Pidato Prabowo

Selasa, 15 Januari 2019 | 17:03 WIB
0
2519
Pidato Prabowo
Prabowo pidato didampingi Sandiaga (Foto: Kompas.com)

Pagi ini banyak yang membahas soal pidato Prabowo, bagaimanapun timses Prabowo menginginkan pidato Prabowo seperti pidato politik ala Bung Karno yang hebat itu atau setidaknya seperti pidato Martin Luther King yang punya tagline paling diingat sepanjang sejarah seperti : I Have a Dream, dan anak anak di tahun 90-an mengenangnya sebagai sebuah baris lirik lagu yang dinyanyikan "Westlife".

Prabowo tampaknya ingin menghindar dari bayang-bayang Suharto, di mana Pak Harto terkenal dengan pidatonya yang membosankan dan lalu rakyat lebih senang mematikan TV saat pidato Suharto soal renik-renik anggaran negara. Namun secara komunikasi politik pidato Suharto juga punya makna dan 'pesan politik' bahwa bangsa ini harus dibangun dengan kerja, bukan dengan "Politik sebagai Panglima" walaupun kerja di bawah kekerasan politik ala Orde Baru.

Berbeda dengan Bung Karno ketika pidato rakyat kumpul dengarkan radio, berkumpul di lapangan, narasi pidato Bung Karno dijadikan jargon-jargon tujuan rakyat dan menjadi pola tanam alam bawah pikir publik sampai rakyat berani angkat senjata dikirim ke Irian Barat atau ke Perbatasan Kalimantan Utara untuk mengganyang Malaysia.

Pidato Suharto justru membosankan dan rakyat senang mematikan radio dan tv lalu kongkow sambil bercerita soal kejenakaan hidup. Di masa Suharto harus diakui dunia lawak tumbuh pesat, karena sudah menjadi hukum kehidupan, ketika tiran semangkin mencengkeram maka melawak adalah jalan keluar mengeritik kekuasaan.

Salah satu keahlian rangka pikir Prabowo adalah "Paradoks", ia senang menggunakan kontradiksi dalam menganalisis keadaan, tapi sayangnya pidatonya juga penuh kontradiksi. Ia ingin meniru langgam Bung Karno yang penuh lagu bagai seorang dalang menceritakan romantika, dinamika dan dialektika kehidupan.

Tapi, pidato Prabowo cenderung bernada datar dan tidak memiliki alur lembut di mana kemudian tiba tiba ada teknik hentakan, karena pada dasarnya orasi yang baik adalah membangkitkan naluri pertarungan sekaligus membawa rasa haru bagi pendengarnya. Di sini Prabowo tidak mempunya gaya intonasi ala Bung Karno yang otentik itu.

Pidato Prabowo kemarin bukanlah sebuah rancangan pidato dengan narasi besar, seperti hal-nya Bung Karno, JF Kennedy atau ahli pidato Perancis Jean Jaures yang mampu membentuk rangkaian kata menjadi sebuah visi besar dan memiliki potongan potongan agenda kerja politik. Pidato Prabowo semalam seperti sebuah "lemparan isu" khas ala politisi praktis. Prabowo bicara isu gaji dokter, Prabowo bicara isu bangkrutnya BUMN dan Prabowo bicara isu cadangan BBM dan cadangan beras.

Tapi Prabowo lupa, di depannya itu ada SBY. Tanya saja bagaimana kapitalisme merasuk sistem dunia kesehatan Indonesia dimulai pada jaman siapa? Di masa Bung Karno sekolah dokter bahkan mendapatkan uang saku, namun kemudian kapitalisme masuk ke dunia kesehatan kita sehingga dunia kesehatan publik bukan ranah sosial tapi lebih kepada wilayah transaksi komoditi.

Coba bongkar saja penjualan saham Garuda dan patgulipatnya, siapa pemain pengadaan di Maskapai Garuda yang kemudian terseret masalah hukum dan dia "orangnya siapa? Tanya ke SBY berapa jumlah cadangan BBM dan Beras di jaman SBY, tanya pula bagaimana pola perdagangan BBM di Singapura yang pola-nya bahkan dibentuk oleh mantan mertuanya sendiri, di mana kemudian pola rente perdagangan BBM itu justru dihancurkan oleh Jokowi.

Bagaimana desain ekonomi Indonesia yang liberal ini lewat rangkaian paket paket liberalisasi Perbankan dan Pasar Modal yang justru dilakukan oleh anak didik bapaknya macam Sumarlin dan Radius Prawiro serta juga kelompok Widjojo Nitisastro yang kemudian menjadi rival hebat kelompok BJ Habibie.

Di sinilah kemudian ditemukan Paradoks Terbesar dalam pidato Prabowo yang seakan akan mau melakukan reorientasi pembangunan yaitu: "Sejarah Hidupnya Sendiri".

Anton DH Nugrahanto

Jakarta, 15 Januari 2019

***