Dalam Game of Thore, Stannis Baratheon berakhir dengan kehancuran karena mengikuti pertimbangan-pertimbangan Melisandre. Bagaimana dengan Prabowo Subianto?
Saya ingin latah membebek Jokowi, mengibaratkan kondisi kini dengan Game of Throne. Maka saya menyamakan Prabowo Subianto dengan Stannis Baratheon, Raja Utara yang gagal merebut Iron Throne, tahta Seven Kingdoms.
Stannis Baratheon memiliki dua penasihat. Salah satunya, yang resmi seperti yang dimiliki raja-raja lain di Game of Throne disebut hand, dijabat Sir Davos Seaworth.
Sir Davos menjalankan tugas dengan baik dan bertanggungjawab. Ia memberikan pendapat dan pertimbangan masuk akal, terukur, kecil risiko, dan bijaksana kepada Stannis Baratheon. Yang saya tangkap dari film, Sir Davos berupaya menyadarkan Stannis Baratheon untuk tidak melanjutkan ambisinya merebut tahta Iron Throne sebab perang membawa kesengsaraan bagi banyak orang.
Sayangnya pendapat Sir Davos sering diabaikan Stannis Baratheon. Penyebabnya adalah Stannis memiliki penasihat lain, Melisandre, seorang perempuan pendeta penyembah Dewa Cahaya, R'hllor.
Melisandre selalu membawa-bawa nama Dewa untuk memberi bobot pada pertimbangan-pertimbangan yang ia sampaikan kepada Stannis Baratheon. Menurut Melisandre, apa yang ia sampaikan didasarkan penglihatannya, petunjuk dari R'hllor.
Adalah Melisandre yang paling getol menyemangati Stannis Baratheon untuk mengobarkan perang merebut tahta Seven Kingdoms. Demi kesuksesan perjuangan itu, Malisandre mendorog Stannis untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah kejam, termasuk membakar hidup-hidup putri tunggalnya sebagai persembahan kepada R'hllor.
Pada akhirnya kelak, Stannis Baratheon gagal merebut tahta. Ia tewas. Melisandre beralasan salah membaca pertanda. Ulama perempuan itu lantas berganti tuan, mengabdi kepada Daenerys Targaryen, Sang Mother of Dragon. Untuk yang terakhir ini bisa Om-Tante tonton dalam episode ke-8 Games of Throne yang sedang tayang di HBO.
Bukan rahasia bahwa di internal kubu Prabowo-Sandiaga pun terjadi pertarungan berebut pengaruh antara parpol-parpol sekutu Gerindra, terutama PAN, PKS, dan Partai Demokrat.
Awalnya pertarungan itu berpusat pada perebutan posisi cawapres pendamping Prabowo. Tak ada di antara ketiga Parpol itu yang memenangkan persaingan sebab Prabowo akhirnya memilih Sandiaga Uno, politisi dan pengusaha muda berduit banyak yang bisa membiayai pemenangan pilpres.
Pascapemungutan suara, pertarungan terbuka antara parpol-parpol sekutu Gerindra kembali pecah. Kali ini ladang sengketa adalah bentuk respon terhadap penyelenggaraan pilpres dan hasil perhitungan suara.
Dua tokoh yang berselisih pendapat adalah Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono dan Pendiri PAN Amien Rais.
Pertarungan dua 'penasihat' Prabowo ini sudah teramalkan sejak Partai Demokrat memutuskan bergabung ke dalam koalisi. Saat itu, salah satu syarat yang diajukan SBY adalah Prabowo dan koalisi pendukungnya tidak mengeksploitasi isu identitas, terutama agama, dalam memenangkan pilpres.
Usulan ini jelas-jelas bertentangan dengan pratik berpolitik Amien Rais yang memang sangat kental dengan narasi-narasi sentimen identitas yang bahkan melampaui gaya orang-orang PKS. Padahal berbeda dengan PKS yang sejak awal membabtis diri sebagai partai dakwah, PAN sejatinya berdiri sebagai partai nasionalis relijius.
Jangan heran jika pada momentum awal terbentuknya koalisi, Eggy Sudjana, salah seorang anak buah Amien Rais mengkritik keras SBY atas penolakan memanfaatkan isu agama. Gara-gara itu, Eggy Sudjana terlibat perang pernyataan dengan sejumlah hulubalang SBY, terutama Andi Arief.
Kini pertarungan Amien Rais dan SBY kembali pecah, lebih terbuka. Babak terkini dibuka dengan kritik SBY terhadap pelaksanaan kampanye terbuka di Gelora Bung Karno yang sangat kental dengan eksploitasi symbol-simbol agama.
Tidak lama kemudian, SBY kembali mengkritik langkah kubu Prabowo yang menyatakan akan memprotes hasil pilpres dengan people powerjika Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah. SBY mengeluarkan pernyataan terbuka kepada para petinggi Partai Demokrat agar tidak terlibat di dalam aksi-aksi inkonstitusional.
Amien Rais, tokoh utama penganjur gerakan yang ia klaim sebagai people power tampaknya merasa tersudutkan oleh seruan SBY . Amien lantas mengeluarkan pernyataan counter yang disebarkan melalui Instagram.
Amien Rais menyatakan, "...pada saat-saat seperti ini memang selalu muncul tokoh yang jadi gagap, ragu-ragu. Jadi serba bimbang, ragu, nggak ikut kemana-mana. Jadi safety player. Jangan ikuti orang seperti itu."
Pernyataan ini, meski tak menyebut nama SBY, jelas ditujukan untuk menyindir SBY. Karena itu Andi Arief segera membalasnya.
"Saya berharap Pak Amien Rais tak usah sok jago nantang-nantang SBY. Dulu bukannya Pak Amien baru digertak SBY karena komentar hoaks belaga pilon. SBY punya jalan berbeda dalam menyelamatkan situasi. Saya harap Pak Amien menahan diri. Soal marah semua orang bisa melakukan." Demikian pernyataan Andie Arief dalam twitternya.
Jika kita umpamakan pertarungan Amien Rais dan SBY dalam mempengaruhi Prabowo Subianto dengan kondisi Stannis Baratheon dalam Game of Throne, saya rasa lebih pas jika sosok SBY diibaratkan dengan Sir Davos Seaworth. Sementara Amien Rais sangat cocok diwakili Melisandre si Pendeta Merah.
Kira-kira siapa yang akan lebih didengarkan Prabowo Subianto? Apakah Sir Davos yang berusaha memberikan pertimbangan bijak agar Prabowo hati-hati dalam melangkah atau Melisandre si Pendeta Merah yang meski selalu menggadang-gadang nama Tuhan namun anjuran-anjuran dan tindakannya jauh dari kesan mencerminkan kebaikan Tuhan.
Dalam Game of Thore, Stannis Baratheon berakhir dengan kehancuran karena mengikuti pertimbangan-pertimbangan Melisandre. Bagaimana dengan Prabowo Subianto?
Akankah ia mengikuti anjuran Melisandre untuk menggalang aksi massa pendukung yang diklaim sebagai people power dan berisiko menghancurkan bangsa ini? Atau ia menuruti masukan Sir Davos?
Mari pantau terus perkembangannya dalam sebulan ini.
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews