Bermotor di Langit Ketujuh, Adu Metafora Perang Sampah Anies-Pepen

Selasa, 13 November 2018 | 08:25 WIB
0
446
Bermotor di Langit Ketujuh, Adu Metafora Perang Sampah Anies-Pepen
Rahmat Effendi dan Anies Baswedan [Kompasiana.com/Tilariapadika]

An-imin-bi 'surga itu tujuh' kata orang-orang Sumeria. Bagi bangsa Babilonia kuno, kebudayaan atau agama tertua yang menganut konsep 7 lapis surga, saturn adalah lapisan tertinggi. Meski bukan yang terakhir, the spere of saturn itu pula langit ketujuh dalam surga Dante, tempat jiwa-jiwa para pendoa, 3 tingkat sebelum surga. Satyaloka dalam konsep Hindu.

Ketika Walikota Bekasi Rahmat Effendi alias Kang Pepen mengibaratkan sulitnya komunikasi dengan Anies Baswedan bagai komunikasi dengan langit ketujuh, saya tak tahu konsep langit ketujuh siapa yang ia pakai. Yang jelas pernyataan Kang Pepen itu layaknya kokok ayam jago dominan di kampung tepi sawah.

Serempak ayam jantan lain menimpali, bersahut-sahutan. Anies dirundung para politisi dan warganet. Sebagian besar mungkin tak sungguh paham duduk soalnya.

Luka lama kekalahan Ahok yang disebabkan eksploitasi sentimen agama jadi minyak yang membakar sampah Bantar Gebang. Banyak warganet, sepertinya pendukung Ahok--tampak dari komentar mereka yang belum move on dan kalau pendukung Anies mestilah Anies selalu benar--menyalahkan Anies. Tak cekatan, pemikir text book, tak gentle.

Hari-hari ini Wan Anies seharusnya menikmati pujian dari sejumlah capaian kecil setahun pemerintahannya yang berakhir menduda ditinggal nyapres Sandiaga Uno. Seharusnya tabuhan gong penanda program rumah DP 0 persen dimulai sudah cukup membuat suara-suara minor padanya senyap sejenak. Mungkin begitu pikir Pak Anies.

Tetapi serangan pernyataan-pernyataan Kang Pepen yang ditimpali politisi lain dan warganet sudah merampas pupus harapan itu dari Anies.

Ia gerah. Sudah mencapai puncak usahanya untuk tetap tampak kalem. Gemuruh amarah gelegak dalam dada, akhirnya tumpah juga.

Pemkot Bekasi itu seperti motor saja. Anies ikut-ikutan gunakan perumpamaan. Ia menjadi mobil. Yang ugal-ugalan di jalan itu motor. Tetapi yang selalu disalahkan adalah mobil.

Anies merasa Walikota Bekasi Rahmat Effendi pantas diibaratkan motor, yang suka seenaknya dalam berlalu-lintas namun menyalahkan mobil-mobil jika hal buruk terjadi.

Anies yakin Ia telah menunaikan kewajiban Pemprov DKI sesuai PKS. Perjanjian Kerja Bersama maksudnya. Bukan partai yang sedang seperti motor juga, meraung-raung bunyi knalpotnya berharap iba diberikan jatah wakil gubernur.

Dalam PKS Pemprov DKI-Pemkot Bekasi yang wajib dipenuhi Pemprov DKI adalah dana kompensasi atas busuknya sampah warga DKI yang mengganggu kenyamanan hidup orang Bekasi.

Uang Bau. Itu istilahnya. Bau yang menguap dari truk-truk sampah yang seliweran di jalan Bekasi. Bau yang terbang dari tumpukan sampah Bantargebang, lalu hinggap pada membran mukus dalam rongga hidung penduduk Bekasi.

Betapa busuk sampah warga Jakarta itu sehingga Pemprov harus anggarkan ratusan miliar setiap tahunnya untuk kompensasi penderitaan warga Bekasi, tetangga mereka yang baik hati, rekan-rekan sekerja mereka, para komuter yang memenuhi jalan-jalan ibu kota.

Anies yakin ia tak lupa membayar kewajiban uang bau. Mei 2018 Pemprov DKI sudah serahkan Rp 138 miliar uang bau 2018, plus utang bau tahun sebelumnya Rp 64 miliar. Demikian pengakuan Anies.

Anies Baswedan beranggapan Kang Pepen masih bermain dengan grip gas dan meraung-raungkan knalpot motornya untuk cari perhatian agar diberikan uang kerjasama Rp 2 triliun.

Uang kemitraan alias dana hibah bukan bagian dari PKS sampah. Apalagi jumlahnya tidak sekedar Rp 500 miliar atau berapa. Rp 2 triliun. Ini adalah jumlah yang besar.

Anies Baswedan sebenarnya mau mempertimbangkan untuk memberikan pula uang kemitraan itu asalhkan ada rincian agar mudah pula bagi Anies untuk minta persetujuan DPRD DKI.

Namun rupanya sejak diminta pada Mei, baru 18 Oktober rincian itu diberikan Pemkot Bekasi.

Anies benar-benar jengkel. Ia merasa tak lalai dalam penuhi kewajiban tetapi diributkan seolah-olah ia penunggak utang yang bersembunyi dari kejaran debt collector, lari hingga langit ketujuh. Padahal hanya Sandiaga yang layak berada di sana.

Sebab menurut Dante, langit ketujuh adalah tempat jiwa-jiwa para pendoa, tentu saja berarti juga santri dan ulama. Anies bukan ulama, tetapi Sandiaga ya, setidaknya ulama bagi Hidayat Nur Wahid dan santri Kyai Sohibul Iman.

Bekasi bukan wilayah DKI Jakarta. Jika ingin membangun macam-macam yang tak ada urusannya dengan sampak DKI, mintalah kepada gubernur yang punya Bekasi. Anies maksudkan Ridwan Kamil.

Pandangan Anies Baswedan, 'sang mobil' ini bertolak belakang dengan Kang Pepeng, 'si motor' dari Bekasi.

Menurut Rahmat Efendi, dana hibah alias dana kemitraan itu juga bagian dari perjanjian kerjasama. Bagi Kang Pepen, tak mungkin Pemkot Bekasi mengizinkan DKI buang sampah ke Bantargebang jika tak ada perjanjian dana hibah atau kemitraan.

Ini yang menyebabkan Rahmat Efendi sepertinya akan main kasar. Ia sudah keluarkan pernyataan: Jakarta akan banjir sampah.

Hmmm. Entah siapa yang kelak akan dibenarkan peraturan nantinya. Sang mobil Anies Baswedan atau si motor Rahmat Efendi.

Yang jelas daripada motor dan mobil trek-trekan atau senggol-senggolan di jalan, duduk dululah berdua sambil minum oli, eh kopi untuk mencari jalan keluarnya. Sampah sudah cukup mengganggu hidung rakyat, jangan pula mata dan telinga rakyat menderita oleh perang pernyataan pemerintah daerah.


Sumber:

  1. Tribunnews.com (21/10/2018) "Wali Kota Bekasi Peringatkan Anies, Jakarta Bakal Banjir Sampah!"
  2. Detik.com (21/10/2018) "Anies Buka-bukaan, Begini Duduk Perkara Kisruh Sampah dengan Bekasi."
  3. Tribunnews.com (19/10/2018) "Pepen Minta Anies Baca Kembali Perjanjian Kerja Sama karena Bekasi Bukan Pembantu DKI." 
Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika