Nyanyian Bob Marley untuk Amangkurat I

Dalam ilmu tanda-tanda, tindakan semena-mena seorang penguasa, acap ditengarai sebagai datangnya periode dekadensi sebuah negara.

Kamis, 9 Desember 2021 | 11:06 WIB
0
143
Nyanyian Bob Marley untuk Amangkurat I
Amangkurat I (Foto: jejaktapak.com)

“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai” demikian gambaran Amangkurat I sebagaimana ditulis sejarawan Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993). Amangkurat I disebutnya sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas (hlm. 31).

Malam-malam, di pendapa Kraton Plered, tak jauh dari ISI Yogyakarta, kampus tempat Butet Kartaredjasa sebagai keturunan Hamengku Buwana VII pernah kuliah, Amangkurat I begadangan menghabiskan malam. Entah habis berapa malam ia, tanpa peduli nyanyian Rhoma Irama.

Tapi mungkin ini begadang yang banyak artinya, maka pesan Raja Ndangdhut itu menjadi relevan untuk Raja Mataram, anak Sultan Agung Hanyakrakusuma itu. Ia berpikir keras waktu itu, bagaimana cara terbaik membalas dendam kepada mereka yang berkhianat, dan bahkan diam-diam memberontak. Kaum nyinyir yang suka lempar batu sembunyi kaki-tangan.

Dua hari sebelumnya, terjadi insiden yang membuatnya duka-yayah-sinipi, murka semurka murkanya murka. Pangeran Alit, adiknya sendiri, berusaha menyerang ke istana dan mendongkelnya dari tahta kekuasaan. Sang adik pun tewas terbunuh.

Namun jika ia bermuram-durja bukan karena tewasnya sang adik, melainkan apa dan bagaimana langkahnya, untuk membasmi kaum oposan yang selama ini bekomplot dengan adiknya. Belum lama lalu, BNPT atau Densus 88, entah yang mana (Amangkurat I tidak kenal, karena beda jaman), memberi pernyataan pada pers, bahwa akan ada tokoh elite nasional bakal ditersangkakan.

Tapi sudah beberapa hari ini, tak ada perkembangannya. Mungkin perunding kotor ditingkat elite masih alot. Itung-itungan barternya belum kelar.

Apalagi, waktu itu Amangkurat I baru dua tahun berkuasa. Sementara Republik Indonesia tiga tahun lagi, 2024, bakal ada Pilpres. Kerajaan yang diwarisinya dari ayahnya, yang wafat di tahun 1645, memang dalam kondisi berbeda. Dengan tangan besi, Sultan Agung yang selalu digambarkan pujangga kraton sebagai gungbinathara, mewariskan ekonomi yang parah usai kekalahannya dari Betawi. Apalagi pandemi belum juga lewat.

Sebagai paranoid, juga megaloman, Amangkurat I sebagaimana Chairil Anwar, dengan sombong menulis; Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Dalam Serat Jayabaya, Amangkurat I dituliskan dalam metafora negatif. Masa kelalimannya ditunjukkan dengan begitu banyak pembunuhan para elite, para panglima, juga para ulama, yang dicurigai mengancam kekuasaannya.

Hatta, maka ketika hari mulai gelap, dan John Lennon belum lahir --apalagi mengarang lagu ‘Imagine’, Amangkurat I mengundang 4 orang kepercayaan, yang dalam buku de Graaf ditulis; “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yuridiksi Mataram luput dari pembunuhan (De Regering van Sunan Mangku-Rat I, vorst van Mataram, 1646 – 1677 (1961, h. 38).

Dengan teliti, cermat, tak sebagaimana Gubernur DKI Jakarta, ia perintahkan untuk menyelisik data dan identitas semua calon korban. Ia tidak membutuhkan google untuk itu, karena memang belum ada. Namun dengan segera ia mendapatkan data yang valid, sampai nama anak dan isteri calon korban. Hingga suatu ketika, meriam Ki Sapujagat dipasang di halaman kraton,…

Dalam catatan van Goens yang dikutip de Graaf, di tahun 1648 pada siang terik, 6.000 ulama dan keluarga mereka, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, tewas terbantai.

Dalam ilmu tanda-tanda, tindakan semena-mena seorang penguasa, acap ditengarai sebagai datangnya periode dekadensi sebuah negara. Dalam Serat Rama karya pujangga Yasadipura, bagi masyarakat Jawa perilaku penguasa yang demikian bukan sesuatu yang pantas. Ya, iyalah, nggak usah diseratin, kayak Teuku Wisnu Cuma turun dari mobil nganterin anak ke pintu sekolah ditulis jurnalis sampah seolah jihad.

Seperti dalam litani yang sendu, suara Bob Marley menyusup jauh ke lubuk hatiku;

You say you love rain, but you use an umbrella to walk under it.
You say you love sun, but you seek shelter when it is shining.
You say you love wind, but when it comes you close your windows.


| referat kecil bagian dari Presiden! Presiden! |

Sunardian Wirodono