Republik Tanpa Arah

Hukum, dalam konteks 'neoliberal paradigm', jelas bukan untuk melindungi masyarakat. Melainkan sarana efektif menindas sekaligus menghamba pada kelas penguasa."

Rabu, 19 Februari 2020 | 17:54 WIB
0
389
Republik Tanpa Arah
Ilustrasi tersesat (Foto: kompasiana.com)

Melihat dagelan yang dipertontonkan para petinggi dan wakil rakyat negeri ini, jiwaku sebagai alumnus Fakultas Hukum mendadak bergejolak.

Sudah belasan tahun nggak berurusan dengan segala KUHP, KUH Perdata, buku-buku hukum, dan nggak up-to-date juga dengan peraturan perundangan terbaru. Tapi untuk prinsip-prinsip hukum seperti "Lex superior derogat legi inferiori", insyaAllah saya nggak akan lupa.

Suatu aturan hukum hanya bisa diubah/dikalahkan oleh aturan hukum yang lebih tinggi. Undang-undang hanya bisa diubah dengan undang-undang pula (atau Perppu dalam kondisi darurat).

Bukan seperti pasal-pasal kontroversial di RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu. Yang menulis bahwa Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam UU ini dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis.

UU bisa kalah sama (Peraturan Pemerintah (PP). Demi secepatnya mewujudkan ajakan Pak Presiden tempohari, "Please invest to my country."

Lalu seperti biasa, para ahli hukum yang sekarang menjabat menteri buru-buru memberi klasifikasi. Kasih pembelaan untuk wakil-wakil rakyat yang terhormat, yang sudah susah payah merumuskan aturan UU tersebut.

Katanya "mungkin salah ketik", "mungkin keliru ketik". Keliru ketik kok sampai beberapa pasal. Itu namanya terniat. Sengaja.

Mengutip sentilan senior saya di FH Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman:

"... Itu lebih dekat soal kesengajaan pembentuk hukum melayani kepentingan pemodal, pula kepentingan penguasa. Ini bukan pertama, kesengajaan menabrak prinsip Negara Hukum. Sejarah Orba dan pasca Orba, pun sudah banyak kasusnya. Dalam teori hukum, juga bukan hal baru. Karena Karl Marx sudah bicara itu satu setengah abad lalu soal ini.

Hukum, dalam konteks 'neoliberal paradigm', jelas bukan untuk melindungi masyarakat. Melainkan sarana efektif menindas sekaligus menghamba pada kelas penguasa."

Rezim ini (termasuk parlemen yang mayoritas satu gerbong dengan rezim) terkesan sangat clueless. Tak jelas progam, arah, dan tujuannya. Nggak punya Program Kerja 100 hari, karena Pak Presiden bilang cukup meneruskan program lima tahun sebelumnya (yang berarti di periode pertama memang banyak janji-janji yang belum terlaksana).

Akhirnya yang ditonjolkan malah hal-hal remeh nir manfaat seperti membangun "terowongan silaturahmi", menyalahkan virus corona untuk ekonomi yang melambat, maksa menaikkan iuran BPJS Kesehatan (karena kas negara sudah di ambang bangkrut), lembaga mahapenting seperti BPIP yang kabarnya mau pakai aplikasi Tiktok untuk menggelorakan jiwa Pancasila, sampai Pak Presiden yang manut bae ketika dilarang stafnya untuk ke Kediri karena khawatir kena bala dilengserkan.

Sementara kasus-kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, dan para pejabat yang semakin hobi korupsi, jadi tertutupi. Sengaja dipinggirkan. Dengan harapan semoga rakyat maklum atau bahkan melupakan.

Sebagai netizen dan rakyat jelata, saya cuma bisa ikut miris melihat pemerintah republik yang sungguh seperti tak punya arah. Tak tau mau dibawa ke mana negeri ini selain terus dipaksa menambah tinggi timbunan utang.

Daripada panik bikin UU demi meningkatkan investasi asing, bukannya lebih baik memproteksi, membina, dan membantu percepatan pertumbuhan industri karya anak bangsa sendiri? Termasuk mungkin benar-benar mewujudkan Esemka yang sepertinya masih malu-malu kucing sampai sekarang. How does that sound?

Kembali ke RUU Omnibus Law Cilaka / Cika. Pak Mahfud bilang bahwa RUU ini masih terbuka untuk menerima masukan dari masyarakat. Tapi saya kok susah percaya bahwa suara kita akan betul-betul didengarkan. 79 UU dipadatkan jadi satu, total ada 1244 pasal! Terlalu ambisius tanpa mengukur kemampuan.

Apa nggak mumet itu para perumusnya.

Maka nggak heran kalau banyak "keliru ketik" di sana-sini. Yang penting cepat gol. Cepat resmi jadi UU. Lalu minta persetujuan dan tanda tangan Presiden. Pada akhirnya Presiden akan tanda tangan, sembari berkata, "I don't read what I sign."

***

Catatan: Keresahan ini ditulis di Haugesund, Norwegia, 19 Februari 2020