Tentang Cinta, Meriam dan Kata Tuhan

Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang adalah bahasa Melayu yang diperkaya kosakata serapan dari berbagai bangsa. Ada banyak kesalahan – persepsi dan transkripsi -- tapi menarik.

Senin, 22 November 2021 | 07:28 WIB
0
141
Tentang Cinta, Meriam dan Kata Tuhan
Kapal Portugis masuk ke Sulawesi (Foto: Attoriolong.com)

Tahukah Anda dari mana datangnya cinta?

Bukan dari mata turun ke hati, tapi dari Spanyol. Maksudnya dari bahasa Spanyol -- “cincha” -- yang artinya tali pita. Dulu, di Indonesia kawasan timur, orang yang merayakan pertunangan harus mengucapkan kasih-sayangnya di bawah ikatan tali pita cincha itu. Maka selanjutnya cinta pun jadi padanan perasaan kasih.

Alif Danya Munsyi, penyair idola saya menuliskannya dalam satu artikel yang lalu dibukukan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jika Anda tak familiar dengan nama Alif Danya Munsyi, mungkin pernah baca novel-novel karya Remy Sylado seperti Ca Bau Kan, Parijs van Java, Kerudung Merah Kirmizi, Kembang Jepun, dll.

Nah, Alif Danya Munsyi dan Remy Sylado adalah orang yang sama. Dua-duanya samaran, karena nama asli sang penulis adalah Yapi Tambayong hahaha...

Bukan hanya cinta, sang munsyi juga mengurai asal kata “kepala”. Katanya, itu datang dari istilah arsitektur bahasa Italia, “cupola”, bagian paling tinggi yang terletak di atas atap bangunan yang jadi hiasan pengindah gedung. Bahkan kata ulu (di Toraja berarti kepala) itu pun menyesuaikan, dari kata hulu yang artinya sama.

Lalu senjata berat “meriam” itu juga ada kisahnya. Syahdan, ketika bangsa Melayu masih menembak dengan panah dan sumpit, orang-orang Portugis datang dengan membawa kanon yang meledak memekakkan telinga. Para serdadu Portugis itu menembak seraya membuat tanda salib dsn memyeru nama Maryam, bunda Isa Almasih. Sejak itu, senjata berat yang meledakkan bunyi gempita itu disebut meriam.

Roti pun ada ceritanya. Kata itu datang dari Belanda, brood. Dulu, brood dijajakan di Batavia dengan kereta kayuh, sambil diteriakkan dengan tambahan ‘iii’. Dan akhirnya terdengar sebagai “brootiii”. Kini, orang Indonesia menyebut roti sahaja. Mudah mengucapkannya, gampang mengunyahnya.

Nah, nama hari ini -- hari Minggu -- pun ternyata ada riwayatnya. Dulu orang Melayu hanya menyebutnya hari Ahad yang sebenarnya serapan dari bahasa Arab. Lalu datang orang Portugis. Dalam bahasa Porto, Domingo berarti Tuhan. Setiap hari Ahad, mereka ke gereja menyembah Domingo. Demi Domingo. Lama kelamaan, Ahad pun berubah jadi Minggu.

Satu yang menggelitik, Alif Danya Munsyi mengurai asal muasal kata “tuhan” menjadi terjemahan untuk Allah, sang pencipta. Tapi tahukah Anda, bukan itu sebenarnya?

Tuhan sebagai kosakata pertama kali tersua dalam bentuk tulisan dalam terjemahan kitab suci Nasrani, Perjanjian Baru, yang dilakukan oleh pendeta Belanda, Melchior Leijdecker, semasa bertugas di Tugu (kini Jakarta Utara) pada 1678-1701. Kata tuhan – dalam huruf kecil – berasal dari “tuan”. Agar terjemahan Melayunya mengandung makna insani dan ilahi, maka sebutan ini dieja dengan menambahkan huruf h. Ia diterjemahkan dari bahasa Belanda, “heere”, yang artinya tuan.

Mungkin ini seperti h yang ditambahkan pada kata sandang yang, dan menjadi hyang -- kata yang menjelma dan mengandung makna insani dan ilahi: sang hyang ...

Begitulah. Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang adalah bahasa Melayu yang diperkaya kosakata serapan dari berbagai bangsa. Ada banyak kesalahan – persepsi dan transkripsi -- tapi menarik. Riwayat penyerapannya sendiri sudah sebuah kisah yang patut diceritakan.

Selamat berhari Ahad, eh ... Minggu kawan-kawan semua.

***