Membaca Jalan Mega Merawat Pemikiran Bung Karno

Sabtu, 26 Januari 2019 | 15:30 WIB
0
301
Membaca Jalan Mega Merawat Pemikiran Bung Karno
Bung Karno saat berbicara di depan rakyatnya

 

Eropa bolehlah berbangga memiliki filsuf sekelas Bertrand Russel. Namun Indonesia pun memiliki seorang pemikir yang lebih dikenal sebagai presiden pertama, Soekarno. 

Sosok bapak bagi Megawati Soekarnoputri tersebut bahkan mampu membuat Russel terkagum-kagum kepadanya. Bagaimana tidak, ketika banyak orang mengagumi pemikiran Russel, Bung Karno mampu menunjukkan bahwa Indonesia pun punya pemikiran sendiri. 

Saat itu, Russel sedang menjadi perbincangan karena ia yang sedang naik daun sebagai pemikir di Barat, justru mendapatkan perlawanan secara pemikiran dari Timur, dan itu diwakili oleh Soekarno. 

Pemandangan ini juga dicatat oleh Prof. Dr.  Arief Hidayat, SH, MS, dalam pengantarnya di buku "Bung Karno, Islam, dan Pancasila" yang ditulis Dr. Ahmad Basarah.

Russel berpandangan bahwa dunia saat itu terbagi dalam dua poros ideologis, liberal dan komunisme. Inilah yang lantas jadi bahan kritikan Soekarno, dengan menunjukkan bahwa ia memiliki bangsa yang memiliki ideologi tersendiri. 

Saat berbicara di depan PBB pada 30 September 1960, Bung Karno menyangkal pendapat Bertrand Russel tersebut. Indonesia, kata Bung Karno, tidak dipimpin oleh kedua paham itu--liberal dan komunisme. 

"Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yanng jauh lebih cocok," kata Bung Karno. "Sesuatu itu kami namakan Pancasila."

Bung Karno juga mengutarakan alasan kenapa Pancasila lebih cocok dengan bangsanya. "Gagasan-gagasan dan cita-cita itu sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional."

Dalam pidato itu juga Soekarno menegaskan sudut pandangnya tentang bagaimana ia melihat ideologi yang diusungnya. "Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem negara-negara Barat," kata Bung Karno. "Di barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya."

Selain itu, ia juga menyebutkan bagaimana Nasionalisme di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah kapitalisme. "Di Asia dan Afrika, dan saya kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropa. Nasionalisme Asia dan Afrika serta nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya."

Dari sanalah Bung Karno menjabarkan bagaimana Indonesia merumuskan ideologi tersendiri. "Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pen-dorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat yang adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang," tegasnya.

Pidato itulah yang lantas mendapatkan respons dari Bertrand Russel secara khusus di salah satu media di Inggris. Russel menyebut Pancasila Bung Karno itu sebagai sintesis kreatif dari ideologi dunia. Bahkan, Russel menegaskan kekagumannya dengan menjuluki Bung Karno sebagai "Great Thinker in the East" atau "Pemikir Besar dari Timur."

Itu menjadi sebuah potret, bagaimana pendiri negeri ini menunjukkan kepercayaan diri sekaligus penegasan, bahwa tanah airnya pun memiliki sesuatu yang tidak kalah dibandingkan Barat. Tidak terkecuali dalam hal pemikiran, ketika dunia dibuat terkesima oleh Barat, Soekarno menunjukkan bahwa Timur pun tak dapat dipandang remeh. 

Ya, apa yang ditonjolkan oleh Bung Karno adalah sesuatu yang lebih esensial dari sebuah bangsa, oleh sebuah negara: ruh dan pikiran. Fisik bisa merasakan sakit, terluka, hingga hancur, namun berbeda halnya dengan ruh dan pikiran, akan hidup di tempat tersendiri secara abadi, setidaknya di ruang ingatan anak-anak negerinya yang mencintai negeri di mana mereka terlahir, besar, dan hidup.

Soekarno sangat memahami bahwa setiap pemikiran besar dan berharga takkan dilupakan begitu saja. Terlepas, di sisi lain, pemikiran-pemikiran besar pun membutuhkan figur-figur berjiwa besar untuk dapat menjaga dan menghidupkan sebuah pemikiran.

Di sinilah Megawati Soekarnoputri, anak kandung sekaligus anak ideologis Bung Karno, menunjukkan keteguhannya dalam merawat warisan pemikiran sang ayah. Ia menunjukkan tidak hanya darah Bung Karno mengalir di tubuhnya, tetapi juga pemikiran-pemikirannya.

Menariknya, bagaimana seorang Megawati mengejawantahkan pemikiran besar sang ayah. Ia tidak sekadar berbangga bahwa ada darah Soekarno di dalam dirinya, namun ia membuktikan bahwa Soekarno juga sudah memberikannya warisan sangat berharga, dan itu adalah pemikiran.

Dan, di antara pemikiran paling akrab dengan Megawati adalah bagaimana ia menjaga kedekatan dengan rakyat. "Tidak ada istilah elite partai di PDI Perjuangan," tegasnya, saat peringatan Hari Ulang Tahun ke-46 PDIP di Kemayoran, 10 Januari lalu.

Sedikitnya, ini menjadi penegasan kuat, bahwa apa yang masih setia dijalankannya bukan sekadar bagaimana menjadikan partai sebagai kendaraan untuk kekuasaan. Ia masih setia membuktikan bahwa partainya adalah partai untuk rakyat, menjadi jembatan rakyat kecil untuk bisa berpikir besar dan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. 

Terlihat, itulah bagian langkah yang diayunkannya, dan itu juga jalan yang ia tempuh, yang tak jauh-jauh dari jalanan ditapaki sang ayah. Ayunan langkah yang tak jauh-jauh dari ayunan kaki rakyat. 

Maka itu, ia mengajak melihat masalah rakyat sebagai masalah bersama. Dibuktikan juga dengan bagaimana ia membangun partainya, dan memilih orang-orang yang diyakininya bisa menjadikan partai sebagai jalan untuk bekerja lebih banyak untuk rakyat.

"Kita alami kekalahan dalam pemilu. Contoh pada 2004 dan 2009, meskipun kalah, partai ini tidak pernah pilih jalan pintas, tak asal comot caleg, apalagi dari parpol lain," katanya. Sekaligus kembali menjadi penegas, bahwa partainya adalah partai perjuangan, partai yang menjadi jalan perjuangan untuk rakyat.

Setidaknya, begitulah ia membangun partai yang berangkat dari pesan-pesan besar Bung Karno, menularkan pikiran besar kepada rakyat. Sebab ia memahami, selayaknya yang diperjuangkan Bung Karno, bangsanya akan terlihat dan diakui sebagai bangsa besar ketika di sana berkembang pikiran-pikiran besar, dan kemauan besar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

***