Semoga Tak Bermaksud Mengulang Huru-Hara Solo-Semarang

Jumat, 18 Januari 2019 | 15:34 WIB
0
312


Semula saya kurang setuju pernyataan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. Ia bilang Amien Rais sudah hilang nalar. Namun setelah membaca berita pernyataan Amien Rais dalam acara mengenang Malapetaka 15 Januari 1974, saya rasa Amien boleh jadi lebih mengerikan dibandingkan itu. Semoga saya salah.

Bisa dimengerti jika Achmad Baidowi kesal. Amien Rais seenaknya saja mengatakan pemerintahan Joko Widodo memenuhi syarat disebut otoriter. Amien ajukan tiga hal sebagai alas tuduhannya: Joko Widodo mengempiskan oposisi, memonopoli media, dan pemerintahannya marak korupsi.

Siapapun yang dituduh serampangan jelas marah. Tak terkecuali Baidowi yang merasa dirinya bagian dari pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Saya setuju argumentasi penyangkalannya. Bisa Om-Tante baca sendiri pada daftar referensi di bawah.

Saya berpandangan, hanya di masa Joko Widodo oposisi boleh bicara seenaknya, mengeksploitasi data-data palsu dan menyerang pribadi. Di masa SBY, oposisi parlementer dan ekstraparlementer keras dalam cara penyampaian namun ketat dalam penalaran dan bukti-bukti saat menentang kebijakan pemerintah.

Demikian pula soal penguasaan media. Asumsinya, karena banyak konglomerat media massa di kubu Jokowi, pemberitaan akan lebih condong ke Jokowi. Namun apakah benar demikian dalam praktiknya?

Sepintas yang saya perhatikan justru terjadi pertarungan berebut ruang di media. Antara para buzzer upahan penyebar hoaks dan kebencian identitas melawan para petarung yang bersolidaritas meluruskan penyesatan dan meredam meluasnya benih-benih angkara.

Tuduhan bahwa pemerintahan Joko Widodo korupsi lebih-lebih tak masuk akal. Hingga 4 tahun pemerintahan ini, hanya Idrus Marham dan orang-orang di Kemenpora, para terjerat kasus korupsi yang pantas disebut bagian dari pemerintahan Jokowi. Sementara kepala daerah, DPR dan DPRD yang ramai-ramai berompi jingga itu bukan representasi pemerintahan Joko Widodo. Bukan Jokowi yang menempatkan orang-orang itu di jabatan mereka. Mereka dipilih rakyat melalui pilkada dan pemilu.

Meski nyatanya Baidowi benar, semula saya rasa tetap juga kurang pantas jika ia menyebut Amien Rais hilang nalar. Mungkin karena frasa hilang nalar terasa bermakna mengalami gangguan kejiwaan. Tentu saja begitu, sebab orang gila bukanlah mereka yang kehilangan jiwanya. Orang mati yang demikian. Orang gila adalah mereka yang terganggu nalarnya.

Namun setelah membaca pemberitaan media massa soal pernyataan Amien Rais dalam diskusi peringatan Malari di sekretariat tim sukses Prabowo-Sandiaga, saya malah berpikir perlu menambahkan pula bahwa Amien Rais sudah sungguh-sungguh hilang nurani, hilang moral, hilang rasa kemanusiaannya, hilang jiwanya. Asumsi saya, kutipan sejumlah media massa terhadap pernyataan Amien Rais benar sesuai yang terucap.

Merdeka.com memberitakan Amien Rais menyatakan saat ini ada tentara China di Indonesia yang melancarkan misi politik untuk menduduki negara-negara yang menguntungkannya.

"Kalau sampai merusak toko dan lain-lain yang amankan bukan TNI, tapi tentara China, yang ada di Indonesia dan ada puluhan ribu pucuk senjata di kota kota besar. Ini bukan hoaks ini bisa dikutip. Jadi saya kalau ngomong ada dasarnya bukan genderuwo, bukan sontoloyo, mari kita tabok, enggak ada," kata Amien.

Sudah pasti ini hoaks. Namun jangan dipandang remeh sebab ini jenis hoaks jahat yang sama berbahayanya dengan hoaks tujuh kontainer surat suara sudah tercoblos. Dalam beberapa artikel terakhir (baca "Megawati Benar, Tujuan Hoaks Terbaru Ini Sungguh Jahat dan Berbahaya" dan "Genderang Machiavellian di Latar Panggung Perampokan Buku dan Provokasi Posko Solo") saya membahas gelagat skenario bikin huru-hara pascapilpres jika Jokowi kembali menang.

Pernyataan Amien Rais membuat saya kian cemas dan waspada. Solo dalam kondisi seperti api dalam sekam.

Solo, juga Jateng, adalah kandang banteng, pun basis Joko Widodo. Kehadiran posko-posko Prabowo-Sandiaga di sana, apalagi beberapa didirikan dekat rumah Jokowi dan tempat usaha anak Jokowi, adalah tindakan provokatif. Ibarat kita mencium gadis di depan lelaki yang tengah tergila-gila jatuh cinta kepadanya. Sebuah tantangan kelahi.

Di saat bersamaan, peristiwa perkelahian dan penyerangan massa di Rutan Kelas I Surakarta jangan dipandang remeh. Peristiwa itu berlanjut aksi konvoi sekelompok orang bersenjata tajam. Sekitar 10 orang ditahan, dua orang ditembak karena melawan polisi.

Saya tidak bisa mengabaikan peristiwa kecil ini, mencurigainya sebagai mata rantai skenario provokasi Solo.

Lalu ketika pernyataan Amien Rais muncul pada 15 Januari, ingatan saya segera saya melayang kepada artikel-artikel sejarah tentang peristiwa November 1980, yang oleh sebagian orang disebut "Huru-Hara Solo Semarang."

Itu adalah kerusuhan rasial yang dipicu hal sepele, perkelahian dua pemuda beda etnis. Ujungnya, bangunan dan kendaraan orang-orang Tionghoa di Solo dan Semarang dibakar.

Dalam kondisi "api dalam sekam," hal-hal sepele mudah memicu bara jadi kobar. Apalagi jika operasi-operasi politik dilancarkan dan pernyataan-pernyataan provokatif terus dihembuskan sebagai kipas meniupkan angin.

Ketika dua kubu sama kuat berhadap-hadapan, pihak ketiga yang lebih lemah kerab jadi korban, sasaran pelampiasan. Demikian yang sering terjadi di banyak tempat dan waktu.

Semoga saja, ketika Amin Rais melempar pernyataannya dalam diskusi malapetaka 15 Januari 1974 itu, ia tidak sedang berpikir tentang huru-hara Solo Semarang 1980. Meski begitu hoaks Amien Rais tetap saja keterlaluan, menempatkan keselamatan bangsa ini di ujung tanduk.

Mungkin sudah saatnya negara (aparat) bertindak tegas. Untuk orang-orang yang rela mengorbankan apapun, termasuk masa depan bangsa demi ambisi politiknya, tak secuilpun rasa hormat perlu diberikan. Meminjam pernyataan lazim Amien Rais sendiri, orang seperti ini kaki tangan Dajjal. Ia tak cuma shakuni.

***

Sumber:

Detik.com (15/01/2019) "Jokowi Disebut Otoriter, PPP: Amien Rais Hilang Nalar"
Merdeka.com (15/01/2019) "Amien Rais Tuding Tentara China Siap Duduki Indonesia"
Kompas.com (14/01/2019) "5 Fakta Kasus "Sweeping" di Solo, Nekat Melawan Petugas hingga Dilumpuhkan dengan Timah Panas "