Haruskah Prabowo Terima Tawaran Rekonsiliasi Jokowi?

Prabowo harus cerdas mengambil sikap atas tawaran rekonsiliasi Jokowi. Jika ingin mengawal NKRI, tidak ada salahnya ia terima tawaran dengan masuk ke dalam suprastruktur pemerintahan.

Senin, 8 Juli 2019 | 14:08 WIB
0
263
Haruskah Prabowo Terima Tawaran Rekonsiliasi Jokowi?
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Istana Merdeka. (Foto: Tirto.id).

Rencana pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto mulai ada titik terang. Mengutip Kompas.com, Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade menyebut, ketua umumnya itu akan bertemu Jokowi pada bulan Juli 2019 ini.

“Pak Prabowo akan bertemu dengan Pak Jokowi. Insya’ Allah bulan Juli ini,” ujar Andre di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Ia belum mengetahui pasti kapan tepatnya pertemuan itu dilaksanakan.

Waktu pertemuan akan ditentukan sendiri atas kesepakatan antara Prabowo dan Jokowi. “Lagi diatur, beliau one on one. Jadi Pak Prabowo dengan Pak Jokowi langsung yang akan mengatur jadwal yang pas kapan mereka bertemu,” ucapnya.

Pertemuan Prabowo dengan Jokowi itu, lanjut Andre, dinilai sebagai langkah rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019. Pihaknya pun berharap pertemuan tersebut bisa menurunkan ketegangan antara pendukung kedua calon presiden itu.

Melalui pertemuan ini, Prabowo dan Jokowi juga dinilai ingin menunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kompetisi demokrasi telah selesai. Tidak ada lagi rivalitas antara Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dengan Joko Widodo – Ma'ruf Amin.

Andre menegaskan bahwa pertemuan itu murni sebagai wadah untuk silaturahim. “Saatnya kita bergandengan tangan bersatu kembali untuk membangun bangsa. Seperti yang sering disampaikan petinggi TKN Jokowi – Ma’ruf.

“Arti katanya bahwa silaturahim itu bukan diartikan Pak Prabowo dapat kursi menteri ya, ataupun politik dagang sapi. Tapi kita bergandengan tangan merajut kebersamaan sebagai anak bangsa,” kata Andre.

Fakta politik terkait gelaran Pilpres 2019 bahwa Prabowo adalah pemenang pilpres 2019,  namun karena kepentingan Konspirasi Global, Taipan, dan Ki Dalang, dia mustahil bisa menjadi Presiden RI.

Sehingga, paslon 02 Prabowo – Sandi harus “dikalahkan” secara yuridis formal melalui MK seperti Pilpres 2014. Maka, suara mayoritas rakyat Indonesia yang tak memilih Jokowi harus diakomodir melalui eksistensi Prabowo di pemerintahan Jokowi.

Apakah ada cara lain untuk menyelamatkan kedaulatan dan demokrasi Indonesia? Setelah putusan MK, jelas tidak ada. Kecuali Prabowo dan jutaan rakyat mau dan mampu bertindak tegas dengan mewujudkan people power.

Tapi, apa mungkin? People power tidak bisa diharapkan. Bahwa relatitas politik membuktikan hampir 90 juta pendukung Prabowo enggan turun ke jalan. Apalagi kalau ada niatan revolusi. Rasanya sangat tidak mungkin.

Meski kabarnya, negara-negara di Uni Eropa sudah jelas menolak Jokowi, tetap saja ini akan sulit terwujud. Uni Eropa pasti punya kepentingan sendiri. Mengapa tak dimanfaatkan? Apalagi, kalau sudah seperti ini biasanya AS akan idem ditto dengan Uni Eropa.

Mereka sama-sama ingin China out dari Indonesia. Timur Tengah, Korea, dan Jepang pasti ikut Uni Eropa. Inilah politik global yang sedang terjadi. Satu-satunya tokoh nasional yang bisa mengakomodir mereka ini adalah Prabowo Subianto.

Prabowo bisa membantu Presiden Jokowi melakukan politik globalnya yang selama 5 tahun menjabat dinilai sangat lemah. Komitmen inilah yang harus dipegang Prabowo jika bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Presiden Jokowi demi NKRI.   

Masa depan politik Prabowo–Gerindra sangat dipengaruhi komitmen Prabowo mewujudkan rekonsiliasi nasional. Sejak terjun ke politik, ia selalu menjadi korban penipuan, pengelabuan, pengkhianatan, fitnah, penzaliman dan seterusnya, supaya gagal jadi Presiden.

Hampir semua dalang dan pelaku penzaliman atas Prabowo adalah elit politik yang menjadi penguasa yang mengendalikan pemerintahan dan sistem politik kita. Jadi, melalui rekonsiliasi Prabowo harus masuk ke dalam suprastruktur politik pemerintahan Jokowi.

Prabowo bisa dipercaya menggantikan posisi Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), misalnya. Sebuah jabatan strategis yang bisa disebut sebagai “tangan kanan” Presiden yang setiap saat bisa memberikan masukan kepada Jokowi secara langsung.

Dengan demikian Prabowo tidak bisa lagi dijadikan target, sehingga menjadi korban politik. Dalam rangka rekonsiliasi itu pula, Gerindra dan PKS juga harus pegang posisi Ketua BPK, PPATK, dan Komisioner KPK, sehingga bisa membantu pemberantasan korupsi.

Itu kalau Presiden Jokowi tetap ingin berkomitmen melakukan upaya pemberatasan korupsi. Sehingga, ke depan, tidak ada lagi saling sandera kasus korupsi yang terjadi antar elit politik karena rivalitas politiknya yang ada selama ini. Anda pasti tahu siapa dia.

Hal itu terjadi karena adanya penguasaan komisioner KPK oleh elit politik. Mulai sekarang, coba Anda perhatikan siapa saja elit politik yang teriak-teriak menentang rekonsiliasi? Pasti mereka adalah oknum yang berambisi menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

Mereka sangat ingin menjadi Menteri atau Kepala Badan dan sejenisnya. Jadi, strategi paling efektif bagi Prabowo untuk menghukum para sengkuni pengkhianat yang ada di sekelilingnya dan di BPN adalah dengan masuknya Prabowo ke pemerintahan Jokowi.

Dari dalam pemerintahan, Prabowo mudah membuyarkan mimpi para pengkhianat tersebut, termasuk mimpi Ki Dalang Cs dan CSIS. Pihak yang ngotot mendesak Prabowo dan Gerindra menjadi oposisi pasti tidak paham karakter dan kapasitas Prabowo.

Mereka mungkin tidak tahu fakta sejarah. Sejak kalah Pilpres 2009 apakah Prabowo-Gerindra pernah menjadi Oposan? Mereka yang mengharap Prabowo – Gerindra menjadi oposisi sama seperti menunggu Godot, makhluk fiksi dalam sebuah novel.

Pada konteks kekinian, godot diartikan sebagai harapan yang tidak kunjung tiba atau harapan palsu. Kalau di tanah Jawa, godot itu mewakilli tokoh Semar dalam pewayangan. Sehingga, ini Bak Pungguk merindukan Rembulan. Itulah realita politik.

Sebuah pilihan sulit nan pahit bagi Prabowo dan Gerindra. Apalagi, secara yuridis, penolakan majelis hakim MK atas PHPU Pilpres 2019 yang diajukan paslon Prabowo – Sandi telah usai. KPU sudah menetapkan paslon Jokowi – Ma’ruf sebagai Presiden – Wapres Terpilih.

Sebelumnya, KPU telah menetapkan jumlah perolehan suara Pilpres 2019, Jokowi unggul atas Prabowo pada Selasa (21/5/2019). Selisih suara Jokowi vs Prabowo mencapai 17 juta, tepatnya paslon 01 memperoleh 85.607.362 atau 55,50 persen.

Sementara, perolehan suara paslon 02 sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen. Selisih 17 juta suara itu nyaris sama dengan DPT “siluman” yang pernah dilaporkan BPN Prabowo – Sandi, tapi tak pernah diproses KPU maupun Bawaslu hingga Pilpres. 

Sekian kontainer yang dijadikan bukti oleh Tim Kuasa Hukum paslon 02 nyaris tidak pernah dijadikan sebagai fakta hukum di persidangan. Frase kalimat yang digunakan majelis hakim ‘tidak ada dasar hukumnya’, ‘tidak terbukti ini dan itu’;

Juga frase kalimat ‘bukan wewenang mahkamah konstitusi’, dan lain-lain. Menurut Prof. Hendrajit, yang mulia majelis hakim tidak mendayagunakan kearifan intuitifnya untuk mengenali kondisi-kondisi perubahan yang sedang berlangsung.

“Dan tidak berani membuat terobosan hukum sebagai langkah awal untuk mengubah fungsi lembaga-lembaga hukum yang ada. Tidak mau memadukan sadar diri dan sadar lingkungan,” tegas Direktur The Global Future Institute ini.

Menurut alumni Universitas Nasional itu, kebenaran substansial harus dikorbankan demi kebenaran material. Sehingga, menutup diri dari temuan dan inovasi dalam bidang hukum. Mengkerdilkan dirinya sebagai teknisi-teknisi hukum.

“Karena, krisis yang sesungguhnya sedang terjadi di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum, itu adalah Krisis Persepsi,” ungkapnya kepada Pepnews.com. Hal itu bukannya menggugurkan fakta hukum yang disampaikan kuasa hukum paslon 02.

“Melainkan mengadu persepsi mahkamah dengan persepsi tim kuasa hukum,” ujar Hendrajit. Kuasa hukum paslon 02 bukan dikalahkan oleh fakta hukum, melainkan oleh persepsi majelis hakim. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik putusan majelis hakim MK itu?

Majelis Jokowi

Bahwa hingga sehari menjelang putusan MK, Draft Putusan MK atas sengketa Pilpres 2019 yang diajukan paslon 02 masih tetap menolak permohonan untuk diskualifikasi paslon 01. MK juga menolak membatalkan penetapan KPU terkait hasil pilpres 2019.

Intinya MK mengukuhkan kemenangan Jokowi – Ma’ruf. Seperti biasa, dalam menyiapkan putusan tertentu yang strategis dan krusial, MK menyiapkan 2-3 draft putusan: Mengabulkan seluruhnya, Mengabulkan sebagian, dan Menolak. Begitulah!

Draft mana yang akan dibacakan sebagai putusan MK nanti, tergantung pada perkembangan politik terakhir. Selama MK berdiri di Indonesia, independensi majelis hakim sebagaimana dinyatakan Ketua MK Anwar Usman adalah kebohongan besar. 

MK tak pernah independen dalam menetapkan putusan sengketa pilpres. Putusan MK selalu ditentukan oleh pihak tertentu di luar MK. Komposisi dari majelis hakim MK yang mengadili sengketa pilpres 2019 secara politis seperti majelis hakim MK 2014.

Sama-sama hakim pilihan rezim dan partai pendukung rezim. Sama-sama menjadi sandera KPK melalui kasus suap (2014 kasus Akil Muchtar, 2018 kasus Patrialis Akbar). Keduanya sudah diadili di Peradilan Tipikor karena tersangkut suap.

Putusan MK atas Judicial Review (JR) pasal-pasal tertentu pada UU Pemilu No. 7/2017 pada 5 Maret 2019 lalu mencerminkan MK telah menjadi bagian integral dari pelanggaran pemilu secara TSM.

Putusan MK atas uji materi UU Pemilu itu menjadi jalan masuk Pencurangan Pemilu secara TSM di seluruh Indonesia. MK mengabulkan Batas Waktu rekap hasil TPS dimundurkan 12 jam. Itu menyebabkan hasil rekap ratusan ribu TPS se-Indonesia mudah dimanipulasi.

Semua ini terjadi berkat putusan MK atas permohonan JR pada awal April 2019, yang telah menjadi jalan masuk Pencurangan Pemilu dengan penambahan 7 juta pemilih ilegal non DPT dalam daftar pemilih 2019 hingga total pemilih menjadi 199.9 juta.

Mereka sudah menyiapkan puluhan juta KTP ilegal untuk dikonversi menjadi suara tambahan 01, PDIP, dan Nasdem. Permohonan JR dan Putusan MK yang mengabulkan JR ini menjadi solusi untuk menyempurnakan pencurangan pemilu oleh KPU/D itu.

Masih kurang apa lagi. Database 173 juta NIK-KK WNI sudah dikuasai; Lebih 100 juta KTP aspal sudah dicetak; Sebanyak 267 ribu TPS tambahan disiapkan; DPT ditetapkan sudah 192 juta dan 7 juta pemilih ilegal sudah siapkan;

Batas waktu Rekap TPS sudah diundurkan 12 jam; Situng KPU 100% sudah diamankan dari sorotan dan pengawasan publik; Aparat sudah siap mengamankan pencurangan (manipulasi); Lembaga Quick Count dan media sudah dikondisikan.

Bahwa grand scenario pencurangan pemilu 2019 secara terstruktur, sistematis, dan massif itu sudah dimatangkan sejak 2015 oleh para mafia politik penguasa di balik rezim Jokowi. Siapa mereka, tidak elok kalau disebut di sini.  

Prabowo memang harus cerdas dan cerdik dalam mengambil sikap atas tawaran rekonsiliasi Jokowi. Jika ingin mengawal NKRI, tidak ada salahnya Prabowo terima tawaran itu dengan masuk ke dalam suprastruktur pemerintahan Jokowi.

Tentu saja keputusan Prabowo itu akan sangat menyakitkan para pendukung setianya. Pahit memang, namun inilah pilihan realistis setelah upaya membawa ke Mahkamah Internasional belum terealisasi hingga kini.

***