Banjir Jakarta sebagai Proyek Abadi

Persoalan Jakarta bertambah berat: ia sudah berubah jadi ibukota kaum wahabi. Kaum paling intoleran. Semakin wahabi sebuah kota, semakin intoleran juga alam terhadapnya.

Sabtu, 4 Januari 2020 | 13:19 WIB
0
341
Banjir Jakarta sebagai Proyek Abadi
Banjir di Pulau Jawa lukisan karya Raden Sales Busataman (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Orang bisa saja berkilah, kapan Jakarta pernah tidak banjir? Di bawah gubernur siapa Jakarta bisa terbebas dari banjir? Gubernur Jendral atau gubernur lokalan mana? Semua menganggap bahwa Jakarta, memang secara geografis adalah wadah besar tampungan air hujan dari daerah di atasnya.

Faktanya ada dua sungai besar yang mengarah padanya: Ciliwung dan Cisadane, selebihnya puluhan sungai-sungai kecil yang jadi anak-anaknya. Sejarah mencatat, Jakarta pada masa lalu memang penuh dengan rawa. Makna rawa sendiri menjelaskan beda tanah Betawi yang landai mendatar dengan tlatah Pasundan yang bergunung-gunung.

Daerah-daerah Betawi banyak menggunakan nama-nama Rawa. Sedang kawasan Sunda menggunakan nama Ci, yang makna sebenarnya sering sama tapi juga tidak. Rawa jelas, itu kolam besar wadah air yang terkadang kalau kemarau bisa saja berubah kering dan berubah jadi tanah ladang. Sedang Ci itu bisa rawa, danau, sungai, bahkan sekedar mata air atau pancuran.

Dahulu kala, tercatat banyak sekali daerah d Jakarta yang berawalan nama dengan Rawa. sebagaimana misalnya Rawasari, Rawabebek, Rawakerbau, Rawamangun, Rawabadak, Rawabelong, dan sebagainya.

Tidak selalu disebut dengan nama awalan Rawa, juga kadang disebut dengan nama Kebon untuk menunjukkan hamparan tanah yang terbentang luas. Walau ketika musim kemarau berupa tanah kering, namun jiga hujan datang ia berubah menjadi tanah tergenang. Sebut saja nama-nama seperti Kebon Kosong, Kebon Jeruk, Kebon Kacang, Kebon Nanas, dan lain-lain.

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut rawa ialah dengan istilah Utan (catat bukan Hutan). Utan lebih mengacu pada semak belukar. Contohnya Utan Kayu, Utan Panjang, dan lain-lain. Tentu dengan berjalannya waktu semakin sedikit, rawa menghilang, namanya pun ikut lenyap.

Sekitar satu abad lalu, seacara statistik: rawa di Jakarta membentang seluas 20.000 hektar, dengan luas kota Jakarta kala itu tak lebih dari 150 km2. Saat ini, dengan luas 700 km2, rawa di Jakarta ternyata hanya tersisa kurang lebih 2.000 hektar. Pengusaha real estate, dianggap sebagai salah satu penyebab utama menyusutnya rawa-rawa di Jakarta.

Bisa dibayangkan betapa menguntungkannya "membisniskan" rawa-rawa itu. Menguasai tanah tanpa pemilik, cukup sogok sana sogok sini. Diuruk, lalu dikapling-kapling. Dan tokoh yang paling pantas disebut sebagai pelopornya adalah Ciputra, yang suka tidak suka membangun konglomerasi usahanya dari bisnis dengan cara demikian.

Nyaris setiap konglomerat besar di Jakarta hingga saat ini dihidupi oleh binis real estate ini. Mereka adalah raja di raja, yang bahkan di hari-hari ini, saat tanah makin susut justru sedang menikmati puncak kesuksesannya secara materi. Atas nama kemajuan kota, satu persatu rawa diurug lalu dibangun perumahan elit di atasnya. Sementara di sisi lain, sebagaimana bisasa rakyat miskin juga menggangsir satu persatu rawa yang tersisa untuk membangun rumah tinggal, ruang ibadah, tempat usaha, dan seterusnya.

Dari titik pertarungan kelas inilah, banjir Jakarta pling sulit dirunut, diurai, dan diselesaikan. Yang bahkan semakin sulit, karena faktanya kesenjangan sosial-ekonomi memang makin parah. Sejak dari zaman pewayangan-pun, kota-kota itu dibangun dari merusak alam. Utamanya dari membabat hutan atau menguruk rawa.

Baru pada masa modern ini, ketika tanah semakin langka, orang dengan teganya sampai menguruk laut. Dan dalam kasus Jakarta, semuanya seolah sudah sempurna: semua sudah ada, semua sudah diselenggarakan.

Saya mendengar, saat ini para penguasa reklamasi pantai utara Jakarta bahkan sedang bersorak gembira. Di luar malah sudah memiliki ijin dan bersertifikat halal, mereka tak memiliki kewajiban apa pun untuk menolong persoalan banjir di wilayah daratan, Ajaib!

Lalu ketika tiba saatnya ketika alam menghukum, masihkah ada ruang saling menyalahkan? Harusnya ya tidak! Tapi kita kan selalu butuh kambing hitam....

Konon hari-hari ini persoalannya, pada pertarungan wacana antara istilah naturalisasi dan normalisasi. Naturalisasi konon akan efektif terasa manfaatnya sejak 2019. Zonk, blong, omomg kosong! Wong persoalannya kerusakan fisik, perubahan alami, bangunan yang ngawur. Kok yang dimuliakan justru manusia sebagai sumber persoalan utamanya!

Tidak mau menggusur, tapi menata. Di sini sebenarnya, yang perlu disoroti adalah banyak sekali "rohaniawan" yang seolah berpihak pada rakyat kecil, tetapi sangat mengabaikan persoalan fundamentalnya. Hanya karena pertarungan kepentingan yang tak pernah selesai. Sebaik apa pun program penanggulangan banjir selalu mentok tanpa solusi.

Pemerintah Pusat sebenarnya mau cawe-cawe, tapi Gubernur yang saat ini punya selera sendiri yang luar biasa aneh. Yang intinya: punya model sendiri, pokoknya asal bukan warisan Ahok dan Jokowi!

AB bukanlah tanpa pendukung, di luar para kuda troya-nya yang membutuhkannya sebagai simbol seiman dan sumber dana pampasan. Ia juga didukung oleh banyak sekali "intelektual gadungan" lulusan luar negeri yang berwacana menganggap Jakarta adalah sebuah DAS Raksasa. Daerah aliran sungai, dalam arti ia adalah tempat menginap sesaat air yang menghilir. Artinya bagi mereka sudah ada pemahaman dasar bahwa banjir itu keniscayaan. Ia bukan bukan musibah, apalagi azab.

Ketika JP Coen, sebagai simbol terkejam kolonialis penguasa pertama kota Batavia. Sejelek apapun wataknya, ia sudah punya kesadaran menata kota dari banjir dengan membangun kanal-kanal kota. Tahun 1920, Johan Paul van Limburg Stirum membangun Kanal Banjir Barat. Namun nyaris baru seratus tahun kemudian berhasil dibangun Banjir Kanal Timur. Terlalu lambat yang juga punya makna memang ada pengabaian persoalan di dalamnya.

Makanya jika ada yang masih percaya bahwa Jakarta itu masih bisa ditata itu kabar bohong, paling menipu. Di luar penduduknya makin sulit diatur, makin sukar saling berbagi secara tulus. Jangan lupa pada watak dasar air: ia selalu tahu kemana ia bermuara. Secara alamiah, ia mencari jalan pulang. Secara spiritual ia menghukum manusia yang mengacak-acak dan merusak rumahnya.

Persoalan Jakarta hari ini, bahkan bertambah berat: ia sudah berubah menjadi ibukota kaum wahabi. Kaum paling intoleran, para pendaku pemegang kunci surga. Dalam hal ini saya haqul yakin: semakin wahabi sebuah kota, semakin intoleran juga alam terhadapnya....

***