Keluar dari Kemelut

Demokrasi yang stabil dan sehat memerlukan derajat kesetiaan pada rumah bersama, dengan menjaga tradisi, institusi dan konsensus baik yang diwarisi dari masa lalu.

Rabu, 7 Agustus 2019 | 06:58 WIB
0
330
Keluar dari Kemelut
Ilustrasi demokrasi Pancasila (Foto: Maxmanroe.com)

Hendak ke mana demokrasi kita menuju? Pertanyaan reflektif seperti itu sulit terlintas dan terpikirkan elit politik dan ilmuwan pengamat hari ini karena mengidap problem rabun jauh.

Urusan demokrasi sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas memecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Dilupakan tujuan teleologisnya sebagai wahana pencapaian tujuan nasional demi kemenangan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Apabila diletakkan dalam bingkai tujuan nasional dan kemenangan bersama, secercah cahaya kesadaran akan menerangi penglihatan. Betapa praktik pemilihan umum yang kita jalani dengan ongkos finansial dan sosial yang begitu mahal itu hanyalah melahirkan kemenangan semu.

Pemerintahan terpilih memang bisa melahirkan capaian tertentu, namun harus dibayar mahal oleh banyak kerusakan. Bila tujuan nasional adalah mencapai perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kita bisa mengukurnya satu per satu.

Demokrasi yang terus-menerus melibatkan rakyat secara langsung dalam pemilihan legislatif dan eksekutif di segala tingkatan menempatkan sejarah bangsa tidak pada jalur menuju pembebasan masa depan, melainkan jalur putaran balik ketidakbebasan yang ditimbulkan oleh kebangkitan fanatisisme tribalisme dan bentrokan antaridentitas.

Persatuan nasional retak dengan pembelahan sosial yang sulit dipertemukan. Modal sosial sebagai basis kerjasama dan kemajuan bersama pudar. Rasa saling percaya lenyap. Kesediaan berinteraksi dengan yang berbeda mengerut. Masing-masing pihak memandang pilihan yang berbeda sebagai lawan. Apa pun tindakan dan argumen pihak lawan secara apriori dipandang salah. Kita hidup berdampingan, tanpa melebur pada entitas kewargaan yang sama.

Biaya politik yang mahal melambungkan biaya ekonomi, seraya menurunkan produktivitas. Modal pembangunan lebih tergantung pada penetrasi modal asing. Pendalaman pengaruh asing dalam perenggangan integrasi nasional bisa menggoyahkan kedaulatan.

Energi nasional yang terlalu terkuras oleh kontestasi politik menurunkan perhatian politik dalam urusan memakmurkan bangsa. Konsentrasi politik pada kontestasi kekuasaan mengabaikan esensi politik sebagai institusi pengawal tata kelola dan kebijakan publik yang sehat.

Berbagai keluhan muncul menyoal hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah (middle income trap), dan jebakan ekonomi ekstraktif. Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan kebijakan strategis menyangkut pilihan industrialisasi serta transformasi menuju perekonomian berbasis pengetahuan (knowlege-based economy).

Semua itu terjadi karena perkembangan demokrasi kita terperangkap pada kesadaran palsu bahwa praktik demokrasi (“liberal”) yang berjalan selama ini sebagai sesuatu kemestian yang tak bisa dihindari. Meminjam Timothy Snyder (2018), “politik ketakterelakkan” (the politics of inevitability) membutakan mata terhadap alternatif lain, yang memunculkan ekspresi ketidakbertanggungjawaban:
penolakan terhadap ide-ide solutif yang mengempiskan diskusi, mencacatkan kebijakan, dan menormalisasi ketidakadilan dan kesenjangan.

Di antara eskpresi “politik ketakterelakkan” yang kerap muncul adalah pernyataan/penerimaan bahwa demokrasi itu memang mahal; melibatkan rakyat secara langsung untuk segala jenis pemilihan di segala jenjang itu lebih baik dan lebih maju; populer vote sebagai satu-satunya modus pemilihan; bentuk pemerintahan itu hanya boleh presidensialisme atau parlementerisme—tak bisa semi parlementer atau semi presidensial; dan terakhir, kematian ratusan petugas KPPS dan otoritas lainnya dianggap sebagai kewajaran.

Politik ketakterelakkan berujung pada “politik kekekalan” (the politics of eternity), dengan terus mempertahankan hal-hal buruk. Masalah yang muncul tidak dicari solusinya yang tepat, melainkan dielakkan dengan jalan pabrikasi krisis dan manipulasi emosi. Untuk mengalihkan perhatian publik dari ketidakmampuan dan ketidaksediaan elit politik untuk memperbaiki demokrasi, para “elit kekekalan” meninabobokan rakyat dengan pencitraan atau hasutan permusuhan.

Praktik demokrasi seperti itu tidak akan mendatangkan kemaslahatan dan keselamatan hidup bersama. Kalau pun kita bisa lolos dari ujian sejarah kemelut Pemilu saat ini, akan semakin sulit menghindari retakan dan malapetaka sosial yang lebih buruk di masa depan.

Untuk keluar dari kemelut, kita harus melakukan evaluasi terhadap desain tata kelola demokrasi. Demokrasi punya prinsip universal, namun memiliki model yang beragam. Untuk bisa tumbuh subur, pilihan pohon demokrasi harus disesuaikan dengan lahan yang ada. Tidak ada kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk menanam pohon demokrasi yang cocok bagi tanah Amerika atau tanah lain di berbagai belahan bumi. Para pendiri bangsa dengan keluasaan pengetahuan, kedalaman penghayatan, dan ketulusan perjuangan telah mengambil pilihan visioner, dengan mengidealisasikan demokrasi “sistem sendiri”.

Disebabkan karena penyalahgunaan kekuasaan dan kekurangpahaman, demokrasi “sistem sendiri” itu lantas dilucuti secara serampangan tanpa kejernihan pikir untuk memilah mana hal-hal fundamental yang harus dipertahankan, mana pula yang instrumental yang bisa disesuaikan. Padahal, kita tidak bisa membebaskan “lebah-lebah” terbang dengan membakar sarangnya.

Demokrasi yang stabil dan sehat memerlukan derajat kesetiaan pada rumah bersama, dengan menjaga tradisi, institusi dan konsensus baik yang diwarisi dari masa lalu.

Yudi Latif,
Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat di Harian Kompas, Kamis, 16 Mei 2019