Dalam ilmu tanda-tanda, tindakan semena-mena seorang penguasa, acap ditengarai sebagai datangnya periode dekadensi sebuah negara.
“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai” demikian gambaran Amangkurat I sebagaimana ditulis sejarawan Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993). Amangkurat I disebutnya sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas (hlm. 31).
Malam-malam, di pendapa Kraton Plered, tak jauh dari ISI Yogyakarta, kampus tempat Butet Kartaredjasa sebagai keturunan Hamengku Buwana VII pernah kuliah, Amangkurat I begadangan menghabiskan malam. Entah habis berapa malam ia, tanpa peduli nyanyian Rhoma Irama.
Tapi mungkin ini begadang yang banyak artinya, maka pesan Raja Ndangdhut itu menjadi relevan untuk Raja Mataram, anak Sultan Agung Hanyakrakusuma itu. Ia berpikir keras waktu itu, bagaimana cara terbaik membalas dendam kepada mereka yang berkhianat, dan bahkan diam-diam memberontak. Kaum nyinyir yang suka lempar batu sembunyi kaki-tangan.
Dua hari sebelumnya, terjadi insiden yang membuatnya duka-yayah-sinipi, murka semurka murkanya murka. Pangeran Alit, adiknya sendiri, berusaha menyerang ke istana dan mendongkelnya dari tahta kekuasaan. Sang adik pun tewas terbunuh.
Namun jika ia bermuram-durja bukan karena tewasnya sang adik, melainkan apa dan bagaimana langkahnya, untuk membasmi kaum oposan yang selama ini bekomplot dengan adiknya. Belum lama lalu, BNPT atau Densus 88, entah yang mana (Amangkurat I tidak kenal, karena beda jaman), memberi pernyataan pada pers, bahwa akan ada tokoh elite nasional bakal ditersangkakan.
Tapi sudah beberapa hari ini, tak ada perkembangannya. Mungkin perunding kotor ditingkat elite masih alot. Itung-itungan barternya belum kelar.
Apalagi, waktu itu Amangkurat I baru dua tahun berkuasa. Sementara Republik Indonesia tiga tahun lagi, 2024, bakal ada Pilpres. Kerajaan yang diwarisinya dari ayahnya, yang wafat di tahun 1645, memang dalam kondisi berbeda. Dengan tangan besi, Sultan Agung yang selalu digambarkan pujangga kraton sebagai gungbinathara, mewariskan ekonomi yang parah usai kekalahannya dari Betawi. Apalagi pandemi belum juga lewat.
Sebagai paranoid, juga megaloman, Amangkurat I sebagaimana Chairil Anwar, dengan sombong menulis; Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Dalam Serat Jayabaya, Amangkurat I dituliskan dalam metafora negatif. Masa kelalimannya ditunjukkan dengan begitu banyak pembunuhan para elite, para panglima, juga para ulama, yang dicurigai mengancam kekuasaannya.
Hatta, maka ketika hari mulai gelap, dan John Lennon belum lahir --apalagi mengarang lagu ‘Imagine’, Amangkurat I mengundang 4 orang kepercayaan, yang dalam buku de Graaf ditulis; “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yuridiksi Mataram luput dari pembunuhan (De Regering van Sunan Mangku-Rat I, vorst van Mataram, 1646 – 1677 (1961, h. 38).
Dengan teliti, cermat, tak sebagaimana Gubernur DKI Jakarta, ia perintahkan untuk menyelisik data dan identitas semua calon korban. Ia tidak membutuhkan google untuk itu, karena memang belum ada. Namun dengan segera ia mendapatkan data yang valid, sampai nama anak dan isteri calon korban. Hingga suatu ketika, meriam Ki Sapujagat dipasang di halaman kraton,…
Dalam catatan van Goens yang dikutip de Graaf, di tahun 1648 pada siang terik, 6.000 ulama dan keluarga mereka, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, tewas terbantai.
Dalam ilmu tanda-tanda, tindakan semena-mena seorang penguasa, acap ditengarai sebagai datangnya periode dekadensi sebuah negara. Dalam Serat Rama karya pujangga Yasadipura, bagi masyarakat Jawa perilaku penguasa yang demikian bukan sesuatu yang pantas. Ya, iyalah, nggak usah diseratin, kayak Teuku Wisnu Cuma turun dari mobil nganterin anak ke pintu sekolah ditulis jurnalis sampah seolah jihad.
Seperti dalam litani yang sendu, suara Bob Marley menyusup jauh ke lubuk hatiku;
You say you love rain, but you use an umbrella to walk under it.
You say you love sun, but you seek shelter when it is shining.
You say you love wind, but when it comes you close your windows.
| referat kecil bagian dari Presiden! Presiden! |
Sunardian Wirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews