Seperti tulisan saya sebelumnya, yang menyinggung mengenai kostum yang akan dikenakan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di kampanye Pilpres 2019 ini, kiranya memang benar bahwa pasangan Nomor Urut 02 ini tergiur untuk merebut suara kaum milenial.
Bagaimana tidak tergiur, karena suara pemilih muda atau kaum milenial di Pilpres 2019 ini merupakan suara mayoritas dari jumlah pemilih. Oleh karena itu, tak sedikit pengamat yang memprediksi pasangan calon peserta pilpres, para caleg, dan parpol peserta pileg akan beradu strategi guna menggaet suara pemilih muda ini.
Definisi umum kaum milenial di sini adalah para pemilih yang usianya antara 17 sampai 38 tahun. Bila dilihat dari daftar pemilih tetap (DPT) yang jumlahnya sekitar 185 jutaan, pemilih dengan rentang usia 17 sampai 38 tahun itu, hitungannya sekitar 55 persen. Oleh karena itu, menurut Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) Djayadi Hanan, kandidat capres maupun pemilu legislatif harus memperhatikan suara milenial.
Bila kita melihat dua pasangan capres di Pilpres 2019, yaitu Presiden inkumben Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, pemilih muda lebih cenderung memilih Jokowi yang sesuai dengan suara kaum milenial. Bukan saja karena usia Jokowi yang lebih muda dari Prabowo, tetapi gaya keseharian Jokowi dengan mode berpakaian dan aktivitas bermotornya selama ini, diakui mampu menyedot perhatian kaum milenial.
Bila akhirnya Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya, bisa jadi alasannya karena Prabowo tak ingin 55 persen suara milenial semuanya mengarah ke Jokowi. Namun, bukan berarti besarnya suara kaum milenial di atas, membuat pasangan capres melupakan pemilih lainnya yang jumlahnya 45 persen. Itulah yang dibaca Jokowi dengan menggandeng KH Ma'ruf Amin.
Berbeda dengan Jokowi, untuk menghadapi Pilpres 2019 ini, Prabowo ternyata mengubah kebiasaannya. Dikarenakan tergiur besarnya suara kaum milenial, mantan Danjen Kopassus ini "terprovokasi" untuk tampil dan bergaya seperti Jokowi. Ia Tak lagi mengenakan kemeja berkantung empat, seperti model pakaian sang Proklamator kita Sukarno-Hatta, yang pernah dikenakan Prabowo dalam dua kali keikutsertaannya di Pilpres 2009 dan Pilpres 2014.
Soal model pakaian yang dikenakan Juru Bicara Nasional Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno di atas, kita semua melihatnya sebagai bentuk meniru gaya pakaian Jokowi. Apapun yang dilakukan, semua itu sah-sah saja dan tidak ada yang salah, seperti ketika Prabowo meniru model pakaian Bung Karno dan Bung Hatta.
"Pak Prabowo yang gayanya gitu-gitu aja, kostum misalnya kalau saya jadi timsesnya Pak Prabowo hal pertama yang saya ganti dari Prabowo itu adalah kostum jangan lagi putih, krem, coklat, orang bosen ngeliatnya," kata Hendri, seperti dikutip di laman Detik.com (21/10/2018).
Selain Prabowo, Jokowi pun tidak menyia-nyiakan suara dari kaum milenial. Karena itu, beberapa kali penampilan dan pidato kakek dari Jan Ethes Srinarendra ini dibumbui hal-hal yang berbau milenial, seperti pidatonya di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, yang menganalogikan Perang Dagang Amerika dan Tiongkok dengan kisah yang ada di film Games of Thrones.
Baik Jokowi-KH Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandi tak perlu malu untuk meniru sesuatu yang baik. Namun yang penting, tentu saja apa yang ada di dalam hati. Meskipun dalamnya hati akan sulit untuk dilihat, semua itu justru akan tampak terlihat dari apa yang telah dikerjakan selama ini. Masyarakat Indonesia, khususnya kaum milenial bisa melihat mana yang hanya retorika, dan mana yang sudah melakukannya secara nyata.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews