“Ganis, saya sudah bosan dengan gaya tulisan pidato Soebandrio. Saya ingin pernyataan politik, bukan pidato pejabat yang pilihan kalimat – kalimatnya klise” Ucap Sukarno kepada satu dari dua tim pembuat pidatonya. (Buku Cakrawala Politik Sukarno).
Prabowo dan Pidato Kebangsaaan
Malam itu, Senin, 14/01/2018 Prabowo menampilkan Pidato Kebangsaanya, ada banyak pro dan kontra terhadap gaya dan isi materi pidato dari pasangan calon presiden nomor urut 02 ini. Belum lagi soal isi kalau Emas ada di Indonesia harus kita kuasai. Padahal Jokowi sudah melaksanakan itu dan menguasai saham mayoritas Freeport sebesar 51 persen.
Di lain waktu, Prabowo pernah mengeluarkan statement agar Pemerintah menghormati Amerika Serikat. Isi materi soal ini kontra produktif jadinya.
Berikutnya soal gaji dokter yang kalah sama gaji tukang parkir , padahal omongan ini secara artian ngawur. Hanya dokter yang tidak bekerja saja yang tidak akan punya penghasilan dan secara hitung –hitungan pasti kalah dengan juru parkir yang setiap saat menerima uang jasa parkirnya. Kalau sudah bekerja, masa iya kalah sama profesi ini. Lagi lagi tidak masuk diakal.
Kemudian kegelian masyarakat yang tentu saja kontra Prabowo bertambah dengan adanya statement dari Anggota DPR Fahri Hamzah. Apa yang dikatakan seorang Fahri Hamzah yang memuji pidato dari Prabowo dan menyamakan gayanya dengan Sukarno perlu segera diluruskan sejarah. Hehehehe, Kenapa bisa begitu?
Jelas saja, bagai bumi dan langit ketika “dipaksa” membandingkannya. Sukarno yang sejak muda seorang kutu buku, memiliki berbagai keahlian dalam menuangkan ide dan gagasannya pada setiap tulisannya. Perkenalan Sukarno pada Islam, Imperialisme menjadikan pemikiran Sukarno lebih kepada sikapnya anti imperialisme, perbudakan dan penjajahan di muka bumi ini.
Pun soal agama, Sukarno sudah akrab dengan islam saat usianya 15 tahun dengan tinggal dan belajar di rumah H.O.S Tjokroaminoto, kemudian sering mengikuti tablig akbar organisasi Muhammadiyah , KH. Ahmad Dahlan yang kemudian kedua gurunya nya diberi gelar Pahlawan Nasional.
Persamaannya sih satu, yaitu Prabowo dipastikan dalam pidatonya suka tanpa teks ketika berbicara di depan umum baik acara resmi maupun tidak. Perbedaannya, Sukarno bukanlah sosok militer, otoriter, namun ketegasannya mengalahkan militer jabatan apapun. Karena apa yang dipikirkan, dituliskan, dilakukan sama persis dengan apa yang diucapkannya. Buah dari kontemplasi kejiwaan dengan mendekatkan diri pada konsep ketuhanan.
Pengalamannya ketika dibuang ke berbagai daerah oleh Belanda menjadikannya dekat dengan buku dan kontemplasi pada Sangpencipta yang selalu memikirkan sebuah konsep yang dipakai sebuah bangsa untuk merdeka dari penjajahan.
Ya, kalau mau membuka sejarah ,saat pidato 1 Juni 1945 disitulah peran Sukarno mengakomodir kepentingan bangsa diatas kepentingannya sendiri sehingga lahirlah Pancasila sebagai ideologi bangsa. Di dalamnya ia mempersatukan konsep keislaman dan nasionalisme kebangsaaan.
Sekarang, Fahri Hamzah memuji gaya orasi Prabowo. Ia menyamakan gaya capres ini dengan Presiden RI Pertama. Benarkah seperti itu?
Bagi yang fans garis keras Sukarno dan sering membaca biografi kemudian sesekali mendengarkan berbagai orasi Pidato Sukarno yang revolusif progresif penuh api bisa dipastikan tak akan sudi sukarno disamakan dengan Prabowo –kobaran semangat api menggelagar dan isinya membangun semangat kebangsaaan melawan penjajah, membangun semangat berdikari berdiri di atas kaki sendiri tak ada dalam diri Prabowo meskipun harus mengulas pidatonya ribuan kali.
Gaya bicaranya yang cepat, artikulasi jelas dan tepat, tidak terbata bata dan mudah dimengerti masyarakat umum (rakyat jelata) sungguh berbeda dengan apa yang ditampilkan malam itu di JCC Senayan. Jaman Sukarno, semua rakyat bersatu tertuju pada pemimpn besar revolusi. Siapa pun yang ada pada kondisi pra dan paska kemerdekaan tersebut.
Rasa lapar, haus, capek dan segala problematika akan hilang seketika Bung Karno berbicara. Sementara itu 1,5 jam dia berdiri akhirnya diprote pula oleh para pendukungnya sendiri. Sungguh Terlalu ! Kata Bang Haji . Pada akhirnya, sulit mencari kesamaannya dengan Prabowo dari sudut manapun juga.
Tanggapan PDIP Perjuangan
Meski demikian PDIP dalam penyikapannya memuji vokal Prabowo (hanya pada vokal dan intonasi lebih baik itu saja) selebihnya isi ucapannya seperti biasa penuh kontradiksi . Seperti yang dikatakan oleh Sekjend PDI Perjuangan Hasto Krisyanto.
Pidato ini tidak mengagetkan PDIP. Selain melanggar aturan kampanye, apa yang disampaikan sesuai dengan watak Pak Prabowo (lagi lagi tidak sama dengan Sukarno). Menyerang dan nihilkan prestasi Indonesia. Bayangkan, kalau Asian Games, Asian Para Games, kemajuan membangun dari pinggiran, dan kehadiran nilai – nilai kemanusiaan dalam kebijakan sosial Pak Jokowi – JK pun terasa dinihilkan.
Jadi PDIP sudah menduga isinya akan seperti itu. Sebab , di mata Prabowo semua adalah kegagalan sesuai pengalamannya sendiri.
Pidato visi misi pun sarat dengan ilusi dan retorika TelePrompter.”Menihilkan prestasi Pak Jokowi dan Pak JK hanya akan mengurangi electoral Prabowo Sandi. tidak tidak hanya di Jawa dan Sulawesi, Masyarakat Sumatera, Kalimantan, NTT, Papua dan Indonesia Timur lainnya yang telah merasakan sentuhan kebijakan Jokowi –JK pasti akan kurang respek dengan pidato retorik – telpromter tersebut”.
Jika pidato visi misi Prabowo – Sandi tersebut dilihat dalam perspektif kemanusiaan, kerakyatan dan komitmen terhadap apa yang telah dilakukan oleh Prabowo dan Partai Gerindra, maka skornya 3-0 untuk kemenangan Pak Jokowi. “Retorika melawan berbagai bentuk ketidak adilan itulah yang terus mereka mainkan. Namun PDIP meyakini bahwa bicara dengan rakyat adalah bahasa hati; bahasa kepedulian melalui sentuhan kepemimpinan merakyat, bukan sebaliknya”
Indonesia dibangun dengan niat baik dan pemikiran positif. Strategi model menyerang justru menjadi arus balik, yang justru kembali kepada siapa yang berbicara dan justru malah mengingatkan masa lalu Prabowo.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews