Berebut Suara Nahdliyin dan Seruan Kembali Khitthah 1926, KoRuf versus BOSAN

Kamis, 8 November 2018 | 21:24 WIB
0
289
Berebut Suara Nahdliyin dan Seruan Kembali Khitthah 1926, KoRuf versus BOSAN

Sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia, suara warga Nahdliyin menjadi rebutan paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin (KoRuf) dengan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno (BOSAN) menjelang gelaran Pilpres 2019.

Paslon KoRuf tentunya sangat diuntungkan dengan posisi Jokowi sebagai Presiden yang bisa menggunakan fasilitas negara. Begitu juga dengan Ma’ruf yang masih sering memanfaatkan jabatan Ketua Umum MUI maupun Rois Syuriah PBNU.

Meski sudah menyatakan mengundurkan diri dari kedua jabatan tersebut, faktanya Ma’ruf masih sering tampil untuk “mewakili” MUI maupun PBNU. Makanya dukungan terhadap paslon KoRuf ini masih tetap datang atas nama warga NU.   

Begitu halnya dengan Jokowi. Dengan jabatan Presiden yang masih disandangnya, Jokowi bisa lebih leluasa berkampanye kapan saja dan di mana-mana tanpa ada batasan waktunya.  Termasuk melalui media mainstream yang dikuasainya.

Dalam 1 x 24 jam, wajah Jokowi akan tampil melalui layar kaca. Mau bukti? Silakan amati kampanye terselubung Ketua Umum DPP Perindo Hari Tanoesoedibyo bersama Jokowi saat bertemu di Istana Negara melalui jaringan TV miliknya.

Belum lagi melalui jaringan media milik Ketua Umum Tim Kampanye Nasional (TKN) Erick Thohir. Wajah Jokowi juga bisa setiap saat muncul melalui jaringan TV milik Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh sampai pelosok desa.

Rencana peluncuran motor listrik GESITS yang diklaim sebagai hasil karya anak bangsa pun diberitakan berulang-ulang oleh jaringan TV milik koalisi parpol pendukung paslon KoRuf . Semoga saja nasib Gesits tidak seperti mobil ESEMKA.

Padahal, KoRuf pernah menyatakan bahwa Esemka sedianya diluncurkan Oktober 2018 lalu. Tapi, ternyata hingga memasuki November 2018 ini, mobil Esemka tak muncul juga seperti saat dijadikan greget semasa kampanye Pilpres 2014 lalu.

Motor Gesits, menurut Presiden Jokowi, akan diproduksi massal dan diluncurkan pada awal 2019. Semoga saja Gesits benar-benar diproduksi di Indonesia, bukan di Cina seperti Esemka yang tinggal mengganti merknya dengan nama Esemka.

Pengalaman Esemka telah berhasil “mengantarkan” Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga terpilih menjadi Presiden pada Pilpres 2014 mengalahkan Prabowo Subianto yang kali ini kembali menjadi rivalnya pada Pilpres 2019 nanti.

Dengan digaetnya Ma’ruf sebagai tokoh dan ulama NU sebagai cawapresnya, tentunya hal ini akan membuat sedikit sulit bagi paslon BOSAN, meski keduanya telah diberikan Kartu Tanda Anggota NU oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj.

Pengaruh Ma’ruf di struktural pengurusNU tentunya masih sangat kuat. Terbukti, atas nama warga NU yang datang ke rumah Ma’ruf menyatakan dukungannya kepada paslon KoRuf. Pada umumnya, ulama struktural NU condong ke KoRuf.

Berbeda dengan ulama kultural NU yang lebih memilih mendukung paslon Prabowo – Sandi (BOSAN) daripada KoRuf. Pasalnya, selama kepemimpinan Said Aqil Siradj dan Ma’ruf, NU lebih cenderung “bermain politik” ketimbang mengurusi umat Islam.  

Makanya, sampai muncul seruan agar NU kembali ke Khitthah 1926. Menurut para dzurriyah muassis (anak cucu pendiri), politisasi organisasi NU semakin hari semakin masif. Apalagi ada yang secara terbuka mengkampanyekan paslon KoRuf.

Ketua NU Garis Lurus, KH Luthfi Bashori Alwi menilai, NU yang ada saat ini telah banyak menyimpang, terutama di tingkat struktural. Mereka secara terang-terangan berdakwah dan menyeru mendukung paslon KoRuf pada Pilpres 2019.

Jadi, “Ini sudah melanggar AD/ART NU, apalagi berdakwah menggunakan fasilitas PBNU. Mereka sudah keluar dari khitthah NU,” ujar Luthfi Bashori, seperti dilansir Nusantara.News, Rabu (24/10/2018).

Itulah yang melatarbelakangi digelarnya halaqah nahdliyah khitthah di Ponpes Tebuireng asuhan KH Salahuddin Wahid, Jombang, Rabu (24/10/2018). Tujuannya, mengembalikan NU pada jalan yang benar.

“Jalan yang bersih dari kepentingan politik praktis. NU jangan sampai jadi alat untuk merebut kekuasaan seperti yang saat ini terang-terangan dilakukan elite NU di tingkat struktural,” kata Kiai Luthfi Bashori.

Hadir dalam halaqah nahdliyah khitthah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebagai sohibul bait, KH Hasib A Wahab Chasbullah (Gus Hasib) dari Ponpes Tambakberas. Hadir juga KH Agus Solachul A’am Wahib Wahab (Gus A’am).

Ada juga Gus Rozaq, KH A Wachid Muin, KH Muhammad Najih Maimoen dari Sarang, KH Abdul Zaini dari Pasuruan dan KH Abdul Hamid dari Lasem. Ada pula KH Abdullah Muchid Pendiri IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia).

Prof Dr KH Ahmad Zahro, MA al-Chafidh Ketua IPIM, Drs H Choirul Anam, cucu menantu dari KH Achmad Dahlan (Pendiri Taswirul Afkar Kebondalem, Surabaya), Prof Nasihin Hasan, Prof Aminuddin Kasdi, KH Muhammad Idrus Ramli (Jember);

KH Luthfi Bashori Alwi (Malang), Gus Ahmad Muzammil (Jogjakarta), Gus Mukhlas Syarkun, dan lain-lain. Sedikitnya ada sekitar 50 orang dari tokoh-tokoh NU baik kultural maupun struktural.

Menurut juru bicara halaqah Choirul Anam alias Cak Anam, ada 3 keputusan penting yang diambil dari halaqah nahdliyah khitthah untuk kemudian disampaikan kepada warga NU, termasuk bagaimana menghadapi Pilpres 2019.

Pertama, anak cucu pendiri NU perlu menegaskan dan mengingatkan kembali, bahwa NU harus berdiri tegak di atas khitthah 1926. Kedua, NU tidak ada urusan dengan parpol mana pun, dan tidak berpihak kepada siapa pun (Capres Cawapres), termasuk pada Pilpres 2019.

Ketiga, NU memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya (memilih Capres Cawapres) sesuai hati nurani yang tercantum dalam sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU.

Menurutnya, perlunya kembali ke khitthah NU 1926 karena sudah banyak pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan terhadap khittah yang digulirkan pada Muktamar ke-27 NU 1984 di Situbondo.

Termasuk bagaimana Pengurus Besar NU (PBNU) yang sudah terperosok ke dalam politik praktis kekuasaan. “Ini menjadi pertimbangan dibentuknya Komite Khitthah, dan akan terus berlanjut sampai NU benar-benar kembali ke khitthah 1926 sebagaimana diputuskan para masyayikh terdahulu,” terang Cak Anam.

Terkait dengan majunya KH Ma’ruf Amin yang merupakan mantan Rais Aam PBNU sebagai Cawapres mendampingi Capres Joko Widodo, menurut Cak Anam, tidak ada keharusan bagi warga Nahdiyin untuk mendukungnya.

Pasalnya, majunya Ma’ruf Amin tersebut merupakan keputusan pribadi bukan keputusan NU. “Warga NU perlu tahu bahwa itu bukan keputusan NU, karena tak ada sejarahnya Rais Aam PBNU kemudian ‘putar haluan’ melepas baiat untuk menjadi Cawapres,” pungkasnya.

NU terlibat politik praktis tidak wajib ditaati. Khitthah NU 1926 selama ini memang menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.

Banyaknya pelanggaran di tubuh NU belakangan ini, di tingkat struktural maupun kultural, membuat anak cucu pendiri NU menyerukan ke khittah 1926.

Ketua NU Garis Lurus, KH Luthfi Bashori Alwi mendukung halaqah nahdliyah khitthah yang telah menyepakati tiga poin. Menurutnya, keputusan itu harus benar-benar ditegakkan oleh warga NU. “Kita harus kembali ke khitthah NU 1926, tidak bisa tidak,” tegasnya.

Luthfi Bashori membeberkan tujuh poin hasil diskusi dengan Komunitas Garis Lurus terkait NU kembali ke khitthah.

Pertama, sudah banyak pengikut aliran, paham, atau perilaku sesat yang ternyata dilindungi PBNU, seperti kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menghina Almaidah-51. Di saat ia mendapat perlawanan dari umat Islam, ternyata hanya PBNU yang membela Ahok.

“Di sini kami merasa prihatin,” tegas Luthfi Bashori. Tidak hanya kasus Ahok, PBNU selama ini juga selalu nyinyir kepada umat Islam terkait keberadaan aliran sesat liberalisme itu yang tumbuh subur di kalangan pengurus NU. Seperti keberadaan aliran Syiah di Indonesia.

Menurutnya, Syiah di era Said Aqil Siradj malah mendapat dukungan dukungan dari PBNU. Padahal di jaman KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), visi dan misi PBNU adalah memberantas aliran sesat, sedangkan saat ini terkesan menjadi pelindung aliran sesat.

Kedua, Gerakan NU Khitthah menerbitkan ulang secara resmi tulisan Qonun Asasi NU (Arab & terjemahan) dan Risalah Aswaja karya Mbah Hasyim untuk menghindari banyaknya upaya pemalsuan yang dilakukan oleh tangan-tangan liberal.

Ketiga, mengajak warga NU kembali ke Khitthah Aqidah Aswaja sesuai ajaran para ulama salaf dan tak tergiur dengan pemikiran-pemikiran baru yang bertentangan dengan ajaran para pendiri NU, selain mengembalikan visi dan misi keorganisasian NU kepada Khitthah 1926.

Keempat, memohon kepada para ulama sesepuh NU untuk bersedia menata ulang eksistensi Banom NU, seperti aktivitas Banser yang sering menjaga gereja. Pasalnya bukan seperti itu Banser dibentuk.

Termasuk, kasus terbaru dan menjadi sorotan dunia Islam, ada anggota Banser membakar bendera berkalimat tauhid hingga umat Islam marah, dan mengecam aksi pembakaran itu.

Sementara pimpinan Ansor serta beberapa tokoh struktur NU malah mencari pembenaran atas ulahnya. Hal ini membuat masyarakat awam bertanya-tanya, apakah tidak ada sesepuh NU yang berani mengingatkan mereka. NU Seperti dibuat ‘mainan’.

Kelima, gerakan PKPNU (Pendidikan Kader Pergerakan NU) membuat prihatin, sebab hanya dijadikan sebagai alat liberalisasi dan politisasi pemikiran tokoh/kader muda NU.

Keenam, hendaklah NU memfasilitasi dan merangkul mayoritas para alumni Timur Tengah (Makkah, Madinah, Yaman, Mesir, Maroko, dan lain-lain) yang beraqidah dan berpaham masih lurus sesuai ajaran KH Hasyim Asy’ari, karena Mbah Hasyim juga alumni Timteng yang beraqidah lurus.

Mereka itu hakikatnya adalah aset NU, namun selama ini tidak diwadahi oleh pengurus NU secara baik dan benar. Karena itu mereka kemudian bergerak sendiri-sendiri, meski mereka itu berasal dari keturunan tokoh-tokoh NU.

Ketujuh, poin terakhir ini sesuai dengan hasil musyawarah intern para aktivis Komunitas Garis Lurus yang telah bersepakat pada Pilpres 2019 akan mendukung paslon Prabowo – Sandi (BOSAN).

Khusus poin terakhirnya ini, Luthfi Bashori menyebut pihaknya tak melanggar AD/ART NU. Mengapa demikian? Karena tidak disampaikan dalam bentuk dakwah dengan menggunakan fasilitas PBNU.

“Ini adalah uneg-uneg dari Komunitas Garis Lurus, ide teman-teman soal pemimpin. Tidak mewakili NU. Tidak menggunakan fasilitas PBNU. Saya yang bertanggungjawab. Ini sebagai pembanding dengan yang disampaikan elite NU di struktural,” tegasnya.

“Tidak ada pelanggaran AD/ART,” sindir Luthfi Bashori. Ia berharap, dengan NU kembali ke khitthah, masyarakat kini tidak perlu takut untuk memilih calon yang berbeda.

“Selama PBNU menganjurkan hal yang salah untuk memilih calon pemimpin, itu sudah melanggar AD/ART. Dan warga NU tidak wajib untuk mentaatinya. Ini juga berlaku bagi PKB agar tidak menyeret-nyeret warga NU ke ranah politik praktis,” tegasnya.

***