Jika Kubu Prabowo Pakai Rasa, Takkan Tuntas Perdebatan Ini

Minggu, 21 Oktober 2018 | 13:54 WIB
0
474
Jika Kubu Prabowo Pakai Rasa, Takkan Tuntas Perdebatan Ini
Kompasiana.com/tilariapadika

Kamis malam saya tonton perdebatan antara dua kubu juru bicara capres-cawapres di acara Election Talk Metro TV bertajuk "Setop Jualan Hoaks."

Di Kubu capres-cawapres Joko Widodo ada Akbar Faisal (Hanura), Diaz Hendropriyono (PKPI), dan Maman Imanul Haq (PKB) dan seorang yang lupa saya namanya. Kubu Prabowo diwakili Ferry Juliantono (Gerindra), Priyo Budi dan Pipin Sopian (PKS).

Dialog yang dipandu Fitri Megantara ini menghadirkan pula dua pakar ilmu politik, Sirojudin Abbas (Direktur Program SRMC) dan Dimas Okky Nugroho.

Selain perdebatan soal skandal kabar palsu bermotif politik Ratna Sarumpaet yang hanya diwarnai pernyataan itu-itu saja (Kubu Prabowo yang terus mengulang-ulang pernyataan Prabowo cuma korban), perdebatan seharusnya jadi menarik ketika masuh ke ranah ekonomi.

Sayangnya kubu Prabowo tidak dapat menghadirkan data alternatif selain terus-menerus mengulangi pernyataan bahwa rakyat bertambah miskin, barang-barang mahal, pengangguran bertambah, dan nilai tukar dollar naik lebih dari Rp 15.000 per satuannya.

Satu-satunya serangan berbasis data valid yang disampaikan kubu Prabowo adalah soal nilai tukar dollar. Sementara data-data seperti angka kemiskinan, tingkat pengangguran, dan laju inflasi tidak dilandasi sumber data valid sehingga dengan mudah dicounter Akbar Faizal dan kawan-kawan menggunakan data statistik.

Saya agak heran kubu Prabowo, diwakili oleh Ferry Juliantor menutupi kelemahan basis data mereka dengan argumentasi bahwa ukuran kemiskinan bukan bicara data atau angka melainkan soal rasa.

Mendasarkan penilaian atas soal kemiskinan, tingkat pengangguran, dan harga-harga barang pada soal rasa adalah cacat fatal dalam penalaran dan perdebatan.

Dalam pelajaran fisika atau ilmu alam untuk anak sekolah dasar, biasanya ada percobaan pengukuran suhu air.

Caranya dengan menyediakan tiga ember air, ember pertama berisi ari hangat, kedua berisi air biasa, dan ketiga berisi air dingin. Anak-anak diminta merendam tangan kirinya ke ember air hangat dan tangan kanan ke ember air dingin.

Setelah beberapa saat mereka diminta memindahkan kedua tangan ke dalam ember berisi air biasa.

Tangan kanan yang baru keluar dari ember air hangat meresa air di ember kedua terasa lebih sejuk, sementara tangan kiri merasakan suhu air di ember air biasa terasa lebih hangat.

Hal ini yang disebut ukuran relatif.

Ukuran relatif tidak dapat dipercaya karena bergantung pada faktor latar belakang tangan kiri dan tangan kanan yang berbeda (keluar dari ember yang berbeda suhunya).

Demikian pula, bahkan lebih parah lagi dengan perasaan yang dikatakan Ferry Juliantono

Jika perasaa digunakan sebagai landasan dua pihak berdebat tentang ukuran kemiskinan, harga barang, dan pengangguran, perdebatan itu tidak akan menemukan titik temu sebab masing-masing pihak menggunakan ukuran yang berbeda, berdasarkan perasannya. Apalagi jika dua kubu yang berdebat mewakili dua kubu politik yang berlawanan. Yang satu semangatnya membesar-besarkan prestasi, lawannya bersemangat membesar-besarkan kelemahan.

Saya heran bagaimana hal mendasar seperti ini tidak dipahami oleh kubu Prabowo.

Saran saya jika kubu Prabowo tidak mengakui angka-angka yang dikeluarkan lembaga resmi, mereka mencari referensi lain yang berasal dari lembaga terpercaya yang melakukan survei dengan metodologi yang valid. Ngeles dengan alasan bicara kemiskinan adalah soal rasa adalah penalaran yang lebih rendah dibandingkan penalaran anak sekolah dasar.

Demikian pula catat berpikir yang dipertontonkan kader PKS Pipin. Untuk membantah data BPS tentang harga cabai Rp 15.000, ia mengecek harga cabai di pasar yang entah di mana dan mengaku bahwa harga cabai yang ia temui adalah Rp 30.000 per kg. Tentu saja hal ini dengan mudah dibantah oleh Akbar Faisal yang mengatakan di pasar dekat rumahnya harga cabai memang Rp 15.000,-

Pentingnya referensi data dan metode survei yang valid sudah coba disampaikan oleh Direktur Program SMRC  Sirojudin Abbas, namun kubu Prabowo tampaknya tidak mau peduli dengan masukan kaum intelektual.

Menurut  Sirojudin Abbas data yang dikumpulkan tidak dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan adalah bentuk lain dari hoaks. Para politisi seringkali sengaja ngotot dengan data-data hoaks mereka sehingga membentu yang namanya alternative facts. Alternative facts bukanlah kebenaran melainkan hoaks yang diakui sebagai kebenaran karena terus-menerus disampaikan kepada publik.

Kita tentunya tidak bisa percaya segala pernyataan politisi yang menyerang pemerintahan berdasarkan alternative  facst alias hoaks. Jadi sebelum mengeluarkan segala macam pernyataan kritik dan janji-janji kampanye, kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebaiknya membenahi dulu tim-nya agar membiasakan diri bersikap ilmiah dalam berpolitik.

Sumber:

Medcom.id "Stop Jualan Hoaks." Election Talk, 11/10/2018 video.medcom.id/election-talk/JKREXPQk-setop-jualan-hoaks

***