Untuk menjadi seorang muslim yang taat memang tidak mudah. Apalagi jadi seorang pemimpin muslim yang akan menjadi teladan bagi masyarakat dan rakyat yang dipimpinnya.
Di sini muncul pertanyaan. Apakah bisa seorang yang tidak bisa baca Al-Quran, tidak bisa menjadi imam sholat, tapi memimpin bangsa yang mayoritasnya pemeluk agama Islam?
Jawabannya bisa. Untuk menjadi pemimpin negara memang tidak harus pandai membaca Al-Quran dan tidak perlu bisa menjadi imam sholat. Namun perlu diingat, Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara mayoritas agama Islam terbesar di dunia.
Apa kata dunia jika pemimpin Indonesia diminta untuk menjadi imam sholat saat bertandang ke negara muslim lainnya? Saat ke Turki atau Arab Saudi misalnya.
Persoalan tentang wudhu, sholat dan membaca Al-Quran adalah persoalan mendasar dan sangat fundamental yang sejak dini sudah diajarkan di sekolah-sekolah Islam, bahkan diajarkan di sekolah negeri melalui pelajaran agama.
Apalagi sholat merupakan rukun Islam sementara, mengimani Alquran adalah rukun Iman. Mustahil disebut seorang muslim yang taat kalau tidak menjalankan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Makanya agak sulit diterima nalar, bagaimana seseorang dikatakan beriman tapi tidak bisa baca Al-Quran dan tidak bisa sholat. Lain hal jika dia seorang mualaf, orang yang baru saja masuk Islam, dan masih mempelajari Islam. Orang-orang seperti ini justru orang-orang yang perlu dibimbing, bukan malah dijadikan pemimpin.
Wajar juga jika muncul keraguan di tengah masyarakat, bagaimana mungkin seorang yang dicitrakan dekat dengan Islam, didukung oleh partai Islam, tapi jauh dari citra dan identitas Islam itu sendiri?
Di sinilah justru rasa penasaran masyarakat bertambah besar setelah melihat fakta-fakta yang ada.
Pertama, soal berita santer yang menyebutkan Prabowo tidak bisa baca Al-Quran. Kedua, tentang pemahaman Sandiaga Uno tentang bab-bab sederhana seperti wudhu, etika berziarah kubur, sampai hal-hal yang sebetulnya remeh temeh dan sudah pasti diajarkan di pendidikan sekolah dasar.
Jika tata cara wudhu dan sholat memang tidak diajarkan di sekolah, sudah sepantasnya menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua. Lain hal jika orang tuanya berbeda agama. Maka tugas itu jatuh pada keluarga terdekat dan lingkungan terdekat untuk mengajarkannya.
Maka, ketika ada video yang memperlihatkan tata cara Sandiaga Uno yang berwudhu dengan menggunakan air segayung, muncul pertanyaan sekaligus perdebatan.
Prof. Mahfud MD misalnya yang menyebutkan bahwa wudhunya Sandiaga Uno itu tidak mensucikan. Lantaran dalam fiqh Aswaja, tata cara wudhu Sandiaga Uno tidaklah mensucikan karena menggunakan air mustakmal, air bekas wudhu yang sudah disentuh.
Kalau air mustakmal tak blh dipakai wudhu. Seharusnya air di gayung dituang ke tangan, bukan tangan yg dicelupkan ke gayung. Eh, tp air mustakmal itu tdk najis ya, hny tak bs mensucikan. Kalau mau diminum, apalagi dicampur sirup dan es, itu halal. Halal dan menyegarkan spt Yaqult https://t.co/MavuMpwEL9
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) December 31, 2018
Sekilas terlihat tata cara Sandiaga Uno yang dikenal amat menjaga wudhu menurut cerita Ust Yusuf Mansur ini seperti orang yang tayamum. Malahan kalau memang itu tayamum, justru tidak memerlukan air. Tayamum adalah pengganti wudhu ketika hendak sholat saat dalam kondisi darurat seperti tidak ada air atau sedang dalam perjalanan.
Begitu juga salah satu tokoh NU, Gus Nadir yang menyatakan bahwa tidak ada santri NU yang wudhunya seperti wudhu Sandiaga Uno.
"Yang jelas santri NU wudhunya gak gitu. Kawan2 Wahabi si kayak gitu" cuitnya.
Saya jadi ingat salah satu kakak kelas saya yang baru saja pulang studi dari Madinah. Tata cara wudhunya memang amat berbeda dengan kebanyakan santri saat itu. Ia berwudhu tapi dengan air keran yang amat sedikit sekali alirannya. Seperti menuangkan air dari sedotan. Mungkin kalau ditakar, satu botol air mineral saja sudah cukup untuk wudhu seperti itu.
Namun demikian, sepeti kata Prof Mahfud dan Gus Nadir bahwa tata cara wudhu Sandiaga Uno ini hanyalah masalah khilafiyah dalam fiqh. Ya, barangkali Sandiaga Uno belajar dari teman-teman Wahabinya, para alumni 212.
Bukan kali ini saja Sandiaga Uno mendapat sorotan dari masyarakat. Sandiaga juga pernah kedapatan melangkahi kuburan ulama NU. Artinya pemahaman agama Sandiaga Uno yang dijuluki santri post-Islamisme oleh PKS ini makin banyak diragukan oleh masyarakat.
Akhir 2018 ini jelas ujian bagi kubu Prabowo dan Sandiaga Uno. Mereka seolah sedang diuji dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaran masyarakat.
Untuk itulah sebabnya, undangan dari Ikatan Dai Aceh untuk tes Baca Alquran sebaiknya disambut dengan positif. Toh, tes sederhana seperti ini bisa dipersiapkan dalam beberapa pekan sebelumnya.
Bukan perkara soal menggembosi kubu Prabowo. Ini mah rasanya jauh. Malahan bisa jadi pembuktian jika Prabowo yang berasal dari keluarga Kristen dan Protestan, ternyata bisa menjadi muslim yang taat, bisa sholat dan bisa membaca Alquran.
Jika undangan tersebut jadi, baik Jokowi maupun Prabowo bisa melaksanakan tes baca Alquran di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh pada 15 Januari 2019 mendatang. Ini juga sebagai salah satu cara untuk mengakhiri polemik keislaman kedua pasang Capresn dan Cawapres.
Jokowi bisa membersihkan namanya dari fitnah keji tentang PKI yang jauh dari agama, Prabowo juga bisa membuktikan dirinya bisa membaca Al-Quran. Keduanya sama-sama diuntungkan dengan undangan ini. Lihat sisi positifnya saja.
Kalau KH Maruf Amin dan Sandiaga Uno sih tidak usah diuji lagi, cukup mendampingi. Toh masyarakat sudah percaya bahwa Kyai dan Santri sudah pasti bisa membaca Alquran dengan baik dan benar. Akur.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews