Prabowo

Selasa, 19 Februari 2019 | 06:37 WIB
0
764
Prabowo
Komik Prabowo dan Jokowi (Foto: Facebook)

Bila (seandainya) kita dihadapkan pada pilihan dua orang yang sama kayanya, dengan kualitas berpikir sama, dengan kerendahan hati yang nyaris setara -itu saja hanya bisa bila kita berandai-andai tingkat dewa- maka pilihannya semestinya pada yang lebih sedikit dosanya!

Dosa secara agama itu memang urusan Tuhan, apa yang menurut kita manusia sebuah "dosa", belum tentu dosa menurut Tuhan. Tuhan tentu saja punya otoritas dan prerogatif sendiri tentang itu!

Jadi kalau manusia sok ikut-ikutan bermain-main macak sebagai Tuhan, menentukan mana yang dosa mana yang pahala: mungkin agama yang disandangnya tak lebih sebagai asesoris, bukan ageman yang sesungguhnya.

Lalu urusan kita apa? Urusan kita adalah "dosa sosial, kalau boleh sedikit melebar dosa politik". Bagi saya keduanya harusnya tak termaafkan! Tapi itu bisa dieliminir atas nama demokrasi yang memang kadang menjadi brengsek sekali di tangan orang yang salah.

Maka jadi tidak aneh ketika, Fadli Zon bilang bila Prabowo menang, maka sejarah Indonesia harus ditulis ulang. Ditulis ulang dengan cara menempatkan si penculik sesungguhnya adalah patriot dan nasionalis. Dengan dalih membela negaranya. Sejarah yang harus ditulis ulang "penguasa HPH" adalah pelindung tanah negara dari kemungkinan dikuasai asing.

Pun kelak akan ditulis bahwa simpanan uang hasil maling yang disimpan di luar negeri sebagai "dana revolusi" yang bisa setiap saat digunakan untuk membangun negara. Ide ini bukan saja jahat, tetapi telengas! Tahu arti kata telengas? Ilustrasinya: jika anda tega secara keji memenggal kepala orang, membawanya pulang lalu dimasukkan ke dalam kulkas! Dalam pertempuran di Suriah, di luar perbudakan sex, ISIS melakukannya sebagai hobi sehari-hari.

Kalau sedikit saja kita mau belajar sejarah, nasionalisme selalu digunakan sebagai pembenaran melakukan berbagai tindakan biadab. Dan Indonesia adalah salah contoh yang nyata. Sejak masa Hindu, lalu Islam, beranjak ke masa menjelang kemerdekaan, peralihan Orla ke Orba, bahkan bergeser ke Orde Reformasi. Sejarah selalu mencatat adanya pembantaian manusia oleh manusia lainnya atas nama nasionalisme. Dan tak satu pun itu terkoreksi kebenaranannya sampai hari ini.

Apa yang menjadi concern para "golputers cerdas" yang menganggap Jokowi sebagai lemah karena tidak kunjung menyelesaikan persoalan-persoalan HAM di masa lalu. Stigma-stigma kebencian itulah yang selalu ditebar: tak terkecuali oleh Gerombolan Pendukung Prabowo selama nyaris lima tahun terakhir. Mereka terus menerus mengobarkan kebencian tanpa putus terhadap Jokowi. Seolah Jokowi tak ada baiknya sama sekali, memfitnah setiap hari. Seolah kredo hidup mereka adalah "Hoaks Sehat, Fitnah Sempurna".

Saya selalu mencari ada satu saja penulis di sosmed atau media apa pun yang cukup cerdas melakukan pembelaan terhadap Prabowo? Saya selalu menantang mereka untuk membuat tulisan yang baik dan menggugah. Tapi nyatanya ya, hanya sebatas like dan share berita abal-abal. Dan sialnya bangga ketika saling menguatkan, tanpa sadar mereka sedang melakukan pamer kebodohan secara berjamaah! Dan kita harus toleran? Toleran itu pada perbedaan gagasan, bukan pada niat jahat, kebodohan, dan kejumudan!

Dari dua debat yang telah dilakukan, ternyata bahwa Prabowo bukan saja kedodoran tetapi terutama tidak memiliki gagasan segar dan cerdas apa pun. Sehingga dua kali pula ia dijadikan sasaran tembak Jokowi secara gampang.

Dua hal yang paling menancap di benak publik, pertama ia adalah punya rekam jejak dan bakat diktator, memaksakan pendapat, dan menghalalkan segala cara. Jangan lupa sejarah mencatat itu dengan cermat. Ini sebuah serangan terhadap karakter, mental, hal-hal yang sifatnya non-fisik.

Kedua, tentu saja serangan secara fisik, ketika Jokowi berani mengungkapkan Prabowo punya konsesi tanah di Kaltim seluas 220.00 ha dan di Aceh setara 120 ribu ha. Ini tidak main-main, karena sekalipun itu hanya HGU, tetapi tak pernah tercatat dalam pelaporan sebelum ia mendaftar sebagai cawapres.

Artinya apa: watak tidak jujur itu memang sulit dihilangkan. Ketika ada celah untuk itu, ia akan mudah digerayangi dan ditelanjangi. Dan tanpa malu, ia bilang lebih baik dikuasainya daripada diserahkan pada asing! Loh sejak kapan, pengusaha asing bisa punya HGU tanpa menggandeng pengusaha lokal?

Saya selalu sedih, kenapa kita harus selalu hanya punya dua pilihan yang sebenarnya sangat hitam-putih? Situasi yang membelah masyarakat teriris secara terbuka, menjadi dua kubu yang akhirnya jatuh menjadi sesama pembenci. Tak kurang saya pun jatuh pada kubangan kebencian yang sama? Kenapa?

Karena Prabowo terlalu jelek, terlalu "rongsokan", terlalu "out of date". Ia hanya representasi kotak, wadah di mana para pembenci Jokowi berada. Mustinya kelak kalau Jokowi menang, ia gak usah bangga atau menepuk dada. Apalagi pendukungnya jadi jumawa dan besar kepala, lawan head to head-nya tanpa modal kebaikan apapun: kecuali pengalaman selalu kalah.

Dan jangan lupa ia bukanlah Abraham Lincoln, yang bisa penuh optimisme jatuh berkali-kali tapi bangkit lagi. Ia tidak sedang berjuang melawan perbudakan, ia tidak pernah tercatat punya sisi humanisme yang tulus. Ia tidak sedang memperjuangkan apa pun. Ia hanya orang yang sedang mengisi waktu luang di masa tuanya, dalam kesendiriannya yang tak terperi.

Mencoba mencari peruntungan untuk kali terakhir, setelah berkali-kali dikhianati kanan kiri oleh mereka yang didukungnya bahkan pendukungnya sendiri.

Kalau saya ditanya kenapa saya masih mendukung Jokowi? Saya hanya ingin membuktikan bahwa Cak Nun juga (bisa) selalu salah, kebencian yang dikoar-koarkannya tidak mempan. Doanya bisa juga tidak terkabul.

Kesaktiannya, retorikanya bisa juga hanya omong kosong. Segala fitnah yang sejak awal tahun 2013 direproduksikannya tidak pernah betul-betul terbukti benar. Bagi saya Jogja itu di luar aktif memproduksi segala hal baik dan tulus, ia juga bisa jadi sumber segala fitnah dan kebohongan!

Alasan yang sesungguhnya juga amat personal, tidak harus sama, dan sangat biasa-biasa saja.

Dan Anda pun juga boleh mencari alasan yang apa saja dan tak harus cuma ikut-ikutan kayak bebek. Tak harus selalu membanggakan bahwa Jokowi adalah Bapak Infrastruktur Indonesia. Alasan yang malah tampak aneh, karena manfaatnya mungkin baru betul-betul terasa 5-10 tahun ke depan.

Untuk itu kredonya harus jangan lagi: kepada orang baik kita tak mau bersabar, tapi kepada keburukan kita mudah toleran.

Kepada kebaikan kita harus bersabar, kepada keburukan jangan lagi toleran!

***