Agama dan Kekuasaan

Pemahaman tentang hubungan antara agama dan kekuasaan juga membantu di dalam mewujudkan kebaikan bersama.

Kamis, 18 Juli 2019 | 21:16 WIB
1
294
Agama dan Kekuasaan
Ilustrasi agama dan kekuasaan (Foto: Medium.com)

Agama adalah salah satu ajaran pengikat manusia. Orang-orang dengan berbagai latar belakang, cara berpikir dan pola perilaku bisa hidup di bawah payung ajaran yang sama, berkat adanya agama. Agama menawarkan tata nilai yang bisa membawa orang pada kehidupan yang paripurna.

Agama juga menawarkan harapan, ketika penderitaan hidup dan kematian akan datang berkunjung. Di tengah hidup yang semakin tidak pasti, akibat keadaan politik dan ekonomi dunia yang terus bergejolak, agama menjadi pegangan banyak orang.

Di satu sisi, agama juga adalah sebentuk kekuasaan. Ia mengatur hidup banyak orang di dalam payung ajarannya. Di sisi lain, terutama di abad 21, agama menjadi alat kekuasaan untuk mengumpulkan massa. Ajaran-ajaran agama dipelintir sedemikian rupa, sehingga ia membenarkan aliran politik tertentu. Bahkan, korupsi dan penipuan masyarakat pun seringkali mencari pembenaran dari agama, supaya ia tidak ditinggalkan masyarakat luas.

Agama juga tak bisa dipahami dengan satu keilmuan semata, misalnya teologi. Teologi, sebagai ilmu, berpijak pada tradisi agama tertentu, dan menggunakan iman kepercayaan sebagai dasarnya. Ini tentu tidak bisa digunakan untuk memahami agama sebagai fenomena sosial, politik, budaya dan filosofis yang mempengaruhi hidup banyak orang. Maka dari itu, pendekatan transkeilmuan menjadi amat penting, yakni pendekatan yang melampaui sekat-sekat keilmuan, dan melihat fenomena apa adanya. [1]

Pendekatan transkeilmuan ini dipadukan dengan kritik ideologi. Dalam arti ini, ideologi memang memiliki beragam arti. Namun, satu arti terus muncul, yakni ideologi sebagai kesalahan berpikir yang mengaburkan pandangan orang tentang dunia, sehingga ia tidak bisa sampai pada kebenaran. Ideologi perlu terus mendapat kritik, supaya masyarakat tidak terjebak pada kesalahan berpikir yang berujung pada kesalahan pengambilan keputusan, sehingga merugikan banyak pihak. Dalam arti ini, tulisan ini adalah sebuah kritik ideologi terhadap agama, terutama sebagaimana ia dipahami di Indonesia.

Pemahaman ini amat penting di Indonesia untuk dua tujuan. Pertama, radikalisme agama adalah masalah penting yang harus dihadapi saat ini di Indonesia. Ajaran yang sangat sempit dari tanah asing memaksakan dirinya untuk masuk ke Indonesia, dan mempengaruhi rakyat yang tak kritis cara berpikirnya. Karena mutu pendidikan yang amat rendah, rakyat pun begitu mudah dipengaruhi. Radikalisme tidak hanya menyebabkan konflik dan tegangan semakin besar di masyarakat, tetapi bisa berkembang menjadi terorisme yang berpijak pada agama, sehingga mengancam keutuhan bangsa. [2]

Dua, pemahaman transkeilmuan dan kritik ideologi atas agama juga penting, supaya agama tidak dilihat melulu sebagai sesuatu yang suci, lepas dari kesalahan-kesalahan yang mungkin dibuat oleh manusia. Sikap naif terhadap agama ini amat merugikan. Agama lalu dengan mudah dipelintir untuk mengabdi pada kepentingan politik dan ekonomi yang tidak jujur. Jika politik dan ekonomi dicampurkan dengan agama, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka ketiganya akan membusuk. Pembusukan ini, terutama dalam soal agama, tampak dalam tiga hal.

Pertama, pembusukan agama menjadikan agama sebagai pembenaran untuk kemalasan berpikir. Orang percaya begitu saja secara buta, hanya karena mendengar kata agama. Ini membuat orang mudah dicuci otak dan dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan busuk yang menggunakan nama agama. Dua, pembusukan agama membuat agama menjadi pembenaran untuk bersikap tidak adil, terutama terhadap orang-orang yang berbeda dan kaum minoritas. Persoalan diskriminasi terhadap kaum minoritas masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Tiga, pembusukan agama juga bisa mempengaruhi pilihan politik. Di dalam demokrasi, kemampuan rakyat untuk membuat keputusan secara jernih dan masuk akal amatlah penting. Ketika pembusukan agama mempengaruhi cara berpikir rakyat, sehingga bersifat sempit dan penuh dengan konflik, maka demokrasi pun terganggu.[3]Pilkada Jakarta 2017 menjadi contoh nyata dalam hal ini. Ketika politik kekuasaan yang korup menggunakan jubah agama, maka keduanya akan menjadi busuk.  Konflik dan perpecahan pun tak terhindarkan.

Pemahaman tentang hubungan antara agama dan kekuasaan juga membantu di dalam mewujudkan kebaikan bersama. Di abad 21, politik memang tak bisa dipisahkan dengan agama. Agama bisa menjadi penyumbang nilai-nilai moral yang berharga terhadap politik, asalkan ia bisa menerjemahkan ide-idenya ke dalam bahasa yang bisa dimengerti semua orang, baik oleh orang beragama lain, maupun oleh kaum ateis.[4] Proses menerjemahkan ini memang mengandaikan banyak hal, termasuk mutu pendidikan yang tinggi di masyarakat. Hanya dengan begini, agama bisa menjadi pilar kebaikan bersama, sesuai dengan tujuan keberadaannya.

[1] Lihat (Wattimena, Rumah Filsafat 2019) tentang merobohkan tembok-tembok keilmuan.

[2] Lihat (B. A. Reza A.A Wattimena 2018)

[3] Tentang demokrasi dan krisis demokrasi, lihat (Wattimena, Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannya 2016)

[4] Lihat (Reder 2014)

***