Upaya Melawan Radikalisme, Perang Tak Cuma Bertahan

Kita harus terus lawan dengan tanpa alasan apasaja yang bisa merentankan negara kesatuan, jangan coba menjual agama untuk penzholiman atau mencoba mengganti Pancasila.

Senin, 26 Agustus 2019 | 14:13 WIB
0
198
Upaya Melawan Radikalisme, Perang Tak Cuma Bertahan
Ilustrasi melawan kaum radikal (Foto: RRI.co.id)

Mengamati pergerakan kaum radikal dengan segala macam siasat, dari mulai ormas, kelompok pengajian, penyusupan, dan seterusnya. Bahwa pergerakan mereka jelas TSM. Lihat saja isu beberapa BUMN yang dengan terang-terangan mengumpulkan penceramah yang ucapannya menghasut, sampai mengajak untuk tidak hormat bendera.

Sri Mulyani sampai dengan tegas mengusir pegawainya untuk meninggalkan RI kalau tidak suka kepada pemerintah. UGM menonaktifkan dua dosen yang terpapar paham radikal, TNI menurut Menhan ditengarai ada 3% yang sudah terpapar paham itu. Kebayang 24.000 orang dengan senjata lengkap, kalau mereka bergerak, apa jadinya, bisa lebih dahsyat dari Suriah.

Dari sudut pengumpulan dana mereka juga TSM, ingat saja kasus BukaLapak dan ACT, yang malah dibela Keminfo. Katanya hoaks, radikal di depan mata, kita pura-pura tutup mata. Ditambah lagi info dari Pak Machfud, katanya ada gelontoran dana ratusan juta dollar dari kelompok wahabi yang ingin Indonesia berubah cara pandang Islamnya.

Atau Islam Nusantara akan dimurnikan, padahal Arab Saudi sekarang sedang getol menjual bikini. Mereka tidak paham Islam Indonesia adalah dasarnya Islam toleran yang dibangun dengan rasa lapang dada dari agama Hindu Budha yang mempersilakan Islam berkembang dan diberi ruang, bukan diajak perang.

Hindu Budha tidak merasa ditundukkan seperti wilayah lainnya dibelahan barat yang menimbulkan perang seperti perang salib, dan Kordoba yang saling membalas. Sampai genangan darahnya selutut kaki kuda.

Tapi tekanan brutal dari kaum radikal yang sekarang ada apakah masih bisa kita biarkan dengan cara welas asih, melihat masifnya dan dibantu dengan teknologi, kok rasanya kita harus lebih pasang badan daripada cuma menyampaikan nasihat dan bujukan untuk menyadarkan mana mungkin keyakinan dari doktrin yang ditanam bisa dengan mudah kita cabut.

Lihat saja kasus dibacoknya Polisi di Polsek Wonokromo Surabaya, itu dilakukan oleh kaum radikal bercadar.

Masasih kita cepat lupa bagaimana HTI beraksi, walau dibubarkan mereka belum dimusnahkan, doktrinnya bersemayam dalam pandangan hidup selama hayat dikandung badan, kita jangan kepedean, setelah membubarkan menganggap mereka diam, mereka justru membentuk strategi susulan bagaimana caranya bisa balas dendam.

Dan, wadah lainnya sudah ada yang menyiapkan, buktinya pada acara Ijtima Ulama IV ex ketua HTI hadir di sana, dikasih ruang untuk tausiah. Apa itu bukan menantang muka kita, dan mereka anggap Indonesia bisa dijadikan ajang nafsu kekhilafahan yang mereka cita-citakan.

Ingat dan lihat, HTI ini ditolak di 16 negara di dunia, kemudian Indonesia membiarkannya, Islam Nusantara masih memakai gaya Hindu Budha tapi yang dibiarkan Islam radikal berkembang dan diberi ruang, mana mungkin mereka kita biarkan hidup dalam negara yang berazaskan Pancasila sementara mereka bercita-cita mengubahnya.

Mereka jelas meludahi muka kita dan melukai hati anak bangsa, mereka dengan pongah tidak mengakui pemerintah hasil pemilu yang sah. Terus, siapa mereka kenapa ada di Indonesia, orang asing saja pakai visa masuk Indonesia, ini ada orang ber KTP Indonesia tidak mengakui pemerintah, jelas mereka musuh negara, dan apa kita perlu pakai Islam Nusantara membujuknya, sepertinya tidak.

Orang sombong harus dilawan dengan sombong pula, mereka jual kita beli, karena kalau tidak, dianggapnya kita tak bernyali, atau kita sengaja membiarkan nyali kita mati dibully wahabi, dan HTI hidup lagi.

Mengamati perkembangan HTI dan ormas FPI yang telanjur mengotori sendi Islam Indonesia, apa hal ini boleh dikatakan kita terlambat bersikap, pemerintah terdahulu terlalu asik berpolitik apik, sehingga lupa negara digrogoti melalui agama dgn membelah paham dan membenturkannya.

Hadirnya Jokowi dengan sikap pasti tanpa basa basi HTI dia habisi, tapi jujur urat syarafnya sudah kemana-mana dan kita agak repot membendungnya, bayangkan mereka lebih garang melakukan sweeping orang jualan dibulan ramadhan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, pentolannya dipanggil ulama ceramah dimana-mana memaki negara, bahkan sekarang BUMN dan TNI sudah mereka huni. Sampai kapan mau dibiarkan.

Saya selalu melihat Banser, Ansor, apel siaga membela negara, apakah cara ini effektif untuk menghentikan mereka yang terus bergerilnya melaui masjid, pengajian yang bebas mereka jalankan. Dari sanalah ajaran itu disebarkan. Saya pikir dokrin tidak bisa dilawan dengan cuma apel siaga, pergerakan mereka harus dihentikan dengan cara menghadangnya di lapangan bukan cuma dgn suara teriakan tanpa tindakan.

Sementara bersamaan dengan arogansinya mereka kita juga merasakan budaya kita diacak-acak, di jalanan kita makin banyak bertemu perempuan ninja dengan sorot mata melihat kita seolah kita kelas tinja. Pergilah ke Desa Semboro di Magetan, satu kampung mereka bercadar hitam, kita melihat pemandangan yang seolah bukan Indonesia.

17 Agustus baru saja kita rayakan dengan rasa yang berbeda, di mana-mana kita lihat pakaian daerah yang bergairah karena Jokowi telah memulai menyadarkan kita bahwa 740 suku di Indonesia itu sebuah kekayaan dan kekuatan yang harus dibangkitkan, bukan malah bisa menyakitkan karena kelalaian atas persatuan dan kesatuan yang dibelah oleh pemahaman receh soal agama dan Tuhan, ini keterlaluan.

Untuk itu kita harus terus lawan dengan tanpa alasan apasaja yang bisa merentankan negara kesatuan, jangan coba menjual agama untuk penzholiman atau mencoba mengganti Pancasila, karena kami tidak akan diam, kami akan LAWAN kalian.

***