainstream, represifisme dan kriminalisasi unsur anti rezim Jokowi;

Mobilisasi TNI-Polri dan Birokrasi untuk pemenangan pemilu-pilpres kubu Jokowi dan seterusnya. Sementara itu, KPK yang dikendalikan SBY- Luhut Binsar Panjaitan terus bermanuver menyandera elit partai pendukung dan kepala daerah agar tetap membantu pemenangan Jokowi secara all out.

Bagaimana dengan KPU – Bawaslu – Mahkamah Konstitusi? Ketiga lembaga ini sudah lebih menyerupai timses capres Jokowi ketimbang sebagai lembaga negara yang independen, netral dan tidak partisan.

Cobalah cermati latar belakang beberapa diantara 9 hakim konstitusi di MK. Ketua MK Dr. Anwar Usman, SH, MH, disebut-sebut sebagai “orang” Partai NasDem; Prof. Dr. Saldi Isra, SH disebut-sebut sebagai “orangnya” mantan Ketua MK Mahfud MD.

Prof. Dr. Arief Hidayat SH, MS, yang diusulkan PDIP, aktivis GMNI di Undip kader Prof. Muladi, matan menteri Kehakiman era Presiden BJ Habibie dan kader Maruarar Siahaan, mantan hakim MK yang sekarang Rektor UKI;

Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, Mhum, aktivis GMNI usulan PDIP dan Jokowi; Dr. Manahan MP Sitompul, SH, Mhum, sedang diperiksa KPK, berpotensi “disandera”; Dr. Suhartoyo, SH, MH, mantan anggota Komisi Yudisial yang kini  “bermasalah”.

Terakhir, Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, SH, Mhum, disebut-sebut sebagai “orang” titipan dari pemerintah. Untuk Prof. Dr. Aswanto, SH, MSi, DFM dan Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA, sejauh ini masih belum terbaca latar belakangnya.

Fakta Curang

Mungkin hanya kata ‘brutal’ yang bisa menggambarkan buruknya kualitas penyelenggaraan pemilu 2019. Melihat begitu banyak kecurangan terjadi di hampir seluruh dapil – propinsi, dapat disimpulkan sesungguhnya tidak ada penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Yang ada hanya manipulasi suara pemilu. Kebrutalan pemilu 2019 diawali adanya keputusan KPU yang menetapkan 193 juta pemilih pada pemilu 2019, di tengah begitu banyaknya bukti sekitar 31,9 juta pemilih yang tercantum dalam DPS adalah pemilih ganda, fiktif, ilegal.

KPU maju terus dengan 193 juta pemilih pada DPT. Lalu, terhadap uji materi beberapa pasal UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, MK memutus siapa saja yang belum terdaftar dalam DPT tapi memiliki KTP atau surat keterangan sedang mengurus kepemilikan KTP diperkenankan untuk memilih.

Belum cukup sampai di situ, MK dan KPU memperpanjang pemilih pindahan sampai sehari menjelang pemberian hak suara. Beberapa putusan MK dan Peraturan KPU akhirnya telah memperkosa kejujuran dan kesahihan pemilu 2019.

Terbukti kemudian, jumlah pemilih non DPT membengkak ribuan hingga ratusan ribu di sejumlah kabupaten – kota, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bali, Maluku, Sulut dan NTT.

Kebrutalan pemilu 2019 semakin sempurna dengan sikap KPU mempertahankan kegilaan terkait DPT Papua yang kembali ditetapkan jauh lebih besar daripada jumlah penduduknya.

Kegilaan DPT Papua sejak 2009, makin parah pada 2014 dan mencapai puncaknya pada 2019. Penduduk Papua pada 2019 hanya 3,3 juta jiwa namun memiliki pemilih sebesar 3,5 juta orang tercantum pada DPT Papua.

Itu belum termasuk pemilih non DPT yang jumlahnya juga ugal-ugalan. Bangsa Indonesia kini berada di simpang jalan. Tetap ngotot mempertontonkan ketololan, melalui pencurangan pemilu yang brutal.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur jumlah pemilih DPT dan non DPT hampir mencapai 90% dari jumlah penduduknya. Pemilu Serentak 2019, memudahkan bagi siapa saja menemukan pencurangan pemilu khususnya pilpres di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulawesi Utara dan seterusnya.

Khusus Papua, kegilaan pemilu di Bumi Cendrawasih tersebut membuatnya tak layak untuk dibahas. Memalukan!

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan total lebih 10 juta suara tidak sah pada rekap suara hasil pileg DPD dan DPRD. Namun, angka 10 juta lebih suara tidak sah itu, mendadak menyusut drastis pada rekap suara hasil pilpres.

Tiba-tiba 10 juta suara tidak sah pada rekap pileg itu bertransformasi menjadi suara sah di rekap pilpres sebagai suara tambahan untuk paslon Jokowi – Ma’ruf.

Kedunguan, amoral, kebrutalan secara vulgar dipertontonkan oleh KPU selaku penyelenggara pemilu dan pemerintah sebagai penanggungjawab pemilu.

Dan seperti diduga sebelumnya, mantan Presiden SBY diam seribu bahasa menyaksikan super manipulasi pemilu, bahkan sebaliknya, mendesak agar rakyat menerima kegilaan ini sebagai hasil pemilu yang sudah sah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Gile kan Broo?

***