Mencapai Sosok Kunti pada diri Mien Uno

Senin, 18 Februari 2019 | 18:01 WIB
1
348
Mencapai Sosok Kunti pada diri Mien Uno
Ilustrasi Dewi Kunti (Foto: Kapanlagi.com)

Malam itu perang Baratayudha telah melewati hari keempatbelasnya. Di dalam sebuah tenda yang berjarak ratusan tombak dari Padang Kurusetra, Dewi Kunti duduk bersimpuh. Kedua mata ibunda lima Pandawa itu berlinang air mata. Sesekali suami Pandu itu mengelus dadanya yang terasa sesak.

Pada sore harinya, ia mendengar kabar bila cucu pertama dan sangat dibanggakannya, Gatotkaca gugur di medan laga. Yang lebih menyeyakkan lagi, Ksatria Pringgondani itu tewas setelah terkena senjata sakti Konta yang dilepas oleh Adipati Karna yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak pertama Kunti sendiri.

"Apa yang terjadi setelah ini?" tanya Kunti pada dirinya sendiri. "Apakah ...?" Belum selesai dengan monolognya, jiwa Kunti terguncang hebat. Dadanya semakin sesak yang membuat nafasnya tersengal. Terbayang sosok putra kesayangannya. "Arjuna ..." desis Kunti.

Kunti pun tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya. Perlahan ia membaringkan tubuhnya di atas dipan pembaringan.

Sehari sebelum Baratayudha meletus, ia didatangi Karna. Pada hari itu Karna menanyakan kepadanya perihal keterangan Sri Kresna yang memberitahukan ibu kandung Karna yang sesungguhnya.

"Anakku, Karna, Kresna benar. Akulah perempuan yang telah melahirkanmu," ucap Kunti dengan air mata berderai. "Maafkanlah aku. Anakku," sambung terbata.

Keduanya pun hanyut dalam suasana kebatinan yang tak terkalimatkan. Penyesalan, kemarahan, kasih sayang, kerinduan, dan lainnya bercampur mengaduk-aduk dada ibu dan anak kandungnya.

"Anakku Karna," ujar Kunti beberapa lama kemudian. "Aku mohon padamu, Nak, jangan terjun dalam Baratayudha. Karena kau akan berhadapan dengan adik-adikmu sendiri.

Karna memandangi wajah ibunya. "Maafkanlah aku, Bu. Aku tidak bisa memenuhi permintaan Ibu sebab aku telah berjanji akan selalu membela Prabu Duryudana beserta adik-adiknya."

Mendengar jawaban anak sulungnya, Kunti tetegun. Ia sadar pendirian Karna sudah tidak dapat diubahnya. Segera ia menyadari tragedi Baratayudha sebenarnya juga merupakan kutukan baginya.

Kutukan itu lebih memedihkan hatinya lagi, bukan saja lantaran putra sulungnya, Karna, akan berhadapan dengan adik-adik kandungnya, melainkan juga karena Karna berpihak pada Kurawa yang dianggapnya "kotor".

Kurawa yang dibela Karna adalah seratus bersaudara yang rakus akan kekuasaan. Mereka selalu berupaya merebut dan menguasai Hastinapura dengan cara sekotor apapun, tipu muslihat dan hoax sudah berulang kali dilakukan sekalipun itu membenturkan sesama rakyat Hastinapura.

Kurawa menjadi sedemikian "kotor" bukan saja karena "bahan bakunya" yang dilahirkan oleh sebuah amarah, tetapi juga lantaran hasutan Sangkuni dan Pendeta Durna.

Bagi Kunti, Karna bukanlah Kurawa. Karna adalah ksatria sakti mandraguna yang berhati mulia. Tetapi, berpihak kepada Kurawa merupakan kesalahan besar. Karna menjadi tak ubahnya seperti Kurawa yang kotor.

Sama seperti Adipati Karna, begitu juga dengan Sandiaga Uno. Sandi dilahirkan, diasuh serta dibesarkan oleh seorang ibu berhati mulia serta berpendidikan tinggi. Sandi juga mendapat pendidikan dari berbagai institusi pendidikan kelas atas. Karenanya tidak mengherankan bila Sandi dapat meraih sukses dalam bisnis yang dikelolanya.

Dan, sebagai Karna, Sandi pun menerima dukungan, bila tidak ingin disebut memilih, bersama kelompok yang dikenal melakukan apa saja demi mengejar kepentingannya. Kelompok-kelompok yang memberikan dukungannya kepada Sandi yang maju dalam Pilpres 2019 sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto ini dikenal sebagai penebar hoax dan pengadu domba sesama anak bangsa.

Tidak terhitung lagi jumlah hoax yang sudah diproduksi dan sampai sekarang masih di-viral-kan oleh kelompok pendukung Sandi, di antaranya hoax yang menyebut Jokowi sebagai anggota atau anak anggota PKI.

Hoax yang bisa dikatagorikan sebagai "Propaganda Rusia" ini sebenarnya tidak terlalu berbahaya sebab hanya menyasar Jokowi. Tetapi ada hoax lain yang jauh lebih berbahaya, yaitu hoax yang menyebut Jokowi anti-Islam. Hoax ini bukan saja berpotensi membenturkan Jokowi dengan umat Islam sebagai mayoritas, tetapi juga mengadu domba sesama anak bangsa.

Dan, tak ubahnya dengan Karna yang berada bersama Durna, pendeta penghasut, Sandi pun demikian. Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, Sandi dikelilingi oleh "ulama-ulama" yang dalam beberapa ceramahnya acap kali mengeluarkan hasutan-hasutan yang membuahkan bibit-bibit radikalisme dan terorisme. Mereka yang mengaku-ngaku sebagai ulama ini menarasikan Islam di Indonesia dalam kondisi tertindas. Sama seperti hoax, hasutan-hasutan ini pun berpotensi membenturkan sesama anak bangsa.

Sama seperti Karna yang berada di sisi Sangkuni yang sebenarnya ingin menghancurkan Hastinapura, Sandi pun demikian. Dalam Pilpres 2019 ini, Sandi mendapat dukungan Hizbut Tahrir Indonesia yang memiliki tujuan membubarkan NKRI dan menggabungkan Indonesia ke dalam kekhalifahan Islam.

Tetapi, sebagaimana Karna yang tidak dapat mundur dari "koalisi" Kurawa, begitu juga Sandi. Sandi yang telah diusung dalam Pilpres 2019 ini tidak mungkin mengundurkan diri. Sandi baru bisa lepas dari hubungannya dengan kelompok-kelompok yang berperilaku mirip Kurawa ini setelah Pilpres 2019 usai.

Karenanya, sebagai ibu, Mien Uno ada baiknya meneladani Dewi Kunti yang menerima pilihan sikap politik putranya. Toh, setelah Pilpres 2019 berlalu. Sandi akan kembali seperti semula, sebagai anak yang dibanggakan. Sama seperti Karna yang pada akhirnya dapat berkumpul bersama kelima adiknya.

 

***