Menjaga Marwah Konstitusi di Tahun Politik

Semua pihak, khususnya pemohon, tentu harus menerima apapun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi dengan sikap lapang dada.

Senin, 24 Juni 2019 | 12:30 WIB
0
337
Menjaga Marwah Konstitusi di Tahun Politik
foto: pribadi

Dunia perpolitikan di Indonesia tak henti – hentinya memberikan kabar yang cukup krusial, hal ini tak lepas dari polaritas antar kedua kubu baik dari kalangan elit politik sampai kalangan akar rumput.

Hingga akhirnya persidangan mengenai perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi dan penyelidikan serta penyidikan kerusuhan 21 – 22 Mei 2019 menjadi ujian yang harus dijalani. Kedua kasus tersebut harus dilanjutkan. Selain itu, kedua peristiwa tersebut haruslah ditangani dengan menjadikan konstitusi sebagai bahan rujukan.

Hal tersebut karena MK merupakan penjaga konstitusi yang dalam kepustakaan hukum tata negara mendapatkan julukan sebagai the Guardian of State Ideology dan The Guardian of Democracy. Undang – undang dasar 1945 sebagai konstitusi meneguhkan prinsip Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat), bukan sebagai negara kekuasaan (machstaat). Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. 

Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan yang berasal dari bahasa Perancis “constituir” yang berarti membentuk. Secara istilah berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam bahasa Belanda disebut grondwet, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.

Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip – prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip – prinsip dasar politik, prinsip – prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintah negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya.

Fungsi pokok Konstitusi atau undang – undang dasar adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang – wenang.

Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan untuk membentuk, mengatur atau memerintah negara. Peraturan – peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, dan ada yang tidak tertulis berupa konvensi.
Dalam terminologi hukum Islam (Fiqh Siyasah) konstitusi dikenal dengan sebutan dustus yang berarti kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerjasama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara.

MK merupakan lembaga independen satu – satunya yang diberikan amanant konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, sehingga sudah tepat jika pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu membawa masalahnya ke institusi tersbut.

Tidak mencari keadilan dengan cara berdemo di jalanan dengan kerusuhan atau cara – cara lain yang diluar ketentuan undang – undang. MK adalah tempat terhormat dimana para pihak yang bersengketa mencari keadilan dengan mengadu data, saksi dan argumen hukum secara beradab.

Pihak yang mengajukan klaim juga harus bisa membuktikan berdasarkan data dan fakta yang akurat, bukan dengan dalil, tuduhan ataupun berita yang tidak valid 100 persen.

Keputusan MK merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding). Oleh karena itu tidak mengenal upaya banding. Berdasarkan putusan MK, presiden terpilih mempunyai legitimasi konstitusional yang kuat.

Agar konstitusi negara dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan dasar – dasar pemahaman taat asas dan taat hukum, maka sangat diperlukan sikap positif dari setiap elemen bangsa.

Sikap positif tersebut bisa berbentuk kesadaran akan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang masyarakatnya sangat beragam sehingga tertanam istilah Bhineka Tunggal Ika (Berbeda – beda tetapi tetap satu jua). Perbedaan dalam bentuk apapun seperti suku, agama, pilihan politik harus diterima sebagi suatu kenyataan atau realitas masyarakat di sekitar kita.

Sikap Positif selanjutnya adalah kesadaran untuk senantiasa tunduk dan patuh terhadap konstitusi Negara, hal tersebut sangat diperlukan dalam rangka menghormati produk – produk konstitusi yang dihasilak oleh para penyelenggara.

Oleh sebab itu semua pihak tentu harus menerima apapun yang diputuskan MK dengan sikap lapang dada. Merupakan sesuatu yang menggembirakan apabila merujuk pada jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29 April 2019, bahwa sebanyak 92,5 persen responden menyatakan menerima hasil pemilu, termasuk apabila capres yang mereka dukung kalah.

Masyarakat juga harus memiliki kesadaran untuk memahami pancasila dan UUD 1945, karena dengan pemahaman yang akurat mengenai pancasila, diharapkan setiap warga Negara dapat mengawasi jalannya pemerintahan Negara atau kinerja setiap lembaga Negara.

***