Beban Papua, 4 Bulan yang Rawan

Kelompok separatis kian pintar mencari isu untuk dijadikan sumbu yang meledakkan emosi orang Papua, dari isu rasisme 11 kota di Papua digoyang protes dan beberapa kota lumpuh karena rusuh.

Minggu, 1 September 2019 | 07:17 WIB
0
367
Beban Papua, 4 Bulan yang Rawan
Presiden Jokowi dan anak-anak Papua (Foto: Akurat.co)

Sampai akhir tahun ini, Papua bakal jadi pekerjaan rumah yang berat bagi Presiden Jokowi. Titik persoalannya sama seperti yang terjadi pada lima Presiden terdahulu. Yakni pendekatan keamanan yang menggunakan kekuatan berlebihan.

Empat Bulan Rawan

Padahal sejak semula, harusnya aparat keamanan sangat paham bahwa 4 bulan terakhir setiap tahun, isu Papua Merdeka selalu muncul.

Yakni setiap tanggal 15 Agustus, yakni tanggal penyerahan kedaulatan Belanda atas Papua kepada Indonesia secara resmi oleh PBB.

Bulan rawan kedua adalah September, saat PBB menggelar Sidang Umum yang tahun ini jatuh pada tanggal 17 September. Negara-negara Pasifik, terutama Vanuatu dipastikan akan mengangkat isu Papua dalam sidang tersebut.

Bulan Oktober, biasanya Komisi HAM PBB bersidang membahas isu-isu seputar itu. Indonesia selalu disorot soal isu Papua. Namun sejak pemerintahan Jokowi, isu Papua dibahas tipis-tipis saja. Ini disebabkan karena para diplomat kita berhasil menyakinkan dunia internasional bahwa Jakarta sangat serius membenahi Papua.

Bulan rawan keempat adalah Desember. Separatis Papua memperingati mendeklarasikan 1 Desember adalah hari kemerdekaan Papua.

Kekerasan

Selama 4 tahun memerintah, Presiden Jokowi sudah wanti-wanti agar pihak keamanan jangan sampai menggunakan gara-gara kekerasan menghadapi isu Papua. Sebab jika senapan menyalak, melukai atau menewaskan orang Papua, maka isu pelanggaran HAM akan digoreng oleh kelompok separatis. Aparat keamanan diwajibkan memakai pendekatan persuasif.

Selama 4 tahun, kita tidak pernah mendengar ada kekerasan oleh aparat keamanan. Meski kita dengar ada pelanggaran HAM di Nduga yang dikatakan penggiat HAM terjadi pengungsian besar-besaran ketika militer mengejar OPM yang menembaki pekerja konstruksi. Ratusan orang dikabarkan tewas karena kelaparan di hutan. Namun kabar ini ditepis oleh pihak keamanan.

Informasi sedemikian ini menjadi isu yang laris manis dipakai kelompok separatis untuk mendiskreditkan Indonesia di dunia internasional.

Dua cara selalu mereka lakukan Manakala kekuatan bersenjata mereka sangat lemah, cara pertempuran gerilya ditempuh. Sementara kampanye non kekerasan dilakukan oleh elemen simpatisan separitis di kalangan mahasiswa Papua yang bersekolah di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Kecolongan

Pola ini harusnya sudah sangat dipahami oleh otoritas keamanan. Namun mereka kecolongan di Surabaya. Kelompok separatis kian pintar mencari isu untuk dijadikan sumbu yang meledakkan emosi orang Papua. Dan dari isu rasisme itu, 11 kota di Papua digoyang aksi protes dan beberapa kota lumpuh karena rusuh.

Karena kecolongan, pemerintah terpaksa membiarkan para simpatisan Papua Merdeka mengibarkan bendera separatis. Bahkan di depan Istana Merdeka. Tidak pernah ini terjadi sebelumnya. 
Ini adalah cara maksimal yang terpaksa dibayar agar dunia internasional memandang bahwa Indonesia menempuh cara baru dalam menangani Papua.

Karena kecolongan, Presiden Jokowi kini harus kerja lebih keras lagi. Kita dipahamkan bahwa sejak kerusuhan pecah di Manokwari, hampir tiap hari Presiden menelpon gubernur Papua dan Papua Barat agar bisa menenangkan rakyat disana.

Permintaan gubernur dua propinsi itu agar pelaku ditindak, sudah dipenuhi. 4 personil militer di non aktifkan dan seorang sipil dijadikan tersangka. Penghukuman para pelaku dalam prosesnya akan dimaknai oleh orang Papua sebagai level keseriusan Jakarta menangani isu rasisme.

Pelajaran Pahit

Sejauh ini orang Papua belum yakin oleh penghukuman pelaku. Dan itulah celah yang dimanfaatkan kelompok separatis untuk terus mengagitasi rakyat Papua agar mendukung gagasannya memerdekakan Papua. Yang akan terus dilakukan mereka sampai pergantian tahun. Baik melalui serangan bersenjata atau kampanye internasional.

Mereka pastinya juga akan memanfaatkan celah diplomatik seiring dengan keinginan Indonesia menjadi anggota komisi HAM PBB periode 2020-2022. Kelompok separatis dan negara-negara rumpun Melanesia di Pasifik Selatan akan gencar membeberkan isu Papua.

Mereka lakukan itu mulai September saat Sidang Umum PBB sampai Oktober saat komisi HAM PBB memilih anggota baru. Dan kelompok separatis ingin memastikan Indonesia tidak terpilih sekaligus diburuk-burukkan.

Dimensi multilateral ini akan semakin menambah beban Presiden Jokowi membenahi Papua.

Kita yakin semua pihak banyak belajar dari serial aksi kerusuhan di Papua agar bisa lebih cerdik lagi menyiasati. Ketelodoran telah menyebabkan Presiden Jokowi kepayahan.

Mereka kini telah menyaksikan kelompok separatis dan pendukungnya untuk pertama pertama kali dalam 4 tahun terakhir merasakan buah manis perjuangan mereka. Bukan karena mereka hebat. Tapi karena kelemahan Indonesia sendiri.

Yang semuanya bermula pada kata monyet.

***