Radikalisme masih menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyebarannya pun semakin masif dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi sehingga dapat menulari siapa saja. Masyarakat diharapkan tidak lengah dan terus mengantisipasi penyebaran paham terlarang tersebut.
Pada tahun 2016 silam, Indonesia mendadak gempar dengan sebuah tayangan viral di youtube yang menampilkan 3.500 mahasiswa dari berbagai kampus yang menggelar simposium nasional di kampus IPB Bogor.
Dalam video tersebut tampak sangat jelas mahasiswa yang hadir mengucapkan sumpah dengan tangan yang teracung layaknya gaya ISIS, ribuan mahasiswa tersebut dipimpin oleh seorang pria dari atas panggung.
Dalam video tersebut sangat jelas mahasiswa meneriakkan ‘kami akan terus berjuang tanpa lelah, untuk tegakkan syariah Islam dalam naungan negara khilafah Islamiyah sebagai solusi tuntas problematika masyarakat Indonesia.
Video tersebut ternyata mendapatkan tanggapan dari kaum veteran yang dulu pernah berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Mereka seraya mengatakan, bahwa generasi muda mungkin sedang lupa, bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan satu golongan saja. Sehingga bagaimanapun para veteran akan tetap memilih pancasila sebagai dasar negara.
Mereka juga mengatakan, apabila para mahasiswa tersebut satu suara dengan pihak veteran, janganlah takut untuk menyadarkan segelintir golongan, karena suara veteran akan tetap sama, meski nantinya para veteran sudah tiada.
Maka sudah sepatutnya sikap para veteran ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa paham radikal memang tidak pandang bulu. Bukan lagi status tertentu, tetapi juga menyerang anak-anak muda di lingkup pendidikan.
Jika hal ini dibiarkan, tentu saja kebhinekaan dan nilai-nilai pancasila akan rusak. Jika hal ini terjadi tentu akan sangat menyedihkan, para veteran tentu akan sangat menyayangkan hal tersebut.
Tentu saja kita tidak boleh abai dengan lingkungan sekitar kita. Irfan Amalee selaku Direktur Peace Generation mengungkapkan, penyebaran radikalisme dilakukan dalam berbagai cara.
Salah satu yang paling tampak adalah dengan digunakannya narasi politik. Anak muda yang tengah mengalami krisis identitas tentu akan melihat adanya ketidakadilan, mudah sekali didorong melakukan jihad.
Kelompok radikal akan menggunakan narasi historis, yaitu pengajaran nilai-nilai sejarah yang bukan membangkitkan kebijaksanaan, tetapi nilai balas dendam. Para pendidik sejarah mesti menjadikan ini sebagai salah satu pekerjaan rumah besarnya.
Selain itu kaum radikal juga masuk melalui narasi keagamaan, mereka mampu menjadikan kegalauan anak muda untuk memberikan doktrin yang berpeluang melahirkan sikap intoleransi.
Sejumlah aksi radikalisme yang terjadi di Indonesia dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hal ini terjadi karena agama paling mudah digunakan sebagai alat untuk berbagai kepentingan.
Tentu saja masyarakat harus berhati-hati dalam melibatkan agama dalam hal apapun. Sebab, tidak sedikit pihak yang menggunakan agama untuk membela diri dan tujuan lainnya.
Aksi radikalisme yang mengatasnamakan agama biasanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Melainkan ada kepentingan atau masalah lain di belakangnya.
Tentu saja kita masih ingat, dimana penganut paham radikal amatlah frontal dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2019. Segala narasi tentang kehancuran negara karena memilih pemimpin tertentu juga masih sering terdengar.
Penyebaran paham radikal sebenarnya bisa dicegah dengan meneguhkan moderasi Islam di Indonesia, menanamkan jiwa nasionalisme, berpikiran terbuka dan toleransi, waspada terhadap provokasi dan hasutan, berjejaring dalam komunitas positif dan perdamaian serta menjalankan aktifitas keagamaan dengan toleran.
Salah satu ancaman yang tak dapat dipungkiri adalah pesan-pesan radikal yang disampaikan melalui internet utamanya media sosial, hal tersebut bisa menjadi doktrin untuk menggiring opini masyarakat.
kita-pun tak bisa mengelak, bahwa dengan adanya arus internet yang cepat justru memudahkan kaum radikal dalam menyebarkan ideologinya. Sehingga akan ditemui seseorang yang tiba-tiba mengharamkan ini itu hanya berdasar pada kajian di Internet.
Mantan Kapolri Tito Karnavian pernah menyatakan, bahwa pelaku teror yang melakukan aksinya di Medan Sumatera Utara tersebut mempelajari paham radikal melalui dunia maya.
Para pengguna internet bisa saja mendapatkan paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan. Narasi tersebut memunculkan persepsi berupa ancaman bahwa dunia ini akan memburuk.
Narasi ini tentu akan dibumbui dengan beragam hal yang bertema kegagalan pemerintah secara politik, lalu menyemburkannya ke khalayak dengan framing bahwa khilafah adalah solusi.
Tentu saja kita tidak ingin pancasila yang telah menjadi ideologi bangsa digerogoti oleh paham yang tidak sesuai dengan kultur kebhinekaan. Paham radikal tentu harus diantisipasi sedini mungkin.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews