Radikalisme dan Kebersamaan Koalisi Pilpres

Minggu, 13 Januari 2019 | 21:19 WIB
0
895
Radikalisme dan Kebersamaan Koalisi Pilpres
Para pengusung dan pengasong khilafah (Foto: News Baldatuna)

Beberapa hari lalu, sepulang kegiatan Natal dalam organisasi keagamaan ibu, mengeluhkan rekannya yang memuja setinggi langit capres 02 dan malah merendahkan dengan amat capres 01. Kondisi yang susah saya mengerti di mana kebersamaan 02 dan rekan koalisinya yang lekat dengan kelompok ekstrem. Ini bukan soal agama, namun soal cara beragama.

Bapa pendiri bangsa sudah final memilih Pancasila sebagai pemersatu anak bangsa yang terdiri atas beragam suku, agama, ras, dan bahasa. Meninggalkan tujuh kata yang bagi sebagian kecil kelompok, entah mengapa kini lagi-lagi lahir, tumbuh dan berkembang demikian liarnya. Seolah ada gairah  baru, padahal di mana-mana orang justru ingin bisa tenang dengan Pancasila.

Akhir pekan lalu, Ketua Umum GP Anshor, melaporkan kepada presiden bahwa ada kelompok-kelompok yang memilih cara beragama secara ekstrem, pemahaman fundamenalis, dan cara bersikap radikal, sehingga melihat yang berbeda itu sebagai musuh, layak dan boleh disingkirkan, memaksakan kehendak untuk sama dengan mereka. Siapakah mereka? Ya itu yang sudah dikenali dan dipahami dengan baik.

Usai peresmian BPN di Solo, ada dua aksi kekerasan atau potensi kekerasan yang terjadi di sana, pelaku ya itu-itu lagi, ini bukan soal agama, namun cara beragama para pelaku. Apakah berlebihan jika ada korelasi kedatangan BPN, kejadian dua aksi kelompok tertentu, apalagi walikotanya pun bagi mereka “musuh” lagi.

Agak spekulaif memang, namun toh bila melihat rekam jejak mereka sih bisa menjadi fakta yang bisa mengarah ke bukti penguat.

Cukup menarik, ketika beberapa aksi sweeping yang sekian lama sudah senyap, turun bawah tanah, kini mulai menggeliat lagi. Akhir tahun kemarin aksi sepihak ini mulai menjajal lagi tabiat lama mereka. Dan kemarin juga melakukan di Solo, yang memang basis awal mereka. Cukup menarik, ketika sekitar tiga tahun lebih mulai tiarap dengan aksi sweeping mereka, kini mulai lagi.

Benar dan baik untuk memberantas maksiat, namun apakah itu benar ketika ada pihak yang berwajib, mereka tidak memiliki hak dan dasar hukum untuk bertindak. Melihat apa yang terjadi di Aceh, ada aksi lapangan yang pimpinannya tidak tahu, apakah ini perilaku pemanfaatan fanatisme laskar oleh pihak lain?

Ide NKRI bersyariah sebenarnya adalah kamuflase, cara lain dari Khilafah, yang jelas sudah ditentang dan dibubarkan organisasi yang mengusungnya di sini. HTI dibubarkan, oganisasinya memang, namun orang-orangnya masih bisa ke mana-mana. Dan ini bisa jadi lebih sulit karena rupa dan bentuknya sudah bercampur amarah, dendam, sakit hati, dan seterusnya.

Klaim, bahwa bukan penganut akan diberi kebebasan seluas-luasnya? Apakah benar demikian, semudah di atas kertas?   Beberapa indikasi memberikan negasi atas pernyataan utopis tersebut.

Reputasi organisasi yang ada di sini dan berafiliasi di luar ternyata memberikan gambaran konkret tidak seindah kalimat hukumnya. Agama semata menjadi pembenar atas aksi kekerasan, penjarahan, dan nafsu kekuasaan semata. Lihat saja Suriah ketika DAESH akhirnya menjadi musuh bersama. Si daes atau si pengusung perselisihan demikian dibenci ISIS. Kekerasan demi kekerasan yang tidak berujung.

Dalam Buku Ilusi Negara Islam Indonesia, yang disusun oleh dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhamaddiyah secara  bersama-sama memberikan gambaran bahwa organisasi mereka telah dirusak dari dalam. Buku yang  menguatkan rekomendasi pembubaran HTI pada 2009 itu membeberkan bagaimana mereka berdua itu dipenuhi dengan penguyup.

Muhammadiyah dengan penyusupan dalam  kepengurusan, di mana mereka memang lekat dengan organisasi yang rapi tersusun. Pemanfaatan pengurus jelas memberikan dampak dan warna bagi keberadaan Muhammadiyah. Untung bahwa mereka menyadari itu dan memperbaiki diri.

NU penyusupan dengan cara “pengusiran” majelis masjid dengan orang-orang kelompok mereka. Mengganti pengurus masjid dengan dalih kurang Islami, dan seterusnya dengan orang-orang mereka.

Selain keprihatinan kedua ormas itu secara kelembagaan mereka, toh juga ada laporan mengenai perilaku intimidatif di tengah-tengah masyarakat. Atas nama perda dan peraturan bisa seenaknya menerjemahkan dan melakukan aksi sepihak.

Apa yang terjadi dalam dua keprihatinan di awal tulisan ini sejatinya memberikan gambaran bagaimana  posisi Pancasila dan cara beragama yang dipilih oleh capres itu menjadi penting. Ada kepentingan yang sama bagi kelompok ekstremis, dan capres yang membutuhkan suara pemilih dari kalangan mereka, sehingga mereka bisa saling menguntungkan, pada sisi lain sangat merugikan bagi keberadaan berbangsa dan bernegara sebenarnya.

Reputasi pendukung 02 yang selalu memberikan angin juga tidak bisa dibantah lagi. Era siapa paling banyak aksi sepihak, sweeping, atas nama maksiat dengan kekerasan yang juga maksiat itu? Masa itu juga ketegangan soal ucapan hari raya Natal lebih kuat. Polemik yang didiamkan saja oleh pemerintah yang selalu berdalih satu lawan terlalu banyak itu. Namun memberikan angin surga perusak toleransi dan Pancasila.

Cek juga di Google, masa siapa ada ide dan bahkan beberapa tempat Jumat libur dan Minggu masuk, upacara bendera sebagai hal yang  tidak sesuai dengan tuntunan agama? Dan pemaksaan kehendak atas nama lebih banyak itu ada di masa yang sama.

Ini jelas-jelas bukan soal agama namun cara beragama yang hendak menyeragamkan. Pola pendekatan dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak, tafsir sepihak, dan mengabaikan keberagaman.

Salam

***