Konten hoax yang masif ternyata tidak hanya disebabkan oleh rendahnya literasi digital saja, tetapi juga dapat dipengaruhi karena fanatisne politik yang berlebihan. Dukungan membabibuta terhadap kubu tertentu mengakibatkan sebagian masyarakat mengabaikan pentingnya data dan fakta.
Fanatisme politik di Indonesia telah mengakibatkan polarisasi masyarakat, pudarnya kerukunan dan menguatnya kebencian antar kelompok yang berbeda dukungan.
Dalam kegaduhan demokrasi, tentu bibit fanatisme bisa saja tercipta, hal tersebut karena secara psikologis, demokrasi mensyaratkan adanya orang – orang yang cukup pendidikan, berpikiran terbuka, toleran, bisa menerima perbedaan, dan bisa menunjukkan empati terhadap orang lain.
Menurut KBBI, Fanatisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran. Kalau dalam hal ini, tentunya terhadap ajaran politik. Padahal, orang dulu sering memberikan petuah agar kita jangan terlalu fanatik pada suatu paham atau ajaran. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk urusan dukungan politik.
Baca Juga: Hitler, Speaker dan Amplifier yang "Memakan" Anaknya Sendiri
Pada tahun 1930 di Jerman telah menunjukkan contoh bahaya fanatisme. Saat itu, perekonomian tumbang dihajar krisis keuangan di Eropa dan Amerika. Ditambah, Jerman baru saja kalah di perang Dunia I, Jutaan orang menganggur, miskin, lapar dan frustasi.
Dalam kondisi seperti itu Adolf Hitler dan Partai Nazi menang pemilihan umum. Kanselir Jerman Hitler menegakkan fasisme dan membunuh demokrasi. Hitler, menurut Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, mendapatkan loyalitas tunggal di negara itu dengan cara memanipulasi ketakutan rakyat Jerman. Kanselir juga berhasil mengalahkan Polandia sehingga pecah Perang Dunia II. Hal tersebut membuktikan bahwa fanatisme buta dapat mengalahkan akal sehat.
Fanatisme bisa tumbuh subur di iklim politik yang demokratis, seperti yang pernah dialami oleh Indonesia baik sebelum Pemilu hingga setelah Pemilu. Orang yang fanatik terkadang tidak bisa lagi menerima kebenaran dari kelompok lain. Orang fanatik hanya percaya bahwa hanya kelompoknya yang benar.
Dalam musim kampanye lalu, populisme berbasis agama semakin mengganas. Politikus masih asyik memainkan identitas, dan mengipas pemilih untuk tetap panas.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mendeteksi bahwa selama periode Januari – Maret 2019 ada sekitar 320 penyebaran berita hoax, 65 persen diantaranya adalah berita politik. Pihak yang disasar meliputi pemerintah / lembaga sebanyak 23 persen, kubu calon presiden 01 sebesar 50 persen dan kubu capres 02 sisanya 27 persen. Sementara pada April 2019 terdeteksi 26 hoax yang menyerang penyelenggara pemilu 2019, mencakup KPU dan Bawaslu.
Jika pada tahun 2014 mayoritas konten yang disebarkan adalah teks dan foto, pada tahun 2019 ditambah dengan video. Karena fanatisme politik yang berlebihan, penerimaan terhadap informasi tertentu lebih karena mendukung atau menguntungkan sikap kelompoknya, bukan karena kesesuaian fakta atau logika.
Dalam era pasca kebenaran atau post truth dewasa ini, nampaknya data dan fakta hanya dipakai sejauh menyesuaikan keinginan. Padahal tentu akan sangat berbahaya ketika seseorang asal berbicara, sedangkan apa yang disampaikannya itu tidak mencerminkan realitas. Padahal dengan mengabaikan fakta, realitas dan etika, tindakan – tindakan orang akan semakin sulit diprediksi.
Fanatisme yang berlebihan hanya akan membuat kita mudah untuk membenci pihak lain yang berseberangan dengan paham atau keyakinan yang kita pegang. Padahal, dalam hidup ini kita akan selalu menemui perbedaan, baik dalam hal gagasan, pikiran, prinsip hingga pilihan.
Namun bagi penganut fanatisme politik, mereka yang berbeda adalah lawan. Kita tak akan bisa mengakui atau mengapresiasi hal positif apalagi dari sosok atau partai lain yang tak kita dukung. Kita hanya akan melihat segala kekurangan dan keburukan yang dimiliki oleh kubu seberang. Karena itu, kebencian bisa begitu melekat bagi mereka yang menganut dogma fanatisme politik ini.
Selain itu fanatisme politik juga bisa membuat kita menjadi amunisi yang dikendalikan oleh elit politik. Kita hanya akan dijadikan mortir untuk melengganggak kekuasaan atau meruntuhkan kekuasaan yang sudah ada. Padahal semestinya rakyatlah yang memainkan caturnya, bukan menjadi bidak catur.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews