Malah End Game 'Ndiri

Setidaknya, tudingan yang selalu menyatakan tingkat disiplin masyarakat rendah (yang semula selalu menuding mudik Lebaran sebagai penyebab), bertambah dengan munculnya kerumunan dalam demo.

Rabu, 28 Juli 2021 | 07:58 WIB
0
196
Malah End Game 'Ndiri
Presiden Joko WIdodo (Foto: GenPi.co)

Kejadian di Kabupaten Toba, ketika masyarakat menolak warga yang hendak isoman, sungguh biadab. Lelaki yang dinyatakan positif Covid dan hendak isoman di rumahnya sendiri, diikat tubuhnya, diseret, disiksa warga.

Perlakuan itu ekstrim. Berbanding lurus ketidakmengertian masyarakat secara umum, mengenai apa itu pandemi nasional atas virus corona itu. Ketidakmengertian itu, dengan sendiri menggambarkan bagaimana pemerintah (semua tigkatan) sebagai pemegang aturan dalam menjalankan tugasnya.

Persoalannya menjadi carut-marut. Tak keruan. Beragam persepsi tumpang-tindih dalam situasi saat ini. Tapi kita tak punya mekanisme rembug. Baik itu rembug desa, rembug kecamatan, rembug kabupaten/kota, rembug propinsi, rembuh negara.

Persoalannya bukan hanya frustrasi ekonomi. Melainkan juga frustrasi sosial dan frustrasi politik. Pada frustrasi politik yang terakhir itu, menjadikan titik kritis keruwetan bertambah rumit.

Bangsa Indonesia yang digambarkan Sukarno sebagai bangsa bergotong-royong, bhineka tunggal ika, pada kenyataannya berbeda. Virus corona yang melanda dunia (tak terkecuali Indonesia), apapun penyebabnya --rekayasa atau pun bukan, faktanya memunculkan berbagai krisis. Termasuk yang lebih menonjol, dan ditonjol-tonjolkan, krisis kepercayaan pada Pemerintah.

Yang terjadi bukan lagi hanya pelanggaran PPKM, melainkan juga penolakan dan pembangkangan. Dengan berbagai dalihnya. Ada yang murni persoalan prokes. Dari sisi teknis penanganan dan antisipasi. Namun ada pula yang sama sekali tak berkait soal keselamatan rakyat. Lebih ke soal memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Pemerintahan. Agendanya jelas tampak, mengingat pada kelompok ini punya kecenderungan rindu-pahlawan. Perasaan megalomania sebagai pahlawan sang penyelesai.

Kenyataannya, penolakan PPKM bukan hanya warga masyarakat. Melainkan juga dilakukan aparat Pemerintah pada beberapa level. Aturan dari pusat, berkait kebijakan mengenai pandemi nasional, tak jarang mengalami pelanggaran, penolakan, bahkan pembangkangan dari aparat pemerintah di level bawahnya.

Meski pun belum tentu pelanggaran itu karena penolakan atau pembangkangan. Tak sedikit yang muncul karena ketidaktahuan, kebodohan, ketakutan (karena ruwetnya birokrasi, yang bisa berbalik arah menjadikannya terjebak dalam mal administrasi birokrasi). Jika kita mengacu teguran Mendagri pada 19 Pemda yang tidak antisipatif terhadap situasi pandemi, bisa dikata separoh lebih pemimpin di daerah masuk kategori pemerintahan yang tidak tanggap dan cakap.

Yang berbahaya, pelanggaran karena ekspresi penolakan dan bahkan pembangkangan. Kelompok ini, baik secara individu, komunitas, ormas, dengan latar kepentingan ideologi, agama, politik; menghalalkan segala cara. Tumpuan agendanya sama; melawan Pemerintah, dan menjatuhkannya. Tak ada urusan dengan pandemi atau nyawa rakyat.

Jika melihat fenomenanya, apakah pandemi ini bakal berhenti 2024? Apakah jika Pemerintahan jatuh situasinya akan menjadi baik? Tak ada jaminan. Bahkan bisa lebih buruk, dengan melihat reputasi dan track-record kelompok penolak dan pembangkang ini. Tidak terlalu sulit membacai rekam-jejak seseorang di jaman digital ini. Apalagi para sponsor dan pendukung gerakan ‘Jokowi Endgame’ tidaklah meyakinkan sebagai gerakan politik murni. Tak ada jaminan pula bisa menyelesaikan persoalan berat bangsa dan negara ini.

Tidak ada proposal yang proporsional dan significant. Semuanya masih dikitaran teknis, yang sesungguhnya akan lebih elegan jika dibicarakan bersama. Namun lebih kuat keengganan untuk bekerjasama, bergotong-royong sebagai satu bangsa. Lebih kuat dorongannya sebagai kelompok pragmatis dan oportunis. Bukan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, melainkan ini saatnya merebut kekuasaan. Ketika Pemerintah sedang limbung. Lebih-lebih kelakuan oposan baperan. Merasa paling benar justeru ketika tak bisa menunjukkan di mana kebenaran dalam dirinya. Dalam pikiran dan perbuatan yang terpetakan dan terukur.

Demonstrasi menolak kebijakan Pemerintah, biasanya dilakukan para mahasiswa dan buruh. Atau jika tidak, oleh mereka yang sedang dalam situasi dan posisi dirugikan Pemerintah. Berani kerumunan demo pada saat-saat ini, menunjukkan mereka hanyalah martir. Kelinci percobaan yang dimanfaatkan. Jika tiap hari ada demo, kalkulasinya tiap hari muncul kerumunan, dan jadi cluster-cluster baru yang akan menggerogoti endurance pemerintahan.

Setidaknya, tudingan yang selalu menyatakan tingkat disiplin masyarakat rendah (yang semula selalu menuding mudik Lebaran sebagai penyebab), bertambah dengan munculnya kerumunan dalam demo. Sebagaimana Pemerintah juga belum bisa mengatur bagaimana vaksinasi bukannya justeru menjadi cluster baru.

Penanggulangan pandemi akan makin panjang, hingga pemerintahan collaps. Kemudian Jokowi jatuh. Tapi, kalau jatuhnya tidak ke tangan mereka? Bijimana? Ngamuk lagi! Karena ngamuk ternyata bisa jadi profesi, juga bisa jadi investasi pedagang kesempatan dalam kesempitan. Lumayan, kalau tidak menteri, ya, komisarislah. Sekiranya amsyong juga? Malah end game dengan sendirinya.

@sunardianwirodono

***