Jokowi Presiden Tersukses dalam Memberantas Korupsi

Jumat, 18 Januari 2019 | 16:36 WIB
0
332
Jokowi Presiden Tersukses dalam Memberantas Korupsi
Presiden Joko Widodo (Foto: Facebook.com)

Pada acara debat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan Kamis (17/1/2019) malam, tema yang ditetapkan oleh KPU adalah, hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Korupsi, dan Terorisme. Pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan sedikit gambaran tentang masalah korupsi yang juga pernah ditulis menjadi beberapa artikel sejak 10 tahun tahun yang lalu.

Mungkin banyak yang tidak mengetahui, Pak Jokowi menjadi presiden tersukses dalam komitment pemberantasan korupsi. Menurut Transparency International, Indonesia mencetak poin tertinggi (37 dari 100) pada Indeks Persepsi Korupsi 2017.

Indeks Korupsi di Indonesia rata-rata 25,79 poin dari tahun 1995 hingga 2017. CPI Indonesia mencapai titik tertinggi selama 23 tahun dalam memerangi korupsi, dengan nilai Corruption Perception Index mencapai skor 37 poin pada tahun 2016 dan rekor terendah 17 poin pada tahun 1999. Tahun 2016 adalah baru tahun kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Penulis mencoba kembali me-refresh beberapa point penting dari artikel terdahulu. Semoga kita semakin sadar dengan menguatnya ancaman yang sangat serius dan dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara menuju cita-cita luhurnya.

Semoga artikel ini ada manfaatnya bagi kita semua dan mungkin ada manfaatnya bagi kedua paslon. Nah mari kita lihat apa sebenarnya korupsi, bahayanya, serta penanganan pemberantasan korupsi tersebut.

Pemahaman dan Bahaya Korupsi

Menurut Ikhtisar dari World Economic Forum, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Tingkat korupsi bervariasi antar wilayah, negara dan sistem politik. Korupsi dinilai sebagai salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Praktik korupsi mendistorsi pasar dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.

Pengaruh korupsi tidak hanya bidang ekonomi, juga melemahkan supremasi hukum dan mempengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial. Pemberontakan yang pernah terjadi di Afrika Utara dan Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana korupsi yang meluas dapat menimbulkan sebuah keresahan sosial, hilangnya kepercayaan masyarakat dan timbulnya frustrasi rakyat dan berakibat terjadinya pemberontakan.

Meskipun pemerintah berada di episentrum korupsi, peran bisnis, baik sebagai bagian dari masalah dan juga solusi juga merupakan pusat. Dalam dekade terakhir masyarakat internasional telah berhasil menciptakan sebuah front penindakan yang kuat terhadap korupsi, memperkenalkan hukum dan peraturan yang lebih keras. PBB, OECD , World Economic Forum dan organisasi internasional lainnya semakin mencurahkan perhatian terhadap korupsi yang dinilai mempunyai daya rusak yang tinggi.

World Economic Forum menegaskan bahwa korupsi juga melemahkan supremasi hukum, memengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial. Menurut Transparency International, korupsi adalah penyalah gunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu.

Menurut Sindhudarmoko (2000), pada korupsi tersangkut tiga pihak, pihak pemberi, penerima dan objek korupsi. Menurut teorinya, korupsi apabila dibiarkan akan berdampak terhadap makroekonomi, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek pengaruhnya belum akan terlihat, tapi dalam jangka panjang korupsi sangat mematikan pertumbuhan ekonomi.

Dalam buku saku KPK berjudul Memahami Untuk Membasmi, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999, jo.UU No.20 Th 2001, dalam pasal-pasalnya dirumuskan 31 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu, "Kekuasaan Kelompok Kepentingan dan Hegemoni Elit." Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan.

Interaksi sumber dan peranti menimbulkan empat klasifikasi. Pertama, Manipulasi dan Suap, terjasinya interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit. Kedua, Mafia dan Faksionalisme, golongan elit menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi. Ketiga,Kolusi dan Nepotisme, elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi untuk keuntungan diri, keluarga dan kroninya. Keempat, Korupsi Terorganisir dan Sistem, korupsi yang terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan.

Ukuran dalam Pemberantasan Korupsi

Mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi disebuah negara akan lebih akurat apabila menggunakan ukuran dari lembaga yang kredibel. Penulis sejak 10 tahun yang lalu mengikuti data dari Transparency International (TI). Lembaga ini adalah organisasi non pemerintah yang diciptakan untuk memerangi korupsi (1995).

TI setiap tahun mengeluarkan CPI (Corruption Perception Index) yaitu instrumen (nilai) yang berupa persepsi pengusaha multinasional, jurnalis keuangan internasional dan masyarakat domestik, sangat sulit dimanipulasi karena melibatkan banyak pihak yang diluar kemampuan pemerintahan suatu Negara untuk memengaruhi.

Pada awalnya nilai CPI dari 0 – 10, tapi kini nilai CPI menggunakan skor 0 sampai 100. Skor 0 dipersepsikan sebagai negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi, skor 100 sangat bersih. Dari nilai CPI maka tersusun ranking dari 180 negara didunia yang dinilai. Negara maju dan berkembang umumnya nilai CPI-nya lebih dari 5 (50), Sementara bagi negara terbelakang atau baru berkembang nilainya kurang dari 3 (30).

Penulis mengambil data CPI pada era Presiden SBY antara tahun 2004-2014, dan era Presiden Jokowi (2014-sekarang). Transparency International CPI Indonesia tahun 2005 (CPI, 2,2), tahun 2006 (CPI, 2,4), tahun 2007 (CPI 2,3,), Tahun 2008 (CPI 2,6), sebuah catatan tahun 2008 CPI naik cukup tinggi (3 point), mungkin sebagai efek gebrakan Ketua KPK Antasari Azhar, yang akhirnya terjungkir dan masuk penjara. Tahun 2009 (CPI 2,8), Tahun 2010 (CPI, 28), Tahun 2011 (CPI, 30), tahun 2012 (CPI, 32), Tahun 2013 (CPI 32), Tahun 2014 (CPI 34).Tahun 2015 (CPI 36), Tahun 2016 (CPI 37), Tahun 2017 (CPI 37), Tahun 2018 data belum di rilis.

Pada tahun 2017, diantara Negara-negara ASEAN, posisi Indonesia dari skor CPI mulai membaik. Tertinggi (terbersih) Singapura peringkat 5 dunia (87), Brunei peringkat 32 (62), Malaysia peringkat 62 dunia (skor 47), Indonesia di peringkat 96 (37), lebih unggul dari Thailand peringkat 96 dunia (skor 37), Vietnam diperingkat 107 (35), Filipina peringkat 111 (skor 34), dan Myanmar di peringkat 130 (30).

Dari perkembangannya terlihat pembersihan korupsi di Indonesia agak lambat, walaupun terlihat nilai CPI terus naik. Indonesia mencetak 37 poin dari 100 pada Indeks Persepsi Korupsi 2017 yang dilaporkan oleh Transparency International. Indeks Korupsi di Indonesia rata-rata 25,79 Poin dari 1995 hingga 2017, mencapai titik tertinggi sepanjang masa 37 Poin pada 2016 dan rekor terendah 17 Poin pada 1999.

Penilaian Tranparency International

Matthew Jenkins (Transparency International Secretariat) pada tanggal 22 Oktober 2018 menyatakan, bahwa di Indonesia, korupsi menyentuh Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kita tahu bahwa ketiga lembaga ini merupakan bagian dari sistem tata negara yang punya pengaruh dan peranan penting dalam tubuh pemerintahan (Trias Politica).

Jenkins menegaskan hal ini jelas merupakan salah satu kendala utama pada kapasitas kepemimpinan nasional untuk dapat memerintah secara efektif. Korupsi politik dinilainya sangat menyebar dan parlemen secara luas dianggap sebagai institusi yang paling korup. Demikian pula, korupsi pada birokrasi merajalela dan sebagian besar penduduk melaporkan membayar suap untuk layanan.

Namun, ada beberapa nilai positif, yaitu perbaikan nyata di beberapa daerah, dan mayoritas penduduk memiliki pandangan positif terhadap upaya pemerintah untuk memerangi korupsi. Kinerja luar biasa Komisi Pemberantasan Korupsi dan reformasi di lingkungan bisnis telah dipujinya karena optimisme negara tersebut (Indonesia)  mengenai reformasi anti-korupsi.

Analisis

Dari penilaian TI tersebut, jelas KPK dengan segala keterbatasannya sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi harus percaya diri menghadapi counter mereka yang sedang diperiksa dan jaringannya. Ancaman fisik sudah mulai terjadi seperti  kasus Novel Baswedan serta ancaman terhadap Ketua KPK berupa  teror bom (fake bomb) serta Molotov. 

Dari beberapa kasus terbongkarnya tindak korupsi, apabila dikaitkan dengan hasil penelitian Hambali mulai terlihat bayangan abu-abu, mapping pelaku korupsi. Para pelaku korupsi yang ditangkap terdiri dari hegemoni elit, pejabat yang menyalah gunakan kekuasaan serta adanya perlindungan politik.

Para pejabat yang menyalah gunakan kekuasaan pada umumnya menerima suap. Beberapa kasus KKN juga terungkap di pengadilan Tipikor. Penyalah gunaan wewenang yang menjurus seperti kelompok mafia yang membentuk pengikut juga terungkap. Nah, kini yang menjadi pekerjaan rumah KPK adalah korupsi yang terorganisir dan sistem. Dimana korupsi dilakukan secara terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik.

Pemberantasan korupsi di suatu negara membutuhkan komitmen politik yang sungguh-sungguh dan nyata dari pemimpin Negara, butuh political will yang kuat. Presiden Jokowi dengan capres Prabowo Subianto punya pandangan berbeda soal korupsi di Tanah Air.

Prabowo menyebut korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat. Maraknya korupsi di Tanah Air menjadi penyebab kemiskinan. Ketum Partai Gerindra itu berpendapat kasus korupsi di Indonesia sudah sangat parah karena sampai melibatkan kepala daerah bahwa hakim.

"Isu utama di Indonesia sekarang adalah maraknya korupsi, yang menurut pendapat saya sudah seperti kanker stadium empat," kata Prabowo saat menjadi pembicara utama dalam acara 'The World in 2019 Gala Dinner' di Hotel Grand Hyatt, Singapura, Selasa (27/11/2018).

Jokowi menuturkan, dalam melihat pemberantasan korupsi harus bersandar pada data-data. Jokowi mengatakan sebaliknya. "Dari yang terjelek se-ASEAN, sekarang naik menjadi CPI ke angka 37, ini patut disyukuri. Jangan sampai ada yang bilang korupsi kita stadium 4, tidak ada," kata Jokowi seusai Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) 2018 di Gedung Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2018).

Penutup

Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan dengan keberanian luar biasa (urat takutnya putus), karena yang dihadapi adalah korupsi yang lebih terorganisir dan sudah berupa sistem seperti yang diindikasikan oleh Hambali. Ancaman-demi ancaman telah menyerang para pejabat KPK, berupa serangan fisik dan bentuk teror.

Nah, masyarakat yang juga konstituen akan melihat acara debat Kamis malam, khusus mengenai bagaimana memerangi korupsi, mungkin data yang penulis sampaikan dapat melengkapi. Satu hal keunggulan Paslon 01, dimana Pak Jokowi sudah mempunyai pengalaman selama empat tahun lebih berkomitment mendukung penuh KPK.

Selain itu prestasi skor CPI tertinggi dalam 23 tahun merupakan prestasi tersendiri yang didapat saat Jokowi menjadi presiden. Nilai tambah lainnya, petahana ini dikenal sebagai tokoh yang jujur, sulit untuk digempur. Semoga bermanfaat. 

***

Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net