Kwolak-Kwalik

Kalau ibukota pindah, butuh dalil lain lagi. Emang di ibukota baru juga bakal dibangun Monas? Kalo’ nggak, mau demo di mana?

Rabu, 8 Januari 2020 | 07:22 WIB
0
248
Kwolak-Kwalik
Ilustrasi Jakarta (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, mengirim sumbangan sembako korban banjir DKI Jakarta. Kagak salah nih? Jelas kita tahu PDB, UMR dan nilai APBD Jateng. Kalah jauh dengan Jakarta, selaku Daerah Khusus Ibukota.

Anies Baswedan ngomong semua (berkait banjir) berfungsi baik. Aman terkendali. Anak-anak kecil senang bisa renang sembarang tempat. Semua normal. Tak perlu tanggap darurat, Jakarta Siaga. Cukup kerjabakti bareng warga.

Syukurlah, jika itu benar. Sekarang tak ada tekanan pada pers. Tapi yang ada, makin sedikit reporter lapangan menguasai masalah. Kembali ke masa lalu, pers hanya menjadi press release penguasa. Sementara M. Taufik, anggota DPRD DKI Jakarta, merencanakan memanggil seluruh Kepala Daerah Jabodetabek dan Kementrian PUPR, membahas permasalahan bersama.

Duh, kagak salah nih, Bang? Dua tahun soal Wakil Gubernur saja kagak beres. Sementara Anies dua kali diminta datang ke Kementrian PUPR, membahas soal normalisasi sungai, tak pernah datang. Hanya mengirimkan wakil yang tak ngerti apa-apa. Jangankan wakil, Anies pun ngkali kagak ngerti apa-apa?

Pada kenyataannya, Presiden diam-diam melakukan blusukan ke Pluit tanpa diketahui gubernur. Presiden melakukan pembahasan penanganan bencana dengan BNPB, dan memerintahkan Menteri PUPR segera menuntaskan persoalan 17KM yang macet sejak 2017. Jokowi memakai jalan melingkar. Tak mau konfrontatif secara head to head.

Di belakang Anies banyak gerbong. Anies sekarang menjadi tumpuan para penumpang gelap dengan tujuan masing-masing. Atas nama demokrasi dan agama, tapi intinya atas nama kebencian pada Jokowi. Frontal memperlakukan Anies, sama saja memberinya panggung.

Penyebutan ‘Gubernur Rasa Presiden’ yang semula ejekan, justeru melejitkan Anies seolah presiden. Kepemimpinannya temperamental dan reaktif. Di atas sedikit dari Gubsu Eddy Rachmayadi, hanya karena Anies rajin membaca dan spa lidah.

Saya masih ingat waktu berkantor di Saharjo (Jakarta Selatan). Berangkat dari Kalimalang, melintasi Terminal Kampung Melayu. Terbayang bagaimana jika musim hujan sebelum adanya Jalan Layang Non Tol ke Tanah Abang. Banjir 2012, susah cari warteg. Banyak warteg diborong untuk nasbung para pengungsi banjir. Tapi, senyampang itu, saya dengar juga banyak nasbung dihanyutkan di sungai.

Baca Juga: Anies dan Muin, Botol Ketemu Tutup Jadi Klop

Sumbangan makanan berlimpah. Yang nggak enak, buang. Jika dapat kiriman berupa pizza, seperti di Kampung Pulo kemarin, senanglah. Apalagi dapat kiriman donat atau martabak. Lha kiriman dari Pemda DKI? Dan seterusnya. Seorang ‘manusia gerobak’ pernah ngomong ke saya, banjir juga bisa dibisniskan. Hadeh. Tapi itu katanya tahun-tahun lampau. Sekarang? Dia nggak menjawab. Takut ‘ngkali!

Banjir di Jakarta, memang dari sononya. Menurut sohibul-hajat Betawi, tempatnya air, bukan tempat manusia. Kalau ibukota Indonesia dipindah, karena dalil tadi? Itu ‘kan dalil khusus membela banjir. Kalau ibukota pindah, butuh dalil lain lagi. Emang di ibukota baru juga bakal dibangun Monas? Kalo’ nggak, mau demo di mana?

***