Suryo Utomo, Mengulik Visi Sang Dirjen Baru

Tak lupa Suryo menekankan pada semua pegawai pajak agar dalam bekerja tetap berpegang pada norma-norma yang ada. Apakah itu norma agama, hukum, ataupun etika.

Rabu, 29 April 2020 | 17:49 WIB
0
631
Suryo Utomo, Mengulik Visi Sang Dirjen Baru
Suryo Utomo (Foto: Dok. pribadi)

"Saya merasa saya bukan orang baik, jadi saya mencoba dan berusaha untuk tidak berbuat yang tidak baik.”

Ungkapan bermakna filosofis itu diungkapkan Suryo Utomo pada suatu siang (Jumat, 24/01/2020) di ruang kantornya Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Hari itu tim pewawancara dari Kanwil DJP Jakarta Barat mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang santai dengan Suryo Utomo, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru.

Tidak mudah mendapat kesempatan wawancara pria berpembawaan tenang itu. Sebagai Dirjen Pajak, jadwalnya padat. Setelah beberapa kali permintaan wawancara dijadwal ulang, akhirnya tim Kanwil Jakarta Barat berhasil mengulik banyak informasi dari Suryo, begitu dia biasa disapa. Di ruangannya yang asri dan nyaman Suryo bercerita banyak hal. Mulai dari masalah pajak, prinsip hidup, hobi, dan bahkan keluarganya.

“Moto saya itu cuma satu, ikhlas. Apapun pekerjaan kita kalo dijalankan dengan penuh keikhlasan, Bismillah akan lancar.”

Dia membuka salah satu rahasia suksesnya dalam menjalani pekerjaan. Karena prinsip bekerja “ikhlas” selalu menjadi pegangan pria penggemar kopi itu hingga membawa dia ke pucuk pimpinan. Bagi teman-teman yang mengenal dekat Suryo, dia adalah tipe pekerja keras dengan jiwa pantang menyerah. Dia juga dikenal sebagai pribadi yang disiplin.

Tak heran jika melihat rekam jejak karir pria kelahiran Semarang 51 tahun lalu itu memang moncer, begitu pula dalam segi pendidikan. Suryo menamatkan Sarjana Ekonomi dari Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1992. Selanjutnya gelar Master of Business Taxation diperolehnya dari University of Southern California, Amerika Serikat pada tahun 1998. Semangat belajarnya tak pernah padam hingga mengantarkannya meraih gelar Doctor of Philosophy (Accounting) dari University Kebangsaan Malaysia, Malaysia pada tahun 2019.

Sebelum dilantik menjadi Dirjen Pajak pada 1 November 2019, menggantikan Robert Pakpahan yang telah memasuki masa purna tugas pada 10 Oktober 2019, Suryo adalah staf Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak. Sebagai staf Menteri Keuangan salah satu tugasnya adalah melakukan telaah dan pembahasan atas berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Baca Juga: Sang Visioner dan Reformasi Perpajakan

Suryo memiliki peranan penting dalam berbagai program terobosan yang pernah diluncurkan oleh Ditjen Pajak. Sebut saja Program Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) yang disambut antusias di seluruh Indonesia itu, Reformasi Perpajakan, dan lain-lain yang dinilai sukses. Program Reformasi Perpajakan tersebut sejalan dengan Rencana Strategis Ditjen Pajak Tahun 2020-2024.

“Mau tanya apa?”

Dia memulai sesi tanya jawab dengan santai, jauh dari kesan formal. Bahkan perlengkapan untuk wawancara seperti kamera yang sebelumnya dipersiapkan di sudut-sudut terbaik untuk pengambilan foto di sofa ruang tamunya, akhirnya beralih ke meja makan. Seluruh tim pun akhirnya meriung di sana.

Strategi , Insentif Pajak, dan Omnibus Law

Ketika penulis menanyakan strategi apa yang akan ditempuh untuk mencapai target penerimaan yang dibebankan pada Ditjen Pajak di tahun 2020 ini, Suryo mengungkapkan ada 2 pilar utama yang akan menjadi konsentrasi, yaitu: perluasan basis pajak dan meningkatkan peran pajak dalam perekonomian nasional.

Perluasan basis pajak akan ditempuh melalui: pertama, peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang tinggi. Kedua pengawasan dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela yang tinggi, Ditjen Pajak akan melakukan beberapa cara, yaitu: edukasi dan kehumasan yang efektif, pelayanan yang mudah dan berkualitas dalam rangka memudahkan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, dan memperbaiki regulasi perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Sementara itu, Pengawasan dan Penegakan Hukum yang berkeadilan akan ditempuh melalui: Ekstensifikasi berbasis kewilayahan, Pengawasan Wajib Pajak Penentu Penerimaan dan berbasis kewilayahan, Pemeriksaan yang berbasis resiko dan berkeadilan, Penagihan berbasis resiko, Penegakkan Hukum yang meliputi pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan sebagai langkah ultimum remedium (penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi terakhir dalam penegakan hukum).

Pria yang memiliki dua orang putera/i ini memberikan penjelasan dengan runtut. Dia menambahkan bahwa rencana penambahan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya adalah salah satu strategi untuk meningkatkan peran pajak dalam perekonomian nasional.

“Kami berencana mengubah cara dalam bekerja khususnya terkait tema perluasan basis pajak melalui pengawasan penegakan hukum yang berkeadilan,” paparnya.

“Langkah konkret yang akan ditempuh seperti apa?” penulis berupaya mencari jawaban yang lebih gamblang.

“Kami akan memformalkan tiga macam sinergi, yaitu: pengawasan, pemeriksaan, dan ekstensifikasi. Sinergi pengawasan dan pemeriksaan akan ditujukan pada pengelolaan Wajib Pajak penentu penerimaan, sedangkan untuk Wajib Pajak lainnya akan dikelola dengan sinergi pengawasan dan ekstensifikasi yang berbasis teritorial,” tandasnya.

Kenapa KPP Pratama akan lebih fokus per wilayah, zona marking, dan penambahan basis pemajakan baru menurut Suryo karena merupakan komponen kunci dalam pengembangan basis pajak. Muara yang ingin dituju adalah untuk menjaring Wajib Pajak potensial yang selama ini belum masuk ke dalam administrasi perpajakan dan memastikan kesesuaian antara kondisi ekonomi riil Wajib Pajak dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT).

Apa manfaat perluasan basis pajak?

Menurut Suryo minimal ada dua manfaat yang akan diperoleh yaitu: pertama, perluasan dapat mengurangi ketergantungan penerimaan pajak terhadap Wajib Pajak besar yang kinerjanya sangat terpengaruh oleh kondisi perekonomian nasional. Kedua pengembangan basis pajak juga dapat menutupi dampak penurunan penerimaan pajak dalam jangka pendek sebagai akibat dari kebijakan maupun insentif yang diberikan kepada Wajib Pajak.

Masalah insentif yang diberikan pada Wajib Pajak, akhirnya penjelasan Suryo beralih pada insentif yang telah diberikan pada perusahaan-perusahaan perintis (start-up). Bahwa regulasi di Ditjen Pajak telah mengakomodir itu semua. Dia menyebutkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 merupakan salah satu bentuk insentif yang diberikan pemerintah pada perusahaan-perusahaan perintis.

“Bukankah tarif pajak yang rendah sebesar 0,5% dari omset adalah sebuah insentif?” dia mengajukan sebuah tanya retoris.

Dalam PP nomor 23 tahun 2018 memang mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5%. Regulasi ini berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki omset tidak melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

“Masih ada insentif lainnya. Tax Holiday untuk industri pionir dan Investment Allowance untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu,” tambahnya.

Maksudnya adalah fasilitas Tax Holiday untuk Industri Pionir diatur dalam PP nomor 94 tahun 2010 jo PP Nomor 45 tahun 2019 berupa pengurangan PPh Badan sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.

Apa kriteria industri pionir di sini?

Industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Sedangkan Investment Allowance diatur dalam Pasal 31A Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan dalam PP nomor 18 tahun 2015 jo PP nomor 9 tahun 2016. Insentifnya adalah: 30% dari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, yang dibebankan selama 6 tahun, masing-masing sebesar 5%, Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, Tarif PPh 10% atas dividen kepada Subjek Pajak Luar Negeri atau tarif yang lebih rendah menurut P3B, dan Kompensasi kerugian 5 s.d 10 tahun.

Suryo pun menanggapi polemik terkait pajak atas Netflix yang masih jadi perbincangan hangat.

“Sekarang ini kan banyak istilah “pelaku” yang masih belum terdaftar di Indonesia, ya kan? Untuk PPN-nya sendiri kalau dilihat aturannya harusnya orang Indonesia yang bayar (maksudnya pajak atas konsumsi). Bagaimana cara kita mengumpulkannya? Masalahnya adalah kita belum bisa tetapkan dia sebagai pemungut PPN karena UU kita kan terbatas, ya kan? Di omnibus law perpajakan itulah kita coba tetapkan sebagai pemungut PPN. Harapan kita ke depan apa? Siapapun juga yang mengkonsumsi barang atau jasa mereka akan dipungut PPN. Untuk masalah PPh nya akan diatur di Omnibus juga. Itu solusi jangka panjang yang kita inginkan.”

Berbincang tentang pajak dengan sang dirjen baru, kita laksana dihadiahi sebuah kamus lengkap. Dia seorang visioner. Ketika pembicaraan mulai beralih ke keluarga, Suryo mempunyai tips tersendiri untuk membagi waktu antara tugas dan keluarga.

Antara Tugas, Keluarga, dan Hobi

“Tugas sebagai Dirjen kalau dalam hitung-hitungan hari adalah 6 hari untuk kerja dan 1 hari untuk keluarga. Tapi yang harus saya yakin kan adalah setiap hari saya harus pulang ke rumah. Nah, pulang itu isteri tahu, berangkat isteri juga tahu. Kadang-kadang isteri yang saya ajak ke kantor. Ayo, makan siang bareng atau temenin aku makan malam dong.”

Dia membagi sebuah tips untuk menjaga keharmonisan rumah tangga di antara waktunya yang padat. Karena kini dia hanya tinggal berdua saja dengan sang isteri, otomatis dia harus mengatur iramanya dengan belahan jiwanya itu. Sementara kedua anaknya telah bekerja dan tidak tinggal bersama mereka lagi. Anak perempuannya bekerja di kota lain, sementara yang laki-laki juga bekerja di negara lain.

Untuk keseimbangan hidup, Suryo memilih hobi beternak sapi. Kenapa suka sapi?

“Sejak kecil saya melihara sapi, dan sekarang jadi hiburan saya kalau sedang capek. Ya, saya kalau lihat sapi itu senang. Lihat sapi makan dan jadi gemuk. Hati rasanya beda gitu. Kalau ditanya hobi saya apa? Hobi saya pergi ke kandang.”

Kesan sederhana memang terlihat dalam diri Suryo. Dalam jiwanya dia mengagumi sosok Ayahnya. Bagi dia Ayahnya adalah panutannya, karena menurutnya sang Ayah adalah tipe orang yang lebih memikirkan kepentingan orang banyak ketimbang dirinya sendiri.

“Bapak saya itu sejak tahun 1969 sudah jadi ketua RT, dan sampai sekarang masih. Dia membuat RT-nya menjadi betul-betul bermanfaat dan dinikmati masyarakat sekelilingnya,” ceritanya bangga.

Tak ubahnya keluarga yang guyub, menurut Suryo Ditjen Pajak sendiri merupakan organisasi yang guyub. Sebagai sebuah komunitas yang besar, orang-orang di dalamnya telah hidup saling menghargai. Dia mencontohkan saat dia bertugas di mana pun rasanya sama, dia akan menemukan keguyuban itu.

Tak lupa Suryo menekankan pada semua pegawai pajak agar dalam bekerja tetap berpegang pada norma-norma yang ada. Apakah itu norma agama, hukum, ataupun etika.

“Karena kita hidup di dalam institusi yang memiliki norma. Kita diikat oleh kode etik. Tolong pakem itu dijaga,” pesannya bijak.

Karena dia sendiri pun berusaha untuk terus memperbaiki diri dan melakukan perubahan sesuai motonya di atas: dia tidak merasa orang baik, namun mencoba dan berusaha untuk tidak berbuat yang tidak baik.

Sayup-sayup suara adzan berkumandang dari Masjid Salahuddin, masjid di Kantor Pusat Ditjen Pajak, artinya wawancara harus segera diakhiri. Sang Dirjen harus segera menunaikan panggilan Sang Pemberi Kehidupan, dengan sholat Jumat bersama. Itu salah satu cara meraih keseimbangan hidup seperti yang dia ceritakan.

Disclaimer: tulisan ini telah dimuat dalam majalah internal Kanwil DJP Jakarta Barat “Jawara” volume III/Maret 2020

***