Menelisik HTI dalam Pusaran Kubu Prabowo, Akan Bermuara Kemana?

Jumat, 12 Oktober 2018 | 19:49 WIB
3
408
Menelisik HTI dalam Pusaran Kubu Prabowo, Akan Bermuara Kemana?

Perjuangan tak harus dalam organisasi formal. Dalam situasi darurat, sejauh para penggiatnya masih dalam satu semangat, visi dan misi, perjuangan bisa dilakukan dimanapun.

Mungkin demikian yang dilakukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah secara organisasi, HTI resmi dibubarkan pemerintah.

Ada tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif dalam pembangunan nasional. Kedua, kegiatan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) terindikasi bertentangan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktivitas HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat, yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Kini para penggiat HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) masih 'berkeliran' di tengah masyarakat,  dengan cara masuk ke berbagai aspek kehidupan, baik lembaga formal maupun non formal. Berbagai kasus adanya simpatisan HTI sudah terungkap menjadi penanda kuatnya faham HTI itu tersebar dalam masyarakat.

Keberuntungan HTI di Alam Demokrasi

Alam demokrasi di negara kita mereka nikmati dan manfaatkan untuk terus memperjuangkan misinya di luar jalur formal. Di alam demokrasi pula mereka mendapatkan simpati dari kelompok politis negeri ini yang memiliki tujuan tersendiri terhadap simpati yang diberikan.

Adalah partai PAN, Gerindra dan PKS yang secara terang-terangan memberikan simpati tersebut. Dengan pemikiran bahwa tiap warga negara memiliki hak berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, ketiga partai oposisi pemerintah itu mendukung upaya banding hukum yang dilakukan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) terkait pembubaran organisasinya.

Hal ini menimbulkan tanya tanya besar. Ada apa dibalik dukungan ketiga partai oposisi itu mendukung banding HTI? padahal dari kajian poemerintah secara mendalam menemukan bukti misi politik HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang bertentangan dengan UUD'45 dan Pancasila.

Salah satu bukti mencolok di pengadilan adalah adanya 'Struktur Negara Khilafah" yang diterbitkan HTI 2005. Disitu terungkap, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) berpegangan bahwa demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan kewenangan ada di tangan manusia bukan pada Allah. Mereka tidak menghendaki pemilu. Pemikiran dan aksi mendirikan Khilafah tidak dalam semangat nasionalisme Indonesia, dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD'45 yang merupakan ideologi bangsa dan dasar hukum negara kita.

Di sisi lain, simpati dari partai Gerindra, PAN dan PKS menjadikan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) mendapat angin segar dalam perjuangannya hingga masuk ke dalam pusaran politik. Ketiga partai itu memberikan dukungan moril berarti memberi ruang bagi HTI untuk terus berjuang dan membesarkan dirinya. Padahal secara hukum, HTI  bertentangan dengan NKRI.

Dukungan HTI pada Prabowo-Sandi

Bagi HTI dukungan moril itu sangat penting untuk mereka bisa masuk ke dalam pusaran politik elit  terutama mendekati pilpres 2019. Maka tak heran ketika dilakukan Ijtimak Ulama I tanggal 27-29 Juli  dan Ijtimak Ulama ke II 16 September 2018, HTI melalui eks juru bicaranya, Ismail Yusanto, hadir dan memberikan dukungan kepada Prabowo-Sandi sebagai calon presiden/wakil presiden--beserta partai koalisinya, yakni  PKS, Gerindra, PAN dan Demokrat.

Pada pilpres 2019, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) ingin adanya pergantian presiden, karena pemerintahan presiden Jokowi sekarang telah membubarkan organisasi mereka.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan turut berjuang memenangkan kubu Prabowo. Mereka masuk pusaran medan magnet Prabowo pada Pilpres2019 sebagai usaha memperkuat posisi politis. Terlebih, pada Isjtima kedua dirumuskan dan ditetapkan sejumlah kesepakatan politik dengan Prabowo-Sandi yang kiranya mampu membuat HTI lebih berkembang bila Prabowo jadi presiden. Benarkah nantinya seperti yang HTI harapkan?

Prabowo, PKI dan HTI

Bila melihat latar belakang Prabowo dari TNI, nasionalismenya tidak diragukan lagi. Kecintaannya pada NKRI, Pancasila, dan UUD'45 telah ditempa dalam kurun waktu panjang selama menjadi prajurit dan pimpinan TNI. Hal itu dia ungkapkan pada saat berkunjung ke rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis 13/9/2018. Selain Prabowo, sejumlah jenderal TNI di kubu Prabowo juga telah ditempa untuk hal yang sama, sehingga memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan NKRI.

Bisa jadi, untuk Pilpres2109 Prabowo hanya memanfaatkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) untuk mendapatkan suara semata. Potensi suara dari penganut HTI cukup banyak, dan mereka sangat militan dalam mengusahakan tujuannya.

Lalu, seandainya Prabowo memenangkan kontestasi Pilpres 2019  dan resmi menjadi Presiden RI, akankah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dibiarkan hidup oleh pemerintahan Prabowo? Kalau dilihat dari garis politik HTI yang bertentangan dengan Pancasila, UUD'45 dan semangat NKRI, maka HTI akan sulit diterima pemerintahan Prabowo.

Daya rusak HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sangat besar dalam negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini. Bukan tidak mungkin, HTI justru dihancurkan secara lebih keras lagi, secara gaya militeristik. Bukan hanya organisasinya dilarang, melainkan para penggiatnya akan diburu, dan dihukum dengan cara militeristik. Dengan latar belakang Prabowo dari militer, hal itu bisa saja terjadi.

Hal tersebut  seperti pada masa G30/S PKI ketika Soeharto awalnya membiarkan PKI berkiprah, namun kemudian setelah mendapatkan kekuasaan selaku Presiden RI, Soeharto menindak PKI sampai ke akar-akarnya secara militeristik dengan argumentasi untuk menegakkan Pancasila, UUD"45 dan NKRI.  

Padahal, sebelum peristiwa G30S/PKI, para petinggi PKI itu berteman akrab dengan Soeharto semasa masih menjabat Pangkostrad. Peristiwa G30s/PKI pun diduga telah diketahui Soeharto jauh hari, namun hal itu dia biarkan untuk kelak memuluskan dirinya menjadi presiden, bukan sebagai PKI melainkan sebagai penentang dann pemberangus PKI.

Ini masalah strategi politik Soeharto semata. Dan bisa jadi  "contoh soal pendidikan politik" yang bukan tidak mungkin diterapkan Prabowo kelak terhadap keberadaan bahaya laten HTI di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pertanyaan kemudian, bila Prabowo melakukan tindakan tegas pada HTI, akankah Prabowo dicap tidak amanah, ingkar terhadap Ijitimak Ulama dan zolim terhadap ulama?

***