Saatnya Tegas Menolak Kebangkitan Ide Khilafah

Di dalam perspektif Islam, Indonesia dinilai telah mengamalkan semangat al-Quran serta sunnah Nabi guna menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil hingga tataran terbesar.

Minggu, 3 November 2019 | 07:58 WIB
0
236
Saatnya Tegas Menolak  Kebangkitan Ide Khilafah
Ilustrasi khilafah (Foto: redaksiindonesia.com)

Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan tak akan ada sistem negara khilafah di Indonesia. Sebab, keberadaannya tak sesuai dengan ideologi Pancasila. Menag Fachrul juga terus berkomitmen untuk memberantas radikalisme yang menjadi ancaman nyata masyarakat. 

Polemik negeri khilafah seolah tak ada habisnya. Kelompok yang menginginkan sistem pemerintahan menurut syariat Islam agaknya akan terus menuai kontroversi. Bukan bermaksud meremehkan paham suatu agama. Sebab, sudah jelas NKRI adalah negara yang terkenal akan keragaman yaitu, suku, agama, ras dan budayanya. Sehingga jika Nusantara menerapkan sistem negeri khilafah, bagaimana dengan yang lainnya?

Hal ini memang cenderung rumit, di satu sisi ada keinginan untuk memajukan Indonesia dengan pemerintahan di zaman Nabi. Namun, disisi yang lain, adanya toleransi umat beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia juga dinilai cukup krusial. Menerapkan ideologi Pancasila diharap menjadi jalan tengah, karena ke-lima silanya secara lengkap mencakup ketatanegaraan yang cukup kompleks.

Pernyataan mantan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto saat membandingkan perlakuan kepemimpinan Presiden Joko Widodo terhadap khilafah layaknya perlakuan Firaun terhadap Nabi Musa AS.

Hal tersebut diutarakan ketika menanggapi pernyataan Fachrul Razi selaku Menteri Agama, terkait larangan paham khilafah di Indonesia. Pihaknya menilai jika pemerintahan Jokowi berlebihan menanggapi kelompok yang pro khilafah. Disisi lain hasil survei SMRC menyebut kelompok yang mendukung khilafah hanya segelintir orang.

Ismail menuding ketakutan pemerintah akan gerakan khilafah membuat mereka melancarkan segala cara. Seperti, penggunaan istilah menyimpang atau radikal. Sehingga terjadi pergeseran atas perlakuan pemerintah dalam memerangi umat Islam. Sebelumnya, cara yang dipakai ialah dengan menyetempeli terorisme atau war on terrorism. Namun, kini pemerintah dianggap memperlakukan gerakan Islam dengan cap radikalisme. Ia menyimpulkan siapa saja yang anti demokrasi maka akan dianggap radikalisme.

Ismail menambahkan, tak ada pilihan selain melakukan perlawanan. Namun dirinya tak sependapat jika harus melawan dengan kekerasan seperti insiden penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto, beberapa waktu lalu. Dirinya memilih melancarkan perlawanan dengan dua opsi. Yakni, adu pemikiran serta tetap mempraktikkan agama.

Sebelumnya, Menag Fachrul Razi telah menegaskan pemerintah akan melakukan larangan terhadap keberadaan atau penyebaran paham khilafah di Indonesia. Hal tersebut disampaikan di depan para imam masjid dalam acara Lokakarya Peningkatan Peran serta Fungsi Imam Tetap Masjid. Fachrul mengutarakan bahwa sebetulnya tidak perlu lagi ada perdebatan terkait paham khilafah ini. Sebab, ajaran itu lebih banyak mengandung unsur yang merugikan terhadap keutuhan bangsa Indonesia.

Sebagai informasi, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 79,3 persen responden tidak setuju jika NKRI menganut sistem kekhilafahan, sekitar 9,2 persen menyatakan pro dengan sistem khilafah, dan 11,5 persen responden memberikan jawaban tidak tahu.

Menanggapi pernyataan mantan Jubir HTI, rasanya ada yang kurang pas. Mengingat, negara Indonesia atau pemerintahan tidak memerangi umat Islam. Namun, melawan paham menyimpang yang sebagian besar mengatasnamakan Agama Islam. Sehingga ,jelaslah arah pemerintah ini mau apa. Yakni, membela umat Islam itu sendiri, agar tidak lagi dijadikan "tumbal" bagi oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.

Belum lagi, pemahaman akan ideologi Pancasila yang kenyataannya sebagian orang hanya menilai dari sisi luarnya saja. Padahal, secara sah dan kompleks ideologi ini mencakup keseluruhan intisari ketatanegaraan. Yang mana, juga sesuai dengan ajaran agama, tanpa mengesampingkan yang lainnya. Bahkan, sejumlah literatur menyatakan bahwa Dalam Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat mendorong ke arah ajaran kesyirikan atau ke-thagut-an. Jika perhatikan secara baik-baik dan terperinci, ke-lima sila dalam Pancasila ini semuanya merupakan pesan-pesan yang memiliki kesesuaian dengan nilai universal Islam.

Sebagai contoh, Nabi saja mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh pihak musuh, yakni golongan Musyrik Quraish. Logikanya, jika dengan kelompok non-muslim saja Nabi dapat menjalin persatuan di negara Madinah, bukankah seharusnya umat Islam juga bisa melakukan hal yang sama? Kaitannya dengan persatuan dalam hal kebaikan dengan kelompok selain mereka. Di dalam perspektif Islam, Indonesia dinilai telah mengamalkan semangat al-Quran serta sunnah Nabi guna menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil hingga tataran terbesar.

Sehingga dapat disimpulkan, Pancasila bukanlah sesuatu hal yang harus dipermasalahkan serta dibandingkan dengan paham khilafah ini. Membenarkan ajaran khilafah tentu saja tidak dilarang, namun menerapkannya ke sistem pemerintahan dengan skala yang lebih besar agaknya memang kurang tepat.

***