Wind of Change

Sambutan massa begitu.meriah dan membludak. Hal yang tidak terjadi dalam kampanye Prabowo di dua wilayah itu pada Pilpres 2014.

Rabu, 27 Maret 2019 | 08:47 WIB
0
321
Wind of Change
Prabowo Subianto di Papua (Foto: Tribunnews.com)

Saat Pilkada DKI, saya ketar-ketir atas perolehan suara Anies-Sandi. Saya memprediksi, suara keduanya tidak akan terlalu besar, khususnya di tiga wilayah; Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.

Bukan apa-apa. Tidak seperti anggapan banyak orang yg menyatakan bahwa pasangan Ahok-Jarot adalah pasangan yg paling dirugikan dengan isu SARA, saya justru menilai sebaliknya.

Pasangan Anies-Sandi justru yang paling mencolok dihajar isu SARA nya. Dari mulai isu Jakarta Bersyari'ah, didukung Ormas Radikal sampai hembusan ketakutan bahwa Jakarta akan menjadi Suriah jika pasangan itu menang.

Parahnya, asumsi-asumsi seperti iti tidak saja diembus-embuskan oleh para buzzer, tapi dalam versi lebih halus juga disuntikkan ke benak oleh media-media massa mainstream. Jadi, saya merasa Anies-Sandi akan peroleh suara kecil di Jakut, Jakpus dan Jakbar.

Pada kenyataannya, Anies-Sandi menyapu bersih perolehan suara di semua wilayah. Di Kepulauan Seribu, pasangan Ahok-Jarot hanya mendulang 5.391 suara dan Anies dan Sandi sebanyak 8.796 suara. Di Jakarta Utara, Ahok-Djarot mendapatkan 418.068 suara dan Anies-Sandi mendapat 466.340 suara. Telak!

Ahok-Djarot pun kalah di Jakarta Pusat dengan perolehan 243.416 suara dibandingkan yang mendapat Anies-Sandi 333.033 suara. Di Jakarta Barat, pasangan Basuki-Djarot mendapatkan 611.759 suara sementara Anies-Sandi 684.980 suara.

Di Jakarta Timur, pasangan Basuki-Djarot mendapatkan 612.093 dan Anies-Sandi mendapat 993.173 suara. Di Jakarta Selatan, basis suara Anies-Sandi, Ahok mendapat 459.639 suara dan Anies 754.665 suara. Kemenangan yang sempurna. 

Ketar-ketir yang sama kini juga saya rasakan untuk pasangan Prabowo-Sandi di sejumlah wilayah seperti Sulut, NTT dan Papua. Alasannya kurang lebih sama dengan alasan saya di Pilkada DKI; Prabowo adalah korban dari stigmatisasi SARA.

Saya lagi-lagi berbeda dengan kebanyakan orang terkait isu SARA ini. Dalam Pilpres ini, bukan kubu Prabowo yg memainkan isu SARA, tetapi kubu Jokowi. Prabowo dan sebagian besar pendukungnya di medsos, lebih memainkan isu performa dan kebijakan.

Sebaliknya, Prabowo dihajar isu yang mirip dengan isu di Pilkada Jakarta. Didukung organisasi Islam radikal bahkan yang sudah dilarang. Di sisi lain, dikembangkan juga isu tidak bisa mengaji, tidak pernah sholat, bahkan sholat Jumat sekalipun. Anehnya lagi, isu-isu itu "diaduk" dengan soal dia Natalan dan dari keluarga Kristen. Campuraduk.

Saya menduga, isu-isu campuraduk itu adalah konsekuensi logis dari pesan propaganda negatif yang dikemas untuk target audiens yang berbeda. Isu-su soal Prabowo tidak Islam ditargetkan di Jawa Timur dan wilayah-wilayah dengan dominasi penduduk santri.

Sedangkan untuk wilayah-wilayah minoritas Muslim seperti Sulut, NTT dan Papua, isu-isu yang dikembangkan adalah isu-isu dukungan ormas-ormas radikal Islam, tambah HTI dan cita-cita khilafahnya. Jadi, terus terang saya khawatir akan perolehan suara Prabowo di wilayah-wilayah itu.

Tetapi, melihat kampanye Prabowo di Manado dan Papua dua hari ini, saya mulai meyakini sesuatu; ada angin perubahan (wind of change) yang bertiup kencang di dua wilayah tersebut. Sambutan massa begitu.meriah dan membludak. Hal yang tidak terjadi dalam kampanye Prabowo di dua wilayah itu pada Pilpres 2014.

Faktor apa yang menyebabkan hal itu? Perlu pengamatan yang cukup mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun secara umum, bisa dikatakan, Manado dan Papua mulai ikut merasakan hembusan kencang angin perubahan yang bertiup dari Barat, merambah ke tengah dan sampai ke Timur.

Ada "ledakan kekecewaan" akan kondisi sosial-ekonomi yang melahirkan "ledakan harapan" akan munculnya perubahan. Belum terwujudnya kesejahteraan yang diharapkan masyarakat, dirasakan oleh lintas etnis dan lintas agama.

Sayangnya, kubu Jokowi memilih untuk menutup mata akan fakta seperti ini dengan keyakinan-keyakinan hasil beragam survei yang fakta lapangannya berbeda. Karenanya mereka masih sibuk menampik masukan-masukan seperti ini sebagai hoaks dan memilih untuk terus memainkan isu-isu SARA.

Mirip dengan Nabi Nuh yang dilecehkan karena membuat perahu di daratan. Mereka mengabaikan peringatan akan datangnya banjir besar. Akibatnya, ketika banjir itu benar-benar datang, mereka langsung tenggelam.

Begitupun kini kubu Jokowi menganggap remeh eksistensi angin perubahan yang berhembus dari Barat! Terus berupaya menggapai-gapai kemenangan dengan isu-isu "basi".

Padahal, mengutip slogan Polmark, isunya saat ini adalah EKONOMI, EKONOMI, EKONOMI !

Akhmad Danial
Dosen Komunikasi UIN Jakarta

***