Begini Modus Lionel Messi dan Donald Trump Mengemplang Pajak

Jumat, 26 Oktober 2018 | 11:22 WIB
0
699
Begini Modus Lionel Messi dan Donald Trump Mengemplang Pajak
Sumber: google.com

“Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak,” ungkap Benjamin Franklin pada suatu masa.

Kata-kata Franklin sebagai seorang pemimpin revolusi Amerika itu bisa jadi paradoksal kini. Betapa tidak, hanya kematian yang tak bisa dihindari dan mengandung tingkat “kepastian hukum” sementara pajak adalah sesuatu yang masih mungkin untuk dihindari.

Sebuah laporan investigasi yang dirilis New York Times belum lama ini mampu mengguncang jagat negeri Paman Sam. Laporan itu mengungkapkan bahwa upaya mengemplang pajak telah dilakukan presiden Amerika Serikat Donald Trump sejak lama.

Harian terkemuka di Amerika Serikat itu bahkan membantah pernyataan Trump selama ini bahwa kekayaannya berasal dari usahanya sendiri. Trump diduga menerima uang US$ 413 juta dari kerajaan real estate Ayahnya Fred C Trump. Terlebih lagi menurut informasi uang tersebut diperoleh Trump melalui skema penipuan dan penghindaran pajak sejak tahun 1990-an.

Orang tua Trump mentransfer lebih dari US$ 1 miliar dari kekayaannya kepada anak-anak mereka. Dari jumlah tersebut dikenakan tagihan pajak paling sedikit US$ 550 juta. Nilai itu setara dengan tarif pajak sebesar 50%. Jumlah tersebut belum termasuk penghindaran pajak, yang memaksa Trump membayar sanksi pajak sebesar US$ 52,2 juta.

Pengemplangan pajak yang disinyalir dilakukan orang nomor satu Amerika Serikat ini, hanya satu dari banyak kasus serupa yang pernah dilakukan tokoh-tokoh terkemuka di dunia ini yang berhasil terungkap. Sebut saja saat striker sepakbola Barcelona Lionel Messi bersama sang Ayah dijatuhi hukuman percobaan 21 bulan oleh pengadilan Spanyol pada Juni 2016, karena terbukti mengempang pajak dari tahun 2007 hingga 2009. Dunia sepakbola pun ikut terguncang.

Meski Messi dan sang Ayah Jorge Messi, akhirnya sepakat membayar denda setelah terbukti bersalah, pemerintah Spanyol mengklaim dirugikan hingga Rp 4,1 juta euro akibat ulah mereka. Messi bersedia menyetor  252 ribu euro atau sekitar Rp 3,7 miliar, sedangkan Ayahnya Jorge Messi membayar 180 ribu euro atau sekitar Rp 2,6 miliar.     

Donald Trump, Messi, bahkan bintang Hollywood sekelas Nicolas Cage pun pernah dihantam tunggakan pajak hingga US$ 6 juta. Tak dapat dipungkiri kasus-kasus pengemplang pajak masih belum mampu diberantas bahkan oleh pemerintah sekaliber Amerika Serikat. Ada sebuah adagium yang menyatakan: tak seorang pun senang membayar pajak.

Modus  yang digunakan para pengemplang pajak biasanya dapat ditelusuri melalui pola tax avoidance atau tax evasion.

Lantas apa yang membedakan keduanya?

Tax avoidance adalah penghindaran pajak, yang dilakukan dengan mencari celah dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan hingga ditemukan titik kelemahannya. Sederhananya pada tax avoidance mereka berusaha mencari grey area terkait perbedaan penafsiran sebuah perundang-undangan perpajakan. Maka tax avoidance merupakan upaya yang dilakukan oleh Wajib Pajak baik perorangan maupun badan hukum untuk meminimalisir pembayaran pajak. Secara hukum memang mereka tak melanggar, namun bagaimana jika kita bicara etika moral?

Sementara tax evasion adalah penggelapan pajak. Upaya yang dilakukan untuk menghindari pajak secara ilegal dengan tidak melaporkan penghasilan atau melaporkan tetapi bukan nilai penghasilan yang sebenarnya.

Rohatgi menyatakan bahwa tax evasion adalah niat untuk menghindari pembayaran pajak terutang, dengan cara menyembunyikan data dan fakta secara sengaja dari otoritas pajak, dan ini merupakan tindakan illegal.

Tax evasion merupakan tindakan ilegal yang melanggar hukum, sehingga prakteknya tidak diperkenankan. Ini jelas sebuah kecurangan, karena Wajib Pajak akan berupaya merekayasa transaksi dengan memunculkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak ada untuk mengurangi penghasilan, bahkan mengatur laporan keuangan agar merugi. Tax evasion merugikan negara, karena nilai pajak yang dibayarkan Wajib Pajak bukan nilai yang seharusnya.

Jika tax avoidance bukan hal yang dapat dibenarkan secara etika moral, maka tax evasion tidak dapat dibenarkan secara hukum. Ketika kita bicara etika maka semua tak terlepas dari paradigma tiap-tiap orang dalam menjalankan kehidupan ini. Bagaimana dia memandang hak dan kewajiban pada negara yang seharusnya ditunaikan. Nah, untuk mengubah paradigma membutuhkan sebuah proses, tidak bisa dalam sekejap waktu.

Istilah perubahan paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang amat berpengaruh: The Structure of Scientific Revolution. Kuhn memperlihatkan bahwa hampir setiap terobosan penting di bidang ilmiah pada awalnya merupakan pemutusan dengan tradisi, dengan pola pikir lama, dengan paradigma lama.

Beruntunglah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kini memiliki sebuah program yang cukup menjanjikan untuk mengubah paradigma generasi muda yang akan datang agar lebih apresiatif terhadap pajak. Program itu dikenal sebagai Inklusi Kesadaran Pajak.

Ditjen Pajak bekerjasama dengan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti Bersama-sama menyuntikkan program sadar pajak dalam kurikulum sekolah/universitas di seluruh Indonesia. Harapan jangka panjang adalah kesadaran masyarakat pada kewajiban perpajakannya akan semakin meningkat. Muaranya mereka akan melakukan kewajibannya dengan sukarela.

Untuk mencegah praktek tax avoidance dan tax evasion  Ditjen Pajak terus berupaya melakukan reformasi di bidang perpajakan. Dari segi regulasi dengan meminimalisir ruang beda penafsiran maupun menutupi celah yang dapat dimanfaatkan mereka yang memang berniat mengemplang pajak.

Bahkan ratusan negara di dunia kini mulai dipersatukan sebuah kepentingan yang sama: memberantas pengemplang pajak. Maka negara-negara yang tergabung dalam OECD mulai tahun 2018 ini sepakat untuk melakukan pertukaran data dan informasi keuangan secara otomatis, atau yang dikenal sebagai Automatic Exchange of  Financial Account Information (AEOI). Semua beranjak dari kesadaran bahwa sebagian besar pengemplang pajak memanfaatkan keterbatasan akses informasi keuangan untuk melancarkan aksi mereka.

Jika pengemplang pajak tak lagi menemukan celah untuk beraksi, maka kata-kata Franklin bisa jadi bukan sebuah paradoks lagi nanti.

***

Telah dimuat di Internal Tax Magazine