"Ibu saya seorang Nasrani. Saya lahir dari rahim seorang Nasrani," ucap Prabowo saat debat ke-4 di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat (30/3/2019). Prabowo mengatakan bahwa selama ini beliau kerap dituduh dekat dengan kelompok Islam radikal yang berkeinginan mendirikan negara khilafah. Pihak penuduh yang dimaksud Prabowo adalah orang-orang yang berada di kubu Jokowi.
Menjawab pernyataan Prabowo tersebut, Jokowi pun balik membalas bahwa tuduhan serupa turut dialamatkan kepadanya. Misalnya Jokowi dianggap komunis, antek asing dan sebagainya. Jadi impas, kan? Mereka berdua ternyata merasa jadi korban fitnah. Tapi betulkah demikian?
Menyaksikan aksi mereka balas-membalas dan saling membela diri, saya berpendapat bahwa yang ditakutkan rakyat bukanlah identifikasi terhadap personal kedua calon presiden (capres), namun persoalan kehidupan bangsa Indonesia ke depan yang mungkin saja akan berbelok arah jika tidak diantisipasi sedemikian baik.
Saya sendiri yakin kedua capres adalah orang-orang yang sangat pancasilais dan nasionalis. Mirip dengan pengakuan mereka di panggung debat. Akan tetapi apakah hantu PKI, inisiasi negara khilafah dan sejenisnya benar tidak ada?
Hingga saat ini yang namanya paham komunis itu masih dianut oleh beberapa negara, sedangkan PKI yang pernah hidup di bumi nusantara sudah dinyatakan lenyap dan terlarang. Bahkan simbol, tulisan serta atribut-atribut apa pun yang terkait dengannya, bila ditemukan pasti dimusnahkan. Label dan paham PKI telah menjadi musuh besar negara.
Persoalan apakah akhirnya pada suatu waktu hantu PKI bisa saja menjelma dan terangkat ke permukaan, hal inilah yang harus dicegah. Tapi sejauh ini belum ada potensi itu muncul.
Maka ketika dituduh PKI atau komunis, Jokowi wajar membela diri. Jokowi dan sebagian masyarakat Indonesia paham bahwa tuduhan tersebut sesungguhnya bermotif politik, bukan karena paham komunis yang ditemukan nyata. Sampai hari ini PKI jelas berstatus hantu, antara ada dan tiada. Semoga saja orang-orang yang dirumahnya terdapat palu dan arit tidak ikut dituduh sebagai PKI. Khawatir PKI, phobia palu-arit.
Dalam rangka menangkal kemunculan paham komunis, negara sudah berusaha maksimal, khususnya melalui upaya membumikan kembali Pancasila yang menjadi dasar dan pedoman hidup bangsa.
Mengenai paham khilafah, bukankah memang ada sekelompok orang yang terhimpun dalam sebuah organisasi massa (ormas) secara terang-terangan ingin mendirikan negara Islam? Lewat visi, misi dan aksi mereka, ideologi Pancasila diusahakan tumbang. NKRI mau diubah menjadi negara berideologi khilafah. Padahal ideologi transnasional ini ditolak banyak negara di dunia.
To the point saja, ormas tersebut bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di mana beberapa waktu yang lalu status badan hukumnya dicabut oleh negara dan segala aktivitas mereka dinyatakan terlarang.
Lalu apakah dengan pencabutan status legal dan pelarangan aktivitas membuat anggota HTI berhenti bergerak?
Tidak! Mereka tetap bermanuver tersamar. Simbol-simbol yang mereka pakai selama ini juga masih ada, misalnya bendera.
Prabowo mestinya tahu bahwa ternyata salah satu elemen pendukungnya adalah anggota HTI. Bahkan di dalam tim pemenangannya ada elit ormas terlarang tersebut. Mereka masuk dalam kelompok yang menggaungkan seruan "Ganti Presiden". Entah Prabowo yang sementara memanfaatkan suara HTI untuk meningkatkan kekuatannya mengalahkan Jokowi, atau malah HTI-lah yang menunggangi Prabowo agar misi mereka terwadahi. Hanya dua pihak inilah yang paling tahu.
Sekali lagi HTI jelas mengaku satu misi dengan kelompok masyarakat lainnya yang berada di pihak pemenangan Prabowo. Mereka tidak ingin Jokowi kembali memerintah karena merasa dizalimi, ormasnya dibubarkan dan dinyatakan terlarang.
"#2019GantiPresiden adalah gerakan rakyat yang sudah emoh terhadap rezim zalim, bohong, dan ingkar janji," ujar Ismail Yusanto, juru bicara HTI (Tempo, Agustus 2018).
Dengan bergabungnya HTI di barisannya, layakkah Prabowo mengaku bahwa beliau tidak dekat dengan kelompok Islam radikal?
Bukankah ketika HTI dibubarkan, salah satu partai yang kencang berteriak adalah Partai Gerindra? Bukankah juga partai pimpinan Prabowo ini ikut mengajukan gugatan ke pengadilan agar pencabutan status badan hukum dan pembubaran HTI dibatalkan?
Oleh sebab itu, saya dan mungkin sebagian besar rakyat Indonesia merasa aneh dengan pernyataan Prabowo pada debat ke-4. Prabowo seolah-olah ingin menunjukkan kepada publik bahwa orang-orang di barisan pendukungnya bersih dari niat buruk terhadap negara ini.
Saya masih percaya Prabowo secara pribadi tidak berniat menggoyang Pancasila, tetapi tidak dengan HTI yang berada di belakangnya. Kutipan "Ibu saya seorang Nasrani. Saya lahir dari rahim seorang Nasrani" Prabowo jauh dari pertimbangan HTI untuk kemudian rela mengurungkan perjuangan misi mereka.
Prabowo harus tahu, bukan keterpilihan beliau menjadi presiden yang ditakuti rakyat, tetapi eksistensi dan misi HTI terhadap negara ini. HTI akan menjadi ancaman besar bagi keharmonisan kehidupan bangsa.
Siapkah Prabowo berhadapan dengan HTI pendukungnya? Semoga beliau tidak kewalahan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews