Di Balik Koran Indopos Beritakan Ahok Gantikan Ma’ruf sebagai Wapres

Selasa, 26 Februari 2019 | 06:59 WIB
0
620
Di Balik Koran Indopos Beritakan Ahok Gantikan Ma’ruf sebagai Wapres
Indopos (Foto: Berita168.com)

Berawal dari kasak-kusuk di media sosial. Entah dari mana hoaks ini dihembuskan. Hanya dengan kekuatan warganet sekelas koran media cetak Indopos memuat dalam media cetaknya. Disajikan dengan ilustrasi yang memberi kesan berita berkelas, padahal awal sumbernya pun tidak diketahui jelas.

Dalam koran tersebut tertulis ada lima tahap skenario yang tertera di dalamnya:

Tahap 1 : Jokowi-Maaruf terpilih ;  Ma'ruf berhenti dengan alasan kesehatan.

Tahap 2 : Diangkatlah Ahok sebagai Wakil Presiden karena kursi RI-2 kosong.

Tahap 3 : Setelah Ahok diangkat ; Jokowi mengundurkan diri dengan berbagai alasan.

Tahap 4 :  Ahok menjadi Presiden RI dan diangkatlah Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo sebagai wakil presiden.

Tahap 5 : Ahok dan Hary Tanoe yang sama-sama berasal dari suku Tionghoa menjadi RI-1 dan RI-2.

Dengan judulnya sangat provokatif, dengan tujuan menarik pembaca. Akhirnya Indopos dilaporkan oleh tim TKN ke dewan pers. Dan akhirnya dinyatakan bersalah.

Seharusnya, sebelum Indopos menaikkan berita ini, ada baiknya mereka melihat peraturan penggantian presiden menurut undang-undang yang sudah diutarakan oleh Mahmud MD kepada media. Yaitu sebagai berikut

  1. Mempunyai catatan kepolisian yang baik
  2. Calon wakil presiden tidak pernah dihukum karena tidak melakukan tindak pidana yang diancam hukuman pidana 5 tahun penjara atau lebih.

Ada faktor lainnya juga selain dua hal yang disebut di atas. Yaitu jarak waktu pemilihan umum sudah dekat. Lagi-lagi, di undang-undang tercantum seandainya cawapres berhalangan tetap saja tidak bisa digantikan.

Sempat terucap pembelaan bahwa Indopos justru sudah menghadirkan  konfirmasi pendapat dari kedua belah pihak. Jadi mereka membuat berita ini bertujuan untuk membuktikan hal ini adalah hoaks yang beredar.

Baiklah saya mencoba main analogi. Suatu hari saya mendapat penglihatan dalam mimpi. Lalu saya tuangkan di status di media sosial saya. Isinya mimpi saya ini adalah pada suatu hari ada sebuah Koran bernama Saya Pendukung Intoleran ternyata adalah produsen hoaks. Mereka tidak memperdulikan fakta dan data.

Yang penting koran mereka laku terjual. Saya buat status ini hanya iseng-iseng, sekedar buah tidur tapi entah mengapa dibagikan sampai ribuan kali sampai-sampai mengguncang 'dunia persilatan' di media sosial. Banyak yang percaya atau setuju pada mimpi saya ini, bahkan cenderung mengamini. Sampai akhirnya status saya ini dicetak di suatu koran ternama, dengan ilustrasi gambar yang mumpuni. Nah, sekarang silahkan pikir sendiri.

Akibat pemberitaan Indopos ini membuka pikiran saya apakah sekarang media sedemikian kebablasan ? Yah untungnya masih ada Dewan Pers. Itu juga kalau ada yang menuntut. Kalau macam saya yang hanya berkata dalam hati biar Tuhan yang membalas sambil misuh-misuh sendiri ‘kan repot jadinya.

Bagi para wartawan, pewarta foto atau pun penulis yang sudah mencicipi kejamnya pengendalian pemerintah pada jaman Orde Baru terhadap media mungkin mereka akan lebih menghargai kebebasan ini.

Bagaimana keharusan membuat berita yang ‘cantik’ yang tidak boleh menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Salah kata sedikit media cetak tersebut langsung dibredel. Ditambah pada masa itu belum ada organisasi yang khusus melindungi wartawan/pewarta foto.

Bahkan sempat banyak korban dari pewarta foto contohnya pada aksi demo besar-besaran yang kerap terjadi pada masa itu, aparat dan mahasiswa saling bentrok, mahasiswa menuntut perubahan dan adanya keruntuhan rezim Orde Baru.

Baiklah, sekarang kembali ke masa kini. Tepatnya pada tanggal 9 Februari 2019 yang lalu Dewan Pers baru saja menganugerahkan medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Joko Widodo. Penghargaan kepada pejabat tertinggi di negara ini diberikan karena sesosok orang tersebut tidak pernah mencederai kebebasan pers, menurut Margiono, Penanggung Jawab Hari Pers Nasional.

Pendapat saya hal ini sangatlah wajar, karena bertubi-tubi fitnah, ujaran kebencian dan hoaks senantiasa menimpa Presiden yang baru menjenguk Ani Yudhoyono di RS negara tetangga, Singapura.

Yah, sekarang mari kita doakan Pers Indonesia makin maju. Kritik pemerintah tidak masalah, menurut saya bagus untuk ke depannya. Tapi harap menggunakan data dan fakta yang benar dan mohon isinya jangan dipelintir. Yah, ini biasanya hanya oknum-oknum semata yang senantiasa menulis dengan gaya seperti ini.

Demikian opini dan saran dari saya yang tidak ada apa-apanya dalam keahlian menulis dibandingkan para jurnalis di luar sana. Yuk, bersama-sama lawan fitnah, ujaran kebencian dan radikalisme di Indonesia tercinta ini.

***

Sumber : 1 , 2 , 3 dan Buku Megawati dalam Catatan Wartawan : Menangis & Tertawa Bersama Rakyat ; Penerbit Gramedia.