Takdir Puisi Fadli Zon

Sabtu, 16 Februari 2019 | 22:32 WIB
0
1161
Takdir Puisi Fadli Zon
Fadli Zon (Foto: Sinar Harapan)

Saya teringat puisi Mata Luka Sengkon Karta karya Peri Sandi Huizache yang amat masyhur. Terlebih, saat ia membacakan sendiri puisi tersebut. Boleh jujur, puisinya begitu kritis dan mengalir indah lariknya. Saya kutip sedikit saja baitnya:

"peralihan kepemimpinan yang mendesak

bung karno diganti pak harto

dengan dalih keamanan negara

pembantaian enam jenderal satu perwira

enam jam dalam satu malam

mati di lubang tak berguna

tak ada dalam perang mahabarata

bahkan di sejarah dunia

hanya di sejarah Indonesia..."

Rasa bahasa dan kesusastraan puisi ini, seperti muncul dari dalam hati dan kritisisme yang tinggi, bukan mengolok-olok tapi menyampaikan apa yang pernah menjadi sejarah kelam bangsa ini. Meskipun puisi sangat kritis, tapi satu yang saya rasakan dari puisi ini adalah menguatnya semangat kebangsaan, juga kecintaan akan tanah air yang kian mendalam.

Selain Peri, ada kyai sepuh yang juga seniman luar biasa, puisi-puisinya sangat menggelitik nalar dan menyadarkan kita akan kondisi negeri ini, siapa lagi kalau bukan K.H. Ahmad Mustafa Bisri atau yang biasa kita sapa Gus Mus. Pak Kyai kerap mengatakan bahwa puisi-puisinya adalah puisi balsem. Puisi-puisi Pak Kyai sudah dibuat puluhan tahun lalu, namun masih relefan dengan masa kini. Saya kutip lagi sedikit bait puisi beliau:

"mana ada negeri sesubur negeriku?

sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung

tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung

perabot-perabot orang kaya didunia

dan burung-burung indah piaraan mereka

berasal dari hutanku..."

Puisi Gus Mus di atas berjudul "Negeriku". Hingga akhir baitnya, puisi ini begitu kritis dan satire sekali. Selain itu, beberapa puisi lainnya begitu menggugah kesadaran kita, seperti beberapa judul berikut, "Di Negeri Amplop" dan "Negeri HaHaHiHi". Sekilas, puisi-puisi Gus Mus memang sangat kritis namun tidak "kekurangan adab", bahkan sebaliknya, isinya mencoba menyadarkan kita untuk kian beradab pada tanah air tercinta ini.

Nah, tanpa perlu mensyen banyak penyair hebat lagi, saya ingin fokus ke puisi Fadli Zon yang sebenarnya secara subjektif saya, puisi ini cukup bagus dan kritis. Namun, sekilas puisi ini dibuat dengan kesan politik yang amat kuat, tendensinya diendus sebagai penghinaan dan serupa olok-olokan pada Kyai Sepuh Maimun Zubair.

Saya jadi teringat kutipan kata-kata Seno Gumiro Ajidarma dalam sebuah buku sastra terbitan Kompas yang bebrunyi: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Namun sayangnya, sastra yang bicara lewat pena puisi Fadli Zon menemui takdir yang tak sedap. Dia menuai banyak kritik dari masyarakat karena dianggap merusak adab penghormatan pada guru, pada alim ulama.

Namun, layakkah puisi Fadli Zon itu diagresi banyak cacian oleh kita? Oh, tidak. Jangan dihina, biarkan itu sebagai ekspresi politiknya yang ditungkan lewat sastra. Kita hanya perlu melihat kelegaan hati Fadli Zon untuk meminta maaf jikalau puisi tersebut memang secara sentimen ia arahkan untuk menggoreng kekhilafan Kyai Maimun.

Toh, permintaan maaf pun barangkali akan berdampak baik. Supaya Fadli pun tak dianggap berternak kebencian lewat kata-kata dan syair yang ia produksi, reproduksi dan distribusi ke berbagai kanal media yang akhirnya memantik keriuhan publik. Sekarang, Fadli katanya akan meminta maaf dan mungkin tak mengulanginya lagi. Semoga begitu....

Oh iya, saya selipkan juga puisi kritis saya yang satire ini tentang situais politik DKI Jakarta, yang dulu barangkali syairnya sudah saya prediksi bahwa Fadli Zon memang pintar bikin puisi.

 

GARA-GARA AHOK

Gara-gara Ahok

Orang-orang bicara akhlak

Katanya butuh pemimpin bijak

Bukan yang mencak-mencak

 

Gara-gara Ahok

Pengacara sadar hukum

Ke Penjaringan bela beberapa kaum

Bicara lantang penegakan hukum

 

Gara-gara Ahok

Partai politik takut deparpolisasi

Para elit berhitung untung rugi

Akhirnya merapatkan diri

 

Gara-gara Ahok

Umat Islam ingat Quran

FPI punya kerjaan

Demonstran dikerahkan

 

Gara-gara Ahok

MUI merasa tersindir

Buka-buka lagi kitab tafsir

Khawatir ada ayat-ayat dipolitisir

 

Gara-gara Ahok

Orang-orang sadar diri

Selama ini diakali politisi

Sebab tiap proyek dikorupsi

 

Gara-gara Ahok

Fadli Zon pintar bikin puisi

Fahri Hamzah pandai mengkritisi

Tapi DPR tetap tak tau diri

***