Perlu Mencari Cara Berkampanye Baru

Saran ini tidak berguna lagi bagi Presiden Jokowi karena ia tidak diperkenankan mencalonkan diri kembali sebagai Presiden periode2024-2029.

Minggu, 28 April 2019 | 15:13 WIB
0
532
Perlu Mencari Cara Berkampanye Baru
Ilustrasi kampanye (Foto: Tribunnews.com)

Jika melihat perolehan suara yang dicapai oleh calon Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden pada tanggal 17 April 2019, sebagaimana yang dicerminkan lewat 8 Lembaga Hitung Cepat (Quick Count), maka tampak jelas bahwa pencapaian (prestasi) Presiden Jokowi selama 5 tahun (2014-2019) tidak dijadikan pegangan oleh pemilih untuk memberikan suara kepadanya.

Dari hasil hitungan 8 Lembaga Hitung Cepat itu memperkirakan perolehan suara calon Presiden Jokowi antara 54-56 persen.

Perolehan sebesar itu tidak berbeda jauh dengan perolehan suara yang dicapai Jokowi pada Pemilihan Presiden 2014, yakni 53,15 persen. Itu berarti pencapaian Presiden Jokowi selama memerintah dari tahun 2014-2019 hanya menyumbang tambahan suara sekitar 2-3 persen.

Prestasi Presiden Jokowi dalam membangun infrastuktur di daerah yang di masa lalu kurang diperhatikan oleh Jakarta, tidak menjadi pertimbangan orang untuk memberikan suara kepadanya. Padahal pembangunan infrastruktur cukup fenomenal, mulai dari antara lain membangun ruas-ruas jalan baru di Papua, jalan tol di Jawa (termasuk Trans Jawa), Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, serta membangun pelabuhan dan bandar udara.

Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil menyatukan harga bahan bakar minyak di seluruh Indonesia, sesuatu hal yang tidak pernah dipikirkan oleh lima Presiden sebelumnya, yakni Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono yang memerintah selama dua periode (2004-2014). Namun, semua prestasi itu tidak dapat melonjakkan perolehan suaranya di dalam Pemilihan Presiden 2019.

Tidak seperti di dalam ujian nasional (UN), di mana prestasi merupakan kata kunci, dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan Presiden, prestasi tidak dianggap penting, hanya menjadi pertimbangan yang ke sekian. Bahkan, menjual program saja tampaknya tidak cukup. Calon Presiden, atau calon anggota legislatif, atau partai baru, perlu memikirkan cara-cara berkampanye yang baru. Janji-janji politik, atau akan melakukan ini, atau akan melakukan itu tidak cukup menjual.

Para calon juga harus membangun citra politik dan didukung lembaga public relation yang profesional, seperti yang dilakukan eks Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilihan Presiden 2004 dan Pemilihan Presiden 2009.

Perolehan suara calon Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilihan Presiden 2004 dan 2009, 60 persen lebih. Sesuatu pencapaian yang tidak dapat disamai oleh Presiden Jokowi dengan gaya blusukannya.

Pendekatan kerakyatannya, yang dipadu dengan pendekatan agama (menjadikan ulama sebagai calon Wakil Presiden) hanya membuat perolehan suara Presiden Jokowi berkisar pada 54-56 persen.

Ada yang mengatakan, perolehan suara pada kisaran 54-56 persen itu karena calon Presiden Jokowi mendapatkan serangan hoax yang bertubi-tubi dari lawan politiknya. Namun, strategi hoax serta penggunaan pendekatan agama secara spartan oleh lawan politiknya juga tidak dapat memenangkan calon Presiden Prabowo Subianto.

Melihat hasil Pemilihan Umum 2019, termasuk Pemilihan Presiden, tampak jelas bahwa diperlukan cara berkampanye baru agar para calon dan partai-partai politik, terutama yang baru, dapat mendulang suara yang besar.

Saran ini tentunya tidak berguna lagi bagi Presiden Jokowi karena ia tidak diperkenankan mencalonkan diri kembali sebagai Presiden untuk periode tahun 2024-2029.

***