Kekinian

Minggu, 14 Oktober 2018 | 20:57 WIB
2
372
Kekinian

Indonesia sebagai negara yang memilih sistim demokrasi dalam melaksanakan kepemerintahannya, memberikan hak kepada setiap warga Negara untuk menyatakan pendapat dan menentukan pilihannya, untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam sangketa dan penyelesaian masalah yang menyangkut kepentingan publik, ditentukan oleh hukum positif yang berlaku, walaupun kadang kala sebagian warga lebih mengagungkan pendapat dari elite politik yang dipercaya diakui sebagai keputusan positif “Les hommes de confiance“.

Kepercayaan yang diberikan rakyat kepada pimpinan negara merupakan beban berat dalam mewujudkan kehendak rakyat. Berbagai tuntutan untuk mencapai kesejahteraan merata menjadi pekerjaan berat bagi setiap negara terutama negara berkembang. Tak jarang pemerintah kerap menjadi sasaran yang dipersalahkan dengan keadaan dan situsi negara yang tidak sesuai dengan kehendak rakyatnya.

Tahun 2018 menjadi momentum yang penting bagi rakyat Indonesia menjelang Pemilu 2019, yang menentukan perwakilan di lembaga legislatif dan pimpinan tertinggi eksekutif, Presiden Republik Indonesia. Tak dapat dihindari, situasi politik saat ini menjadi memanas karena setiap gerak-gerik masing-masing pasangan calon maupun para pendukungnya menjadi perhatian. Didukung dengan tekhnologi yang dengan mudahnya menyebarkan informasi melalui media-media sosial dan elektronik, yang menjadi pion jitu dalam penyebaran prestasi yang menguntungkan maupun fake news/hoax yang merugikan.

Beberapa hal yang menjadi issue hangat saat ini, yaitu permasalahan ekonomi dan hoax yang makin membudaya dan dimanfaatkan sebagai politik identitas. Perekonomian bangsa lagi-lagi menjadi tugas berat pemerintah Republik Indonesia dari masa ke masa. Krisis moneter 1998 menjadi suatu sejarah menakutkan yang membayangi bangsa dan menjadi tolak ukur dari keberhasilan pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian.

Perkembangan ekonomi akhir-akhir ini terjadi perubahan secara global akibat dari langkah normalisasi kebijakan moneter oleh Amerika Serikat, yang menyebabkan nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar AS terus melemah, hingga hari ini mencapai angka Rp15.100. Kondisi ini kemudian menimbulkan anggapan dan pemberitaan di masyarakat bahwa fundamental ekonomi dalam negeri saat ini lebih buruk dari pada 1998.

Perolehan data dari media Kompas yang menghimpun data dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, pelemahan mata uang rupiah tahun 1997 terdepresiasi dari level Rp3.000 ke level Rp10.700 di tahun 1998 sehingga terjadi kenaikan sebesar ± 250%, sedangkan kenaikan pada saat ini dari Rp.13.300 di bulan September 2017 ke Rp15.100 per Oktober 2018 sehingga rupiah terdepresiasi sebanyak ± 13%.

Disamping itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,27 % sangat jauh berbeda dengan tahun 1998 yang pertumbuhan ekonominya sebesar minus 13,34 %. Pengentasan kemiskinan yang turun hingga 9,82% pada Maret 2018, merupakan pertama kalinya angka kemiskinan berada di bawah 10%, perlu diapresiasi dan menjadi pacuan untuk semakin lebih baik.

Pihak yang tidak setuju mungkin akan menyanggah dengan menyatakan data-data tersebut hanyalah perolehan angka-angka. Namun fakta yang terlihat saat ini, tidak bisa disangkal bahwa daya beli masyarakat saat ini sangat jauh meningkat seiring dengan data perekonomian yang makin baik. Masyarakat sudah menikmati kemudahan dalam kepemilikan aset, kendaraan pribadi yang makin memadati area ibu kota maupun kota-kota lainnya, transportasi umum yang kian memadai.

Jalur transportasi udara yang kian padat menjadi bukti perekonomian yang makin baik. Di ruang lingkup yang lebih kecil, industri makanan kian menggeliat, ditambah lagi dengan bantuan tekhnologi online yang memberikan kemudahan dalam perdagangan/jual beli industri rumah tangga. Adanya ojek online yang kian mempermudah memperoleh kebutuhan serta memberikan lapangan kerja yang besar.

Belum lama ini juga viral didunia maya, kesulitan ekonomi membuat nilai uang Rp100 ribu hanya bisa untuk membeli bawang dan cabe. Namun hal tersebut tidak terbukti dan mudah terbantahkan, dalam artian issue ekonomi sejujurnya tidak signifikan mengerikan seperti yang diberitakan. Namun, meski demikian bukan berarti pemerintah saat ini maupun siapapun yang memerintah periode berikutnya dapat bersantai menghadapi perekonomian ke depan.

Tujaan Negara Indonesia adalah kesejahteraan yang merata dengan menghilangkan disparitas ekonomi. Semua warga negara berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Pemerintah saat ini telah berupaya mendorong pembenahan infrastruktur di daerah-daerah yang semasa lalu masih terlupakan, dan hal itu menjadi pembuka untuk meneruskan pembangunan demi membangun kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Bahwa, masih terkait issue ekonomi, sektor ekonomi Indonesia disebut oleh beberapa pihak dikuasai oleh asing. Menarik untuk dikritisi, kebenaran pernyataan tersebut. Data yang diperoleh di laporan Investasi Dunia UNCTAD, rata-rata foreign direct investment Indonesia adalah sebesar 5,7 %, sangat jauh lebih kecil dari Negara Malaysia sebesar 14 % bahkan Vietnam sebesar 23%. Terlalu berlebihan jika angka 5,7 % dianggap telah menguasai pasar Indonesia.

Bangsa Indonesia memang harus memacu diri untuk lebih mandiri agar kuat secara pondasi. Berbagai sektor pertanian yang dapat menutupi kebutuhan dalam negeri, dan diikuti dengan peningkatan SDM yang terampil dalam mengembangkan berbagai inovasi dan tekhnologi yang diyakini akan dapat memperkuat perekonomian.

Disisi lain, terjadinya bencana alam yang yang melanda beberapa wilayah di Indonesia juga patut diberikan prioritas perhatian yang khusus oleh Pemerintah saat ini. Bantuan pokok untuk para korban, rekonstruksi kota yang kini tidak dapat “ditinggali” dan permasalahan lainnya yang harus segera dicarikan penyelesaiannya.

Fenomena hoax yang mengiringi jalannya politik jelang pemilu juga menjadi momok masalah yang menguras energi masyarakat. Gerak-gerik, tingkah laku, dan perkataan seorang publik figur dipandang sebagai cerminan dari figur “kubu-nya”. Para pendukung mencaci-maki pendukung lainnya, menyebarkan berita-berita yang tidak yakin kebenarannya. Jika dulu rakyat lelah dengan perseturuan para elite, yang terjadi kini kebalikannya. Elite mulai lelah dengan persiteruan rakyatnya.

Dalam kondisi dan situasi seperti ini, ketegasan sekaligus kearifan pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi konflik-konflik serta prasangka buruk yang ada. Kejernihan dalam menempatkan segala prioritas untuk melaksanakan tujuan dan program. Mengangkat girah semangat rakyat dalam memacu SDM yang berinovasi dan mensinergikan kebutuhan investasi dalam rangka peninggkatan kesejahteraan secara merata. Serta, sebagai penglima tertinggi menjaga stabilitas keamanan negara dan memberikan perlindungan dan keamanan kepada warga negara.

Seluruh elemen masyarakat dengan tekat dan semangat akan menggali potensi, kemampuan, kerja keras dalam mewujudkan kesejahteraan itu bersama-sama dengan kinerja Pemerintah, baik Pemerintah pusat sampai dengan Pemerintah Desa. Karena yang terpenting adalah bagaimana negara dapat berjalan ke arah yang lebih baik.

Apapun pilihan politiknya, siapapun yang memerintah nantinya, pada intinya yang diinginkan oleh rakyat adalah kebahagiaan, memiliki Pemimpin yang bekerja keras demi rakyatnya, yang mencintai rakyatnya, dan rakyat yang memuliakan dan mendukung pemimpinnya.

Itulah pintu gerbang menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Valar Dohaeris.

***

Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH