Hoax atau berita palsu merupakan penyakit yang siap menggerogoti bangsa kita, jika dibiarkan lama kelamaan NKRI akan hancur dengan sendirinya. Ada banyak hoax yang tersebar di masyarakat yang ironisnya mudah diterima dan dianggap sebagai kebenaran, ironis sebenarnya, di usia yang makin tua, Indonesia masih saja berbelit pada persoalan hoax, yang juga sebenarnya sarat akan kepentingan-kepentingan politis.
Mengapa saya katakan demikian? jika diperhatikan hoax lebih kencang berhembus di pemilu, baik 2014 ataupun 2019, hoax bahwa presiden Jokowi keturunan PKI, antek-antek Cina dan juga tak terlupa hoax Ratna Sarumpaet yang menipu khalayak banyak.
Berdasarkan survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 2017 lalu, penyebaran hoax paling sering terjadi di media sosial seperti facebook, twitter dan Instagram, lalu lewat chatting dan situs web. Masifnya Hoax tersebar ternyata berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat pada media, masyarakat menganggap media tak lagi netral dalam memberitakan sesuatu dan cenderung memihak dan media dianggap sering melebih-lebihkan suatu pemberitaan lewat judul tetapi tak sesuai dengan isinya atau yang biasa kita kenal dengan sebutan clickbait.
Jadi sebenarnya apa yang membuat hoax dapat tumbuh subur di Indonesia? Menurut studi dari Most Littered Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016 lalu menempatkan Indonesia di ranking 60 dari 61 negara jika diurut dari minat membacanya, berbanding terbalik dengan minat baca.
Pertumbuhan gadget di Indonesia semakin tak terkendali bahkan sudah mencapai setengah dari populasi Masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tentu sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seseorang dengan minat baca rendah tetapi dilengkapi gadget, pemberitaan hoax akan ditelan mentah-mentah dan akan lansung disebar kepada teman-temannya di media sosial dan akan lebih sial lagi jika temannya pun punya minat baca yang rendah tapi nafsu berbagi yang tinggi. double kill
Tak terasa sudah makin dekat kita dengan HUT RI yang ke 74, pertanyaan sekarang adalah apa yang telah kita berikan pada negeri ini? dan apakah Indonesia sekarang tengah baik-baik saja? pemilu telah usai dan pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan pun sudah terpilih secara demokratis, akan tetapi mengapa konflik-konflik “bekas” pemilu masih pekat aromanya?
Bukankah sudah waktunya kita sebagai masyarakat Indonesia untuk kembali bersatu, bukankah sudah tidak ada lagi istilah 01 dan 02 ataupun istilah cebong dan kampret, lupakanlah pemilu teman-teman, sesungguhnya pemilu itu candu bagi orang-orang yang haus kekuasaan, toh akan ada pemilu lima tahun nanti, dan orang yang bermain juga itu-itu saja, jadi bisakah kita memendam sejenak hasrat persaingan, hasrat kepentingan, hasrat golongan, hasrat jadi caleg setidaknya untuk pemilu selanjutnya?
Tidak lelahkah kita saling berseteru, saling berkonflik hanya untuk kepentingan sejumlah orang saja, marilah kawan kita rajut kembali persatuan kita, jangan sampai ketidaksukaan kita terhadap partai, presiden, maupun DPR membuat kita luput untuk merawat NKRI kita.
Tentu tidak harus jadi anggota DPR ataupun politisi untuk bisa berkontribusi pada negeri ini, semua masyarakat punya peranan masing-masing dan punya cara tersendiri untuk merawat ibu pertiwi, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyembuhkan Negeri ini dari penyakit hoax, sebenrnya untuk memberantas penyakit ini sederhana saja yaitu dengan cara Saring sebelum Sharing.
Artinya informasi apapun yang kita dapatkan, kita harus mengecek kebenarannya terlebih dahulu sebelum disebarluaskan kepada orang lain, sehingga informasi palsu cukup berhenti di kita saja, tidak tersebar kepada orang lain. Jangan biarkan hoax terlalu lama menggerogoti Indonesia, karena Negeri ini bahkan sudah cukup sakit untuk ditambahi penyakit baru.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews