Jokowi, Petruk dan Pinokio

Lalu siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat, wong cilik, kalau wong gedhe mementingkan dirinya sendiri dengan korupsi?

Kamis, 25 Maret 2021 | 09:40 WIB
0
256
Jokowi, Petruk dan Pinokio
Ilustrasi Jokowi dan Petruk (Foto: bolehmerokok.com)

I

Mengapapa ketika Presiden Jokowi ke Padepokan Bagong Kussudiarja memantau vaksinasi Covid-19 terhadap 500 seniman, disambut para penari berdandan Petruk? Itu pertanyaan semantara orang beberapa waktu lalu.

Butet Kartaredjasa yang tuan rumah mengatakan, sengaja memilih Petruk sebagai tokoh. Presiden Jokowi memang kerap diidentikkan dengan sosok Petruk, salah satu dari empat punakawan. Sebagaimana Petruk, Jokowi dianggap representasi rakyat. Sejak memasuki gelanggang politik, Jokowi mencitrakan dirinya sebagai wakil wong cilik.

Istilah wong cilik—Koentjaraningrat menggunakan istilah tiyang alit—adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membedakan status sosial dalam masyarakat Jawa. Dalam penggunaannya wong cilik selalu dikontraskan dengan istilah priyayi.Jadi ada wong cilik dan priyayi (wong gedhe). Dalam banyak kasus, wong cilik menderita karena wong gedhe.

Sementara itu, Clifford Geertz membedakan orang Jawa menjadi dua golongan: santri untuk yang menjalankan ajaran agama (Islam) dengan sungguh-sungguh, dan abangan untuk orang kebanyakan. Sekalipun, Niel Mulder (2001) berpendapat bahwa orang Jawa adalah makhluk religius.

Masyarakat yang dikelompokkan ke dalam golongan wong cilik adalah sebagian besar massa petani, petani gurem, para pekerja kasar, para pedagang kecil, buruh kecil, tukang becak, pengasong, dan sebagainya. Mereka ini merupakan masyarakat kebanyakan dan menjadi lapisan masyarakat bawah.

Sekalipun Magnis-Suseno (1993) membedakan arti wong cilik dan orang miskin. Antara orang kecil dan orang miskin tidak sama. Orang miskin termasuk orang kecil, sedangkan orang kecil hidupnya sederhana, tapi belum tentu miskin. Begitu kata Magnis-Suseno.

Sekalipun demikian, mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki daya, tak punya kuasa, powerless. Karena itu, mereka adalah kaum yang sering dieksploitasi, dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan terutama pada saat masa pemilu, pilkada.

Dalam banyak hal, mereka diabaikan, dikalahkan. Misalnya, selama ini banyak yang menganggap bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas. Kalau sama rakyat biasa dan miskin hukum ditegakkan seadil-adilnya. Tidak demikian terhadap para pejabat tinggi yang korup. Belakangan ini ramai dibicarakan soal kurang adilnya hukuman yang dijatuhkan pada para pejabat yang terlibat korupsi.

II

Mereka itulah Petruk, kata Sindhunata, rohaniwan dan budayawan Pemimpin Redaksi Majalah Basis.

Dalam pagelaran wayang purwa atau wayang kulit, Petruk itu mewakili suaranya dalang. Ini berbeda dengan Gareng, Semar, dan juga Bagong. Dalang itu mewakili suara rakyat. Maka itu, suara Petruk juga suara rakyat. Berbeda dengan Semar yang dewa, Petruk itu manusia biasa. Dekat dengan kita. Berasal dari lingkungan kita.

Karena berasal dari lingkungan kita, Petruk tahu kita. Petruk tahu hati rakyat, karena ia juga rakyat jelata. Meskipun Petruk menjadi pemimpin, tetapi ia tahu apa yang diinginkan rakyat, wong cilik. Ia pemimpin yang selalu memikirkan rakyat, kaumnya.

Hal itu dilambangkan—sosok Petruk dalam wayang kulit—satu kaki jinjit dan satunya menapak tanah. Kaki jinjit menyimbolkan cita-citanya yang jauh terbang tinggi, menggapai langit ke-ilahian. Sedangkan, kaki yang satunya menapak tanah melambangkan kesadaran dirinya yang manusia biasa, harus membumi.

Maka itu namanya pun “Petruk Kantong Bolong,” kata Herjaka, seorang pelukis wayang. “Kantong bolong”, artinya rezeki tidak dikantongi sendiri, untuk kepentingan diri, kepentingan keluarganya, kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi untuk orang lain, mengalir ke rakyat. Ia, Petruk, hanya menjadi sarana mengalirnya rahmat Allah dilambangkan dengan “kantong bolong” itu.

Seorang Petruk—sesuai dengan namanya “Petruk Kantong Bolong”—sekalipun rakyat jelata, apalagi kalau berkuasa akan selalu membela dan memperjuangkan kaumnya, yakni kaum miskin.

Ia memperjuangkan keadilan: tidak membiarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena bagi Petruk, ubi ergo iustitia vera non est, nec ius potest esse, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak tepat guna. Karena itu, keadilan sejati harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.

Kisah “Petruk Dadi Ratu”, misalnya, sebenarnya merupakan sindiran. Kisah satire terhadap keadaan yang tidak semestinya, misalnya, di mana ulama bicara politik, pebisnis jadi politisi, pelawak jadi wakil rakyat, politisi malah menjadi pelawak, yang tahu diam saja tetapi yang tidak tahu berteriak-teriak seakan tahu semuanya.  

III

Petruk, yang adalah rakyat, meskipun hidungnya panjang tentu bukan Pinokio, boneka kayu bikinan Kakek Gepeto yang setiap kali berbohong hidungnya bertambah panjang. Piniko boneka kayu itu adalah lambang kebohongan. Kebohongan menjadi bagian dari Pinokio.

Tidak demikian dengan Petruk. Sebagai rakyat biasa, wong cilik, Petruk akan selalu bicara apa adanya, terus terang, karena dunia wong cilik adalah dunia terang bukan dunia kegelapan. Mereka tahu, seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika berbicara tentang kebenaran.

Kata orang pandai, sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apapun, kecuali dengan kebohongan lainnya. Pikiran wong cilik tidak rumit, karena tidak memikirkan bagaimana caranya berbohong. Wong cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini dengan tenang dan kecukupan.

Untuk bisa hidup, mereka bekerja keras. Itu mereka lakukan, meski tidak memahami filosofi homo faber, manusia adalah mahkluk yang bekerja. Tetapi, mereka tetap bekerja demi hidup. Mereka terbiasa menghadapi kekurangan, namun selalu punya mekanisme jalan keluarnya. Itulah kearifan lokal itu.

Tugas wong gedhe adalah memberikan kebebasan, kemandirian, dan ketenangan hidup wong cilik. Syukur bisa memberi kemudahan bagi wong cilik dan tidak korupsi serta berebut kursi. Korupsi tidak hanya masalah hukum, melainkan sudah menyentuh sendi-sendi tanggung jawab sebagai warga negara dalam hidup bernegara. Korupsi menghancurkan pola kehidupan politik yang bertanggung jawab dan digantikan dengan kerakusan.

Lalu siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat, wong cilik, kalau wong gedhe mementingkan dirinya sendiri dengan korupsi? Maka Petruk di Padepokan Bagong Kussudiarja mengingatkan bahwa pemimpin itu sepenuhnya harus mengabdi kepada kepentingan rakyat.

***