Saya, sebagai rakyat, tak membutuhkan kutbah soal etika, yang berangkat dari perspektif. Karena perspektif hanyalah cerminan persepsi. Wong soal mudik dan pulkam saja, fatwanya cem-macem.
Dulu waktu masih kos di Palmerah Jakarta, tiap ada pertandingan sepakbola di Senayan, klub apa saja, kami serombongan lelaki kos menonton. Tak penting pertandingannya. Yang penting bisa teriak-teriak. Maki-maki dan nggoblog-nggoblogin siapa saja. Pemain dan wasit tentu.
Teriak sepuasnya, karena yang kami maki toh tak mendengar. Pulang kami puas hati dan lega. Katarsis. Tapi ketika penonton bola kemudian disertai bandem-bandeman botol minuman, juga lemparan batu, kami undur diri tak lagi nonton.
Demokrasi kita, juga masih dalam level tontonan. Belum bagian dari perilaku atau adab, yang diikat kesepakatan-kesepakatan. Laiknya tontonan, ada yang menonton dan ditonton. Ada juga komentator. Sekarang ini, medsos telah menjadi media mainstream Celometan medsos mengenai kepolitikan sangat kenceng dan liar.
Berkait pandemi coronavirus, Presiden Jokowi, hari-hari ini menjadi sasaran utama. Meski ada yang malu-malu, entah relawannya sendiri, SJW, oposan, pengamat, apalagi para netijen dengan smartphone masing-masing. Mungkin tak ada kehidupan politik sedahysat Indonesia, ribut dan ribet. Semua anggota masyarakat, seperti disebut Joel Stein, adalah tokoh masyarakat.
Mungkin akan baik, kalau semua tokoh masyarakat adalah Presiden. Sedang Jokowi adalah satu-satunya rakyat. Karena dianggap paling bodoh sedunia, juga paling jahat. Baguskah kenyataan ini bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Siapa paling senang situasi ini? Musang berbulu domba tentu. Di luar dan dalam kekuasaan.
Tapi tentu latar belakang atau musababnya kompleks. Tumpang tindih. Meski ketidakpercayaan pada Jokowi, adalah fatal. Apalagi dibangun karena sebuah perspektif, yang Karni Ilyas pun bisa ngomong jika pemerintah baik akan didukung. Jika buruk? Akan dikritisi? Apa ukurannya? Perspektif? Semua orang punya perspektif!
Meski sebagaimana dikatakan Arief Budiman almarhum, semuanya hanyalah kesia-siaan, dan tetap kekuasaan yang akan ambil alih. Karena dalam keramaian itu, yang ada hanyalah kekosongan. Tak ada aktor yang bisa dipercaya. Juga tak ada konsolidasi, karena tak ada agenda. Kalau pun ada, hanyalah utopia tanpa jalan.
Maka pada akhirnya hanyalah gerundelan dan kemarahan. Pada sisi itu, saya (selain tetap membela Belva), juga tetap membela Presiden Jokowi. Dalam pilpres saya memilih karena perspektif saya, tidak memilih ‘lawan’ Jokowi saat itu. Karena tak pernah ada yang makbedunduk menjadi presiden.
Jokowi terpilih dua periode. Dan itu bukan pilihan RT. Bertanyalah pada sejarah, juga capres yang kalah. Atau, mumpung Ramadhan, bertanyalah pada Ibu Sujiatmi marhumah, apakah Jokowi anak angkatnya? Keturunan China? PKI? Apakah Jokowi mendadak Presiden?
Saya, sebagai rakyat, tak membutuhkan kutbah soal etika, yang berangkat dari perspektif. Karena perspektif hanyalah cerminan persepsi. Wong soal mudik dan pulkam saja, fatwanya cem-macem, dan sok-sokan.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews