Jokowi “Cak Jancuk”, Termasuk Penghinaan Simbol Negara

Rabu, 6 Februari 2019 | 21:00 WIB
0
4589
Jokowi “Cak Jancuk”, Termasuk Penghinaan Simbol Negara
Prsiden Joko Widodo yang juga caprer petahana menerima julukan

Presiden Joko Widodo saat menerima julukan “Cak Jancuk” dalam Deklarasi Alumni Jawa Timur, Sabtu (2/2/2019) di Surabaya tampaknya enjoy-enjoy saja. Tak ada protes sekalipun dari capres petahana ini maupun pihak Sekretariat Istana Negara.

Jokowi cuek! Tak ambil pusing! Dia malah terkesan bangga dengan umpatan yang sejatinya identik dengan porno itu. Dia seolah tidak tahu arti “jancuk” yang sebenarnya. Dia menerima dengan senang hati. Sebagai Kepala Negara, jelas ini tidak patut.

Meski sebagai capres petahana, status Jokowi saat ini masih menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dengan kata lain, Jokowi ini identik dengan Simbul Negara karena jabatannya sebagai Presiden RI. Jokowi kini bukan rakyat jelata.

Sehingga, julukan Cak Jancuk yang disematkan kepada Jokowi tersebut sangatlah tidak patut. Karena, jelas ini sebuah penghinaan atas Simbul Negara (Presiden). Supaya gelaran ini tidak makin liar, polisi harus bertindak berdasarkan hukum yang berlaku.

Jika pemberian sebutan Cak Jancuk kepada Presiden Jokowi ini tidak diproses hukum (sesuai dengan Pasal 315 KUHP ), maka ya jangan salahkan publik, kalau pada akhirnya ikut-ikutan menggunakan diksi itu untuk memanggil Jokowi “Cak Jancuk”.

Pasal 315 KUHP tersebut adalah satu-satunya pasal yang masih “tersisa” setelah pasal soal Penghinaan Presiden dicoret Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan tiga pasal penghinaan.

Sebelumnya, Aturan Hukum Penghinaan terhadap Presiden tercantum dalam tiga pasal, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu. Ketiga pasal penghinaan ini akhirnya dibatalkan oleh MK pada 2006.

Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden sebagai Kepala Negara diatur dalam KUHP, yakni pada Bab II Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden, Pasal 134, Pasal 136 bis, serta Pasal 137 KUHP.

Pasal 134: Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.

Pasal 136 bis: Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 135, jika itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum baik lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya dan pada waktu itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Namun ketiga pasal di atas pada 2006 – Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP – telah diajukan uji materi (judicial review) untuk membatalkannya ke MK.

Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 MK telah membatalkan ketiga pasal ini karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi.

Oleh karenanya ketiga pasal Penghinaan terhadap Presiden di atas tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang sangat mungki digunakan untuk menjerat umpatan Cak Jancuk yang disematkan kepada Jokowi tinggal pasal 315 KUHP.

Dalam pasal 315 disebutkan: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja, yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu, atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.”

Jika hal itu itu dilakukan di depan umum dan perkataannya dianggap menyerang kehormatan seseorang, bisa diancam dengan Pasal 310 ayat 1 yang menyebutkan: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.”

Jadi dapat disimpulkan, pemberian julukan Cak Jancuk kepada Jokowi itu bisa dikenai sanksi pidana. Tapi sebelum menempuh jalur hukum, sebaiknya tindakan Panitia Deklarasi Alumni Jatim ini dilaporkan kepada Polrestabes Surabaya terlebih dahulu.

Predikat “Cak Jancuk” kepada capres petahana Jokowi yang disematkan oleh pembawa acara Djadi Galajapo saat Deklarasi Alumni Jawa Titim di Tugu Pahlawan, Surabaya.

Pro-kontra terjadi karena panitia acara sendiri menyangkakan gelar Jancuk tersebut. Hal itu karena kata “jancuk” sendiri terlanjur dikenal kebanyakan orang sebagai kata yang memiliki kesan dan konotasi negatif sebagai umpatan “porno”.

Menurut Djadi Galajapo, CAK itu kepanjangan dari Cakap, Agamis, dan Kreatif. Sedangkan JANCUK berarti Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen. Seusai pembacaan deklarasi dilakukan oleh Ketua Panitia Pelaksana acara, Ermawan.

Ribuan pendukung capres Jokowi yang memenuhi sebagian ruas Jl. Pahlawan bersorak sorai. Pembawa acara juga tampak antusias. Saat itulah Djadi Galajapo selaku pembawa acara juga menyematkan gelar pada Jokowi.

Pertama, ia menyematkan gelar 'cak', yang merupakan singkatan. “Mengapa disebut 'cak'? Karena 'cak' adalah, cakap, agamis, dan kreatif. Itulah Cak Jokowi,” katanya disambut tepuk tangan pendukung.

Bukan hanya 'cak', pembawa acara tersebut juga menyematkan gelar 'jancuk' pada Jokowi. Kata 'jancuk' ini akrab di telinga masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. “Kalau sudah 'cak', maka ndak komplet kalau tidak ada 'jancuk',” ujar Djadi Galajapo.

“Maka Jokowi adalah 'jancuk'. Apa itu 'jancuk'? Jantan, cakap, ulet, dan komitmen, Saudara-saudara," katanya. Para pendukung Jokowi bertepuk tangan mendengar penjelasan pembawa acara itu. Pria pembawa acara itu lalu mengomandoi massa untuk berteriak.

“Neng Suroboyo tengah, Jancokan, apa itu Jancokan?” katanya, seperti dilansir Detik.com, Sabtu (2/2/2019). Pendukung pun berteriak, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”. Jokowi pun tampak tersenyum mendengar “umpatan” tersebut.

Setelah sempat viral di medsos atas julukan “Cak Jancuk” itu, pengamat bahasa dan budaya Henri Nurcahyo angkat bicara soal gelar yang diberikan pendukungnya kepada capres nomor urut 01 Jokowi. Ia menyayangkan julukan itu karena dianggap keterlaluan.

Cak iku wis benar. Tapi nek jancuk iku kenemenen rek (Cak itu sudah benar. Tapi kalau jancuk itu keterlaluan). Kalau menurutku ya nggak layak lah. Buat guyonan sesama konco nggak masalah. Tapi iki presiden mosok dijancuk-jancukno,” kata Henri.

Melansir Detik.com, pengamat seni budaya Jatim ini mengatakan, meski menurut pengakuan pemberi julukan jancuk mengartikan positif dan mengacu pada akronim singkatan yang baik, tapi tetap saja hal itu sebagai sebuah kebablasan.

Karena yang diberi julukan itu orang terhormat dan lambang negara. “Ya kan, baik bagi dia (pemberi julukan). Tapi secara umum nggak baik. Apalagi presiden. Presiden kan lambang negara. Umpama dibilang 'hei cak jancuk koen', opo nggak mangkel itu orang,” ujarnya.

Menurut penulis buku Budaya Panji itu, ia juga tidak menampik kalau jancuk juga ada yang berkonotasi positif. Namun Henri menegaskan kata itu juga tidak semua baik. “Dari berbagai versi jancuk itu memang tidak berkonotasi jelek,” ungkapnya.

“Tetapi juga tidak semuanya baik. Kalau sekarang ada yang baik dan ada yang jelek ngapain dipakai. Iya kalau orang mengartikan baik. Kalau mengartikan elek piye?” ujar Henri seperti dilansir Detik.com.

“Jancuk itu umpatan. Soal arti bisa diartikan belakangan kayak fucking you. Jadi, artinya bisa macam-macam isok jaran ngencuk, itu kalau orang Jawa otak-atik gathuk,” beber alumnus Sastra UGM itu.

Tapi, diantara artinya yang macam-macam itu tadi artinya ada yang positif, ada yang negatif dan ada yang netral. Kalau yang netral seperti ‘jancuk yo opo kabare rek’, kalau yang negatif ‘jancuk awas koen yo’, nah elek kan, misale lagi ‘jancuk tak pateni koen’,” lanjutnya.

Henri kemudian membandingkan dengan seniman Sudjiwo Tedjo yang menyebut diri sendiri sebagai ‘presiden jancukers’. Menurutnya, apa yang dilakukan Sudjiwo tak masalah. Karena ia menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain.

“Saya tidak mengatakan jancuk itu jelek. Tapi saya mengatakan jancuk itu ada yang netral, ada yang bagus, dan ada jelek. Kayak semua buah itu kan nggak semua busuk. Tapi karena buah itu busuk ya jangan dikasihkan ke orang lain, gitu loh umpamanya,” pungkas Henri.

Klarifikasi datang dari Sekretaris Deklarasi Alumni Jatim Teguh Prihandoko. “Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik,” tegasnya seperti dilansir Detik.com, Minggu (3/1/2019).

Teguh menjelaskan, pihaknya menyayangkan sikap pembawa acara Djadi Galajapo yang saat itu memberi gelar 'Cak-Jancuk' kepada Jokowi. Meski saat itu oleh pembawa acara, kata 'Jancuk' diberikan kepanjangan sebagai “Jantan, cakap, ulet, dan komitmen”.

“Untuk sebutan Jancuk itu keluar dari Pak Djadi Galajapo sendiri, kami tidak tahu. Mungkin saat itu dia terlalu emosional dan terbawa suasana. Ini dari pihak alumni Unair sendiri menyayangkan dan kaget keluar kata-kata Jancuk itu kemarin,” kata Teguh.

Menurutnya, kata Jancuk itu bisa salah persepsi jika disampaikan untuk orang luar Surabaya. “Acara ini kan acara orang-orang intelektual, yang tidak hanya dihadiri oleh orang-orang Surabaya saja, melainkan dari alumni dari Kota Solo, Semarang dan lainnya,” ujar Teguh.

“Jadi semunya kaget. Intinya kami hanya menyayangkan saja keluar kata-kata itu,” lanjutnya. Namun, belakangan Djadi Galajapo mengaku, sudah koordinasi dengan panitia.

***