Bahaya Terbesar Jika Prabowo Menang

Senin, 21 Januari 2019 | 09:21 WIB
0
31633
Bahaya Terbesar Jika Prabowo Menang
Prabowo Subianto (Foto: Facebook.com)

Masalahnya bukan di Prabowo, tapi (justru) di Jokowi!

Jokowi telah menotok titik rawan akupunkture geopolitik Indonesia dengan sangat nekad dan cerdas. Ia telah melangkah jauh, melakukan hal tabu yang selama nyaris lima puluh tahun tak tersentuh dengan serius. Apa itu? Pembangunan di Papua! Hal yang oleh para pendukung Prabowo selalu dikecam sebagai kebodohan, buang-buang duit, dan apa yang mereka sebut secara substansial dianggap tidak ekonomis.

Apakah presiden-presiden sebelumnya tidak melakukannya? Iya melakukannya, tetapi dengan skala keseriusan, finansial dan publikasi yang sangat minimal. Itulah dosa-dosa masa lalu yang ditebus oleh Jokowi.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya sederhana, karena Jokowi orang sipil, yang perhitungannya melulu masalah keadilan dan kemanusiaan saja. Ini menjawab kenapa-kenapa presiden-presiden sebelumnya tak terlalu menjamah Papua. Karena mereka dari militer, dengan perhitungan-perhitungan faktor security dan geopolitis yang terlalu dilebih-lebihkan.

Mereka akan selalu menganggap OPM (Organisasi Papua Merdeka) sebagai ancaman yang permanen. Apakah mereka salah? Tidak juga, tapi masalahnya sampai kapan. Ketika Gus Dur, menjabat sebagai Presiden, ia sangat berjasa dengan mengubah dua hal tabu. Merelakan nama Papua digunakan lagi menggantikan istilah Irian Jaya warisan Sukarno. Dan membiarkan OPM mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai lambang kultural (catat bukan politis) masyarakat Papua. Jadi kalau akhir-akhir ini bendera tersebut seolah "diharamkan" itu agak ngawur sebenarnya...

Papua di tangan Jokowi, memperoleh perlakuan yang sama dalam minimal dua hal (sependek yang saya tahu): harga BBM dan semen. Bahan bakar minyak di manapun posisi lokasinya akan berharga sama, seberapa pun mahalnya ongos angkut. Pun demikian pula semen, yang konon pernah mencapai harga Rp 1 juta per-zak. Dan kemudian Jokowi, melakukan pembangunan infrastruktur yang sedemikian masif, menjangkau nyaris seluruh pelosok Papua.

Mahal sekali tentu saja! Tapi apa sih yang tidak jadi mahal, ketika kita mengejar hal yang tertunda. Papua itu ibarat kekasih hati, yang dicuekin sedemikian lama. Ia mutiara yang kita abaikan, yang secara naif justru kita menjulukinya sebagai "Mutiara Hitam". Kondisi yang lebih diperparah, dengan seenaknya banyak orang Pusat (baca: Jakarta) justru mengkapling-kapling tanah di bumi ini, dianggap sebagai wilayah konsesinya.

Jangan lupa nanya berapa juta hektar konsesi si cawapres sebelah itu miliki di sana. Pasti kita akan melongo dan mengumpat!

Belum lagi, ironi sepanjang masa Freeport dan berbagai tambang minyak yang bagi mereka selalu dibaratkan tidur di atas emas, berenang di dalam minyak. Tapi bukan kami yang memilikinya. Kami hanya (bisa) menjual buah pinang. Suatu kekurang ajaran Jakarta terhadap Papua yang terus berjalan, bahkan mungkin hingga hari ini. Dan hal inilah yang coba terus diperbaiki Jokowi.

Tidak mudah tentu saja. Lihat saja, kasus terakhir saat terjadi penembakan dan penyanderaan para pekerja pembuat jalan Trans Papua. Dan Jokowi dengan keras hati, bertekad terus dan terus melanjutkannya...

Lalu coba kita sebaliknya mengkaji sejarah Prabowo di Papua.

Tahun 1996, dianggap prestasi Prabowo tertinggi, ketika ia mencuri perhatian dunia saat tim gabungan TNI berhasil membebaskan 12 peneliti yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma. TNI banyak mendapat pujian atas keberhasilan operasi militer tersebut (yang sesungguhnya cerita sesungguhnya misterius hingga hari ini).

Tapi benarkah demikian realitasnya? Banyak cerita atau rumors yang menyertai kemenangan kecil itu!

Sebagian tentu dilebih-lebihkan, bahwa kemenangan itu berhasil dilakukan setelah kekalahan dalam pertempuran kecil, dan baru bisa dimenangkan setelah ada pengerahan pasukan besar-besaran. Cerita bagaimana Prabowo justru ditempeleng anak buahnya, karena ia ketakutan sampai terkencing-kencing saat terkepung. Dan yang paling "absurd dan sukar dibuktikan" adalah hilangnya Mr. P dari Tuan P, karena dipotong oleh OPM.

Segitu mengerikannya pertempuran yang terjadi saat itu. Apa pun, peristiwa tersebut menjadi luka yang mendarah daging bagi masyarakat Papua, sehingga menyimpan dendam pada militer hingga hari ini. Menjelaskan kenapa Prabowo sangat malas berkemapanye di Bumi Cendrawasih.

Sesungguhnya tidak saja Prabowo, SBY-pun idem dito. Artinya apa citra pemimpin berlatar belakang militer Indonesia memang sangat buruk di mata masyarakat Papua.

Nah, inilah bahaya latent, yang kita sadari, namun selalu kita abaikan. Saya takut ketika mungkin Tuhan berkendak lain: Prabowo menang di Papua. Indonesia harus ikut menanggung beban masa lalu-nya. Saya tidak bisa bayangkan, seandainya itu terjadi dan sepanjang waktu kita justru harus berurusan dengan berita perang dan kerusakan, padahal justru yang seharusnya dilakukan adalah pembangunan dan mengejar ketinggalan....

Akhir tahun lalu, saat pembangunan di Papua sedang digenjot sedemikian rupa. Kedua Gubernur itu mewakili Papua dan Papua Barat, menyerukan pada Pusat untuk menarik militer dari bumi Papua!

Padahal kita tahu, Jokowi sudah berusaha sedemikian rupa melawan badai politik dan ejekan akan sikap kerasnya membangun Papua. Lalu mudah dibayangkan apa yang terjadi bila Prabowo menang. Bisakah ia melawan stigma negatif yang melekat pada dirinya? Beranikah ia, menjadi orang sipil, yang berani datang secara tulus mencium kaki orang Papua dengan wajah manusiawi merangkul kembali saudara-saudara kita di Papua.

Kalau kampanye saja ia takut, bagaimana mungkin itu terwujud!

Catat selama Pilpres 2014 lalu tak sekalipun ia berkampanye di Papua, dan sejauh ini di Pilpres 2019 belum terlihat tanda-tanda ia akan berada di sana... Karena itu Jokowi juga sangat jahat (sic! dan hiks!) di mata Prabowo, dan para supporternya. Ia telah menanam bom waktu buat rival politiknya.

Mungkin kelak kalau Prabowo menang: program pembangunan infrastruktur akan digantikan proyek teritori lagi, operasi militer lagi. Bermain-main api, mesiu, dan nyawa lagi. Kenapa juga, ini menjadi tesis termudah untuk menyebut Prabowo menang, Orde Baru datang kembali....

Dan bila kemungkinan terburuk itu terjadi: Papua lepas, lalu memerdekakan diri. Sejak itu Indonesia harusnya sudah tak ada lagi. Lagu dari Sabang sampai Merauke menjadi tidak relevan. Mungkin harus berganti dengan Dari Tangerang Sampai Bekasi.

Atau kalau mau lebih nyinyir lagi Dari Cendana sampai Cikeas.

***