Hyena Politics

Di sini, perpanjangan PPKM saja dimanfaatkan sebagai pintu masuk para hyena politics yang berharap mendapat bangkai kekuasaan dengan menggerakkan massa turun ke jalan.

Jumat, 23 Juli 2021 | 09:01 WIB
1
293
Hyena Politics
Hyena (Foto: kompas.com)

Dulu saya mengenal istilah "zoon politicon" saat belajar ilmu politik dasar. Kata Aristoteles, manusia itu tak ubahnya seperti "zoon politicon" yang selalu berhasrat untuk berkumpul dan bergaul dengan sesama makhluk lainnya, sehingga disebutlah manusia sebagai makhluk sosial.

Istilah "zoon politicon" dari Aristoteles ini netral, maksudnya tidak ada tendensi bahwa ia berstigma buruk atau sebaliknya, baik. Datar-datar saja. Pun istilah “binatang politik” yang juga dikenal dalam kamus politik kontemporer, maknanya netral saja.

"Binatang" di sini sekadar penegasan bahwa manusia berbeda dengan binatang lainnya, karena selain memiliki kemampuan berbicara, manusia memiliki kemampuan untuk membedakan apa yang adil dan tidak adil, yang baik dan jahat, yang jujur dan tidak jujur, yang menurut rekan Trias Kuncahyono dalam salah satu artikelnya, manusia sebagai “binatang politik” memiliki hati nurani, yang tidak dimiliki jenis binatang lainnya.

Tetapi pagi ini saya membaca tulisan Mas Sunardian Wirodono dalam artikelnya yang memunculkan istilah yang menurut saya sangat bagus, yaitu "hyena politics". Hyena atau "dubuk" dalam bahasa Melayu, merupakan hewan predator yang licik, yang selalu mencari mangsa -biarpun itu bangkai bekas makan singa- secara bergerombol.

Tidak pernah dalam sejarahnya hyena bekerja sendirian dalam memburu mangsa. Kawanan predator ini punya kecerdasan sosial yang mengagumkan, tetapi untuk tujuan sangat licik. Ia memuaskan naluri hewaninya dengan tanpa mau bersusah payah, lebih sering merebut bangkai dari cengkeraman singa dengan cara membuat provokasi sedemikian rupa.

Dengan suaranya yang buruk, mereka merubung singa yang sedang makan hasil perburuannya, bahkan beberapa di antaranya berusaha merebut bangkai dari mulut singa, yang membuat singa mengalah daripada berurusan dengan gerombolan hyena.

Jika "zoon politicon" dan "binatang politik" bermakna netral dan karenanya tidak bisa diterakan kepada kecenderungan para politikus saat ini yang bertendensi "buruk" atau "buruk", tidak demikian dengan "hyne-politics". Istilah "hyena politics" memang pantas diterakan kepada para kawanan politikus (tidak mungkin bekerja sendiri, bukan?) yang ngidam "bangkai kekuasaan", mana tahu pemerintahan Presiden Joko Widodo jatuh akibat anggapan sepihak tidak berhasil menyelesaikan masalah pandemi Covid-19 di negeri ini.

Apakah Jokowi berhasil menangani pandemi? Jawabannya akan tersua dalam artikel yang saya sematkan ini, apalagi ukurannya adalah tingkat kepuasan publik yang makin menurun terhadap upaya pemerintah dalam menangani pandemi ini.

Apakah Jokowi sendirian? Tidak, banyak juga kepala negara dan kepala pemerintahan lainnya yang lintang-pukang dan gamang dalam menangani pandemi, bahkan di negara yang konon berhasil menangani virus mematikan itu. Tetapi sebagai rasa tanggung jawab kepada rakyat, toh mereka tetap berjuang dan berusaha.

Lalu apa yang membedakannya? Hyena politics itu!

Di luar sana, di negara sebrengsek India dalam menangani pandemi, tidak pernah terdengar rakyatnya menuntut pemerintahan mundur. Di tengah ketidakdisiplinan yang parah, warga India tetap patuh terhadap pemerintah yang tercermin dari kepatuhan mereka terhadap aparat yang ditunjuk menangani pandemi. Tidak ada hyena politics di sana.

Di sini, perpanjangan PPKM saja dimanfaatkan sebagai pintu masuk para hyena politics yang berharap mendapat bangkai kekuasaan dengan menggerakkan massa turun ke jalan, syukur bila darah segar masih melumuri bangkai tersebut.

****